JANGAN LUPA VOTEEEEEEEEE
.
.
.
Keesokan harinya, Maura terbangun cepat juga heran, karena dirinya ternyata berada dikamar milik mereka berdua dan juga sedang berada dalam dekapan hangat suaminya.
Namun ia tidak berlama-lama meresapi apa yang terjadi, dengan cepat ia bangkit dan menyingkirkan lengan pria itu pelan. Ia harus bergegas karena ingin menemui seseorang. Setidaknya sebelum Dean terbangun.
Meski tanpa pamit secara langsung, tidak lupa Maura meninggalkan pesan didepan kulkas untuk pria itu. Sekedar mengabarkan bahwa ia akan pergi dan sudah membuatkan sarapan.
Maura juga sudah memanggil dan meminta ART yang sesekali datang untuk mengurus anaknya selama ia tinggal. Karena kali ini ia benar-benar berangkat tanpa menunggu sang anak bangun.
Rupanya Maura memiliki janji dengan dokter kandungan. Sebenarnya janjinya tidak sepagi ini, namun ia memilih ke Studionya terlebih dahulu untuk mengecek beberapa pesanan yang masih proses pengemasan.
Satu setengah jam kemudian, barulah Maura berangkat menemui sang dokter. Ia harap kandungannya baik-baik saja karena akhir-akhir ini merasa banyak pikiran. Ia mungkin tidak merasakan apa-apa, tapi ia tetap merasa khawatir.
Maura bersyukur karena ia cukup tepat waktu dan tidak perlu menunggu antrian. Segera setelah ia mendaftar, Maura langsung dipanggil untuk memasuki ruangan sang dokter.Betapa lega ia rasakan ketika sang dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja. Meski demikian, dokter kandungan tersebut tetap memberikan beberapa nasehat juga tips bagi Maura dalam menghadapi kehamilannya.
Setelah merasa cukup puas berkonsultasi dengan sang dokter, Maura pun akhirnya berpamitan dan menyelesaikan sesi konsultasinya.
Maura keluar dari ruangan dokter dengan wajah berbinar sembari meraba pelan perutnya. Namun ketika mengangkat wajahnya, senyumnya seketika luntur, ia menemukan sosok yang sangat ia kenal tidak jauh didepannya.
Didepan sana, Dean sedang tersenyum lebar dengan Ayu dipangkuannya dan tangannya mengelus lembut perut besar Sinta disampingnya.
Maura dengan cepat memalingkan wajahnya dan menjauh dari tempat itu sebelum kedua orang itu melihat dirinya. Mata Maura mulai berembun, pemandangan yang tadi ia lihat kembali melukainya begitu dalam.
Dean harusnya tidak perlu menyangkal bahwa perpisahan mereka bukanlah yang terbaik. Pria itu akan sebahagia itu jika dengan Sinta, bukan dengannya.Harusnya pria itu tidak perlu membuatnya merasa semakin buruk dengan mempertahankannya atas dasar tanggung jawab.
Maura sudah berusaha menahan tangis, tapi air matanya tetap jatuh. Ia berjalan cepat sambil mengusap air matanya, ia abaikan tatapan orang-orang yang menatapnya heran juga kasihan.Memang semenyedihkan ini dirinya dan ia berjanji tidak akan pernah menunjukkannya pada Dean.
Begitu sampai dimobilnya, Maura langsung menumpahkan tangisnya dengan bebas. Getaran ponsel membuat Maura kaget dan menghentikan tangisnya. Ia segera mengusap bersih air matanya juga menarik napas beberapa kali lalu mengangkat telpon itu.
"Iya halo, ntan?"
"....."
"Gak, kayaknya mau flu... makanya suara gue begini, kenapa?"
"....."
"Langsung dikirim aja, ke kantornya" ucap Maura yakin dan menatap lurus kedepan.
"...."
"Iya, biar cepat kelar"
"...."
"Thank you ya..."
@@@@@
"Mauraaaa!" Dean memasuki rumah dengan nafas menggebu.
"Maura!!!" teriak pria itu lagi.
Maura dan Mira yang sedang menyiram bunga dibelakang langsung saja menghampiri Dean yang memanggilnya dengan suara keras.
"Mira masuk kamar!" tegas Dean yang langsung dipatuhi sang anak. Gadis kecil itu bingung apa yang terjadi, tapi ia paham sang ayah sedang marah.
"Kamu!, ikut aku ke ruang kerja!" sahut Dean tidak mau dibantah dan langsung melangkah terlebih dulu.
Maura mngehela nafas pelan sebelum mengikuti sang suami, mencoba menguatkan dirinya yang akan berperang, Begitulah ia menganggapnya.