"Maura mana ma?" Dean yang sudah sampai di meja makan dengan Mira digendongannya menatap ke sekeliling mencari keberadaan istrinya.
"Maura ada janji penting sama temennya, dia katanya bakal kasih tau kamu lewat pesan" kata ibunya tampak sendu, jelas sekali Dean melihat raut sedih dari wajah ibunya. Meski wanita paruh baya itu mencoba menutupinya dengan senyuman.
Dean mengeraskan rahangnya. Semarah itukah Maura sampai lebih mementingkan bertemu teman dibanding makan bersama keluarganya.
Wanita itu bahkan berbohong untuk menghubunginya, meninggalkannya dan Mira tanpa ijin. Sama sekali tidak ada pesan dari Maura, Dean sudah memeriksa ponselnya sebelum turun.
Tanpa berkata apa-apa Dean kemudian mendudukkan diri dengan Mira disebelahnya. Kemudian tidak seperti biasanya, makan siang itu berlangsung sangat sunyi. Hanya suara deringan sendok dan piring yang berbunyi, atau suara Mira yang sesekali meminta dikupaskan udang oleh ayahnya.
Sama halnya dengan Dean, Lidyapun enggan bersuara, meski tampak baik seperti biasa, rasanya seperti ada yang berbeda dengan menantunya.
Sinta sudah mencoba menghangatkan suasana, namun tetap disambut keheningan, jadi ia menyerah dan ikut makan dalam diam.
"Dean sama Mira langsung pulang ma" sahut Dean segera setelah memastikan anaknya selesai makan, dirinya bahkan sudah lebih dulu selesai dari tadi. Hanya sedikit porsi yang ia makan, pikirannya penuh dengan wanita itu.
"Bawa ini ya Dean, mama udah sisihkan buat Maura, masih enak kalo diangetin" sahut Lidya sambil menyiapkan makanan untuk sang menantu.
"Gak usah ma, nanti-"
"Maura yang masak ini, dia bahkan belum nyobain semuanya, jadi mama titip ya" Lidya tidak akan menerima penolakkan anaknya, mereka memang sudah masak banyak, Maura harus ikut merasakannya.
Dean akhirnya mengangguk pasrah sembari menatap lekat sang ibu yang begitu telaten menyiapkan makanan untuk Maura. Sinta yang sedari tadi hanya memperhatikan kemudian pamit ke kamar karena harus menemani Ayu yang ingin ke toilet, sepertinya gadis kecil itu sudah banyak makan sedari pagi.
"Kamu sama Maura baik-baik aja kan?" Tanya Lidya menatap anaknya sendu, batinnya tidak tenang. Setelah tidak ada Sinta baru ia berani menanyakan itu pada anaknya.
Dean hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Dean" panggil sang ibu lembut.
"Iya ma, kami baik-baik aja" jawab Dean meski tidak yakin.
Apa iya Maura baik-baik saja setelah apa yang ia katakan pada wanita itu tadi malam?. Namun Dean tidak akan ikut membebankan ibunya dengan ini.
Meski Lidya yang waktu itu menyarankannya, tapi Dean sendiri yang akan menanganinya hingga Maura setuju.
Ia akan menanggungnya karena ia sendiri yang sudah memutuskan setelah berpikir matang.
Sementara Lidya tampak bimbang ingin menanyakan sesuatu pada sang anak. Tapi begitu melihat Dean yang tampak melamun, ia mengurungkannya, Dean tampak memiliki beban pikiran. Mungkin anaknya itu belum mau berbagi.
@@@@@
Dean mendengus marah saat tidak menemukan Maura dimanapun. Setelah meletakkan Mira yang tertidur dikamarnya, Dean langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Maura.Namun beberapa kali ia mendial kontak wanita itu, sama sekali tidak ada jawaban diseberang sana. Dean menggenggam ponselnya dengan erat. Ia mengusap wajahnya kasar lalu berlalu ke kamar. Sepertinya ia butuh mandi untuk meredakan gerah dan panasnya karena marah.