✓29. emosi

161 20 13
                                    

"Pelan bisa nggak sih?" ketus Ainna dengan nada masih rendah.

Jika ia teriak, suaranya bisa-bisa habis karena habis menangis, enggak tau hubungannya apa, tetapi jika habis menangis ia teriak yang pasti nangisnya tambah kenceng,dan suaranya jadi hilang entah kemana.

"Nggak." Adhan menjawab dengan berfokus ke arah depan.

"Udah sepi,nggak usah jalan cepat kek gitu. Kaki gue buat nyamain langkah panjang lu susah."

"Apalagi tangan gue ditarik kek domba," ucap Ainna dengan wajah menahan emosi.

"Lu denger nggak sih?"

"Kupingnya masih ada ditempatnya kan?"

Ainna tak berhenti mengoceh karena Adhan tak merespon ucapannya sama sekali.

Mau mengamuk kayaknya enggak bakal di denger juga sama anak bak tiang bendera itu.

"Diem, naik montor." Adhan menyerahkan helm hitam yang bertuliskan di bawahnya yaitu Al lovers.

Hak milik yaitu Adhan, tetapi hak pakai yaitu Ainna. Spekulasi dari Ainna yang entah itu benar atau tidak yang hak pakai untuknya.

Percaya diri bolehlah ya.

"Gue mau dianter sama bang ojek." Ainna melangkah pergi meninggalkan Adhan.

Baru 2 langkah ia meninggalkan Adhan, tangan Ainna dicekal kembali semakin kencang.

Jiwa ingin mengorok tangan Adhan agar copot dan tidak mencekal tangannya dengan erat meronta-ronta.

"Lu nurut sekali aja bisa nggak sih?, Nggak usah banyak tingkah."

Adhan memakaikan helm ke kepala Ainna agar tidak berniat kabur darinya. "Naik atau gue aduin ke bunda."

"Ngatur, aduin Sono nggak takut."

Adhan menghela nafas jenggah, "maunya apa?"

"Pulang sama bang ojek, Sono pergi aja," usir Ainna sambil mendorong tubuh Adhan agar menjauh darinya.

"Harus gue jadiin pacar biar nurut sama gue?" Tanya Adhan serius.

Ainna memutar badannya dan segera menghadap Adhan dengan mata kebencian.

"Kalau nggak cinta, enggak usah bahas sampai kesana."

"Nggak usah ngatur gue Deket siapa, gue harus gimana."

"Kita cuman sebatas sahabat karena te-tang-gaan," ucap Ainna dengan tegas.

"Ya cuman sebatas sahabat, tapi bun_"

"Bunda nitipin gue ke lu kan?" Potong Ainna.

Ainna melangkah ke arah Adhan dengan wajah yang memerah.

"Bunda nitipin gue ke lu karena apa?, Karena bunda belum percaya kalau gue bisa mandiri." Ainna menunjuk Adhan dengan jari telunjuknya.

"iya-iya, udah sekarang berhenti marah-marahnya."

"Sekarang maunya apa?" tanya Adhan sekali lagi.

"Pergi sama bang gojek!!" jawab Ainna keukeh tak mau berubah.

Ainna pergi meninggalkan Adhan yang sudah frustasi menghadapi anak yang keras kepala bak baja.

"Ya udah, tapi gue ngikutin lu dari belakang," final Adhan.

Mengalah lebih baik, daripada bertengkar dan memaksa Ainna untuk tetap numpang di montornya, sampai pagi pun Ainna nggak bakalan mau.

"WOYY GUE ANTERIN AINNA!!" teriak Kenzo dari arah gerbang sekolah.

Adhan mendengar namanya dipanggil reflek mencari siapa pemilik suara itu.

Melihat Ainna yang langsung menurut oleh Kenzo, lubuk hatinya merasa seperti disayat beberapa benda tajam.

Segitu bencinya, atas perbuatannya yang menurut gue enggak separah itu?

Adhan segera menaiki montornya dengan sigab.

"KUNCINYA MANA ANJING!" Umpat Adhan.

Mencari disaku celananya tidak ditemukan sama sekali kunci montornya.

"Argh, sial." Adhan segera melaju cepat setelah menemukan kuncinya yang jatuh didekat montor.

*****

"Mampir ke Agustmart," suruh Ainna.

"Nggak ke IndoAgust?" Tanya Kenzo heran.

"Udah nggak usah banyak tanya."

Kenzo mendengar suruhan Ainna,segera melajukan montornya dengan lebih kencang.

Kalau tidak menurut, sepertinya Ainna akan memaksa turun dari montornya.

Karena Ainna mau diantar sama Kenzo atas sebuah pertimbangan yang sangat mutlak.

Ainna diberi pertolongan menghindari Adhan, Kenzo mendapatkan sebuah kebahagiaan mungkin?

*****

Adhan tak berhenti mengumpat, bagaimanapun jika bunda Kila melihat Adhan pulang tanpa Ainna ia pasti akan di beri pertanyaan tanpa henti.

"Sampai Ainna diapa-apain, gue penggal langsung tu kepalanya."

Adhan menunggu dihalte yang berada di dekat kompleks perumahan, yang pasti dilalui oleh Ainna.

Dan sebenarnya ia menghindari bunda Kila.

1jam, 10 menit,10 detik. Adhan menunggu Ainna yang tak sampai juga ke rumah.

Fikiran negatif berkelana di otaknya tanpa henti. 

Nggak, Ainna bisa njaga dirinya sendiri.

Gue percaya.

Tin tin

Afgan membunyikan klaksonya agar Adhan tidak hilang fokus.

"Lu ngapain di sini sendirian?, Ngalamun lagi. Montor tiba-tiba hilang tau rasa!"

Adhan mengerjabkan matanya beberapa kali. "Ngapain lu didepan gue?"

Afgan mendengar pertanyaan adeknya itu mendengus kesal.

Dugaannya benar jika Adhan dari tadi ngalamun sendirian disini. Dan tidak mendengarkan ucapannya.

"Gue tanya lu, ngapain lu sendirian?"

"Nggak ngapa-ngapain."

Afgan mendengar jawaban Adhan yang sangat tidak meyakinkan itu terkekeh kecil.

"Bodoh atau gimana, tapi wajah lu udah kelihatan frustasi gue lihat dari jauh sana."

"Gue aja bahagia gini, frustasi dari mana?" elak Adhan.

Gengsi,gengsi,dan gengsi. Adhan selalu menomor satukan ini. Sudah beberapa kali ia mendapatkan sebuah kesialan dengan memilih gengsi.

Tetapi ya, Adhan orangnya tidak belajar dari kesalahan. Tetapi mengulang dari kesalahan.

"Lu biasanya kalau frustasi gini, pasti ..."

"Ada sangkut pautnya dengan anak kecil perempuan, yang sukanya mancing emosi, anaknya suka avocado , pengen tambah tinggi padahal udah tinggi, sukanya di panggil toples sama lu, suka baca nov-"

"Iya, gue nunggu dia pulang," potong Adhan. Ia tak mau dengar deskripsi tentang Ainna yang begitu sangat rinci terlontar dari Abang sialannya itu.

"Lu nunggu orang yang udah dari tadi pulang ke rumah?" Tanya Afgan memastikan.

"Nggak usah bohong."

"Bohong buat gue gunanya apaan emang?"

Adhan langsung memakai helmnya dan segera mengendarai montornya dengan perasaan marah, "sialaan."

"Dasar anak muda," guman Afgan.

29-11-2022
Alina🦁
TBC

Zone? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang