40.

6.3K 175 10
                                    

Chapter ini menceritakan tentang Edgar dan Riri. Jadi, chapter Marga,nanti dulu.




Di mansion yang megah,tak lain milik Edgar. Kini kedua insan itu masih tertidur dalam pelukan masing-masing. Lebih tepatnya Edgar yang memeluknya hingga erat. Posesesif memang. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tandanya, di sekolah sedang istirahat.

Edgar membuka mata tajamnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya pelan. Tersadar ia yang tengah memeluk gadisnya, ia lantas tersenyum. Mendapatkan Riri mudah. Lebih dari kata mudah. Pikirnya. Edgar mengusap pelan rambut Riri yang masih tertidur lelap dalam pelukannya.

"Riri, wake up." Bisiknya dengan suara khas bangun tidur. Tak kunjung bangun juga, ia mencubit hidung Riri yang agak mancung itu sehingga membuat Riri kesulitan bernafas dalam tidurnya.

"Engh." Riri akhirnya bangun dengan cara ini. Edgar yang melihat itu, terkekeh kecil. Ia mulai melepaskan jari jarinya yang tadi tengah mengapit hidung Riri. Sebelumnya Edgar tidak pernah terkekeh seperti ini. Kecuali terkekeh yang, kalian pasti tau lah.

Riri membuka matanya perlahan dan mengerjap-ngerjapkan pelan. Ia melihat lihat kamar yang telah ditidurinya. Bukan kamarnya. Pikirnya. Saat tengah melihat lihat kamar Edgar yang bernuansa hitam, matanya tidak sengaja menatap mata edgar yang membuatnya terkejut. Berarti semalam ia tidur bersama makhluk es berjalan ini?

Riri reflek bangun dan duduk. Riri agak menjauhkan badannya sehingga ia sebentar lagi akan jatuh karena sudah di tepi ranjang.

"K-ak ed-dgar. Ng-apain disini?." Ucapnya dengan terbata bata. Edgar yang melihat itu ikut bangun juga dan mendekatkan badannya pada Riri. Hampir Riri jatuh kalau tidak di tahan oleh Edgar.

"Ngapain ngejauh?." Tanyanya dingin dan itu malah membuat Riri panas dingin. Tapi,yang di tanya tidak menjawab pertanyaan dari si es. Merasa tidak ada jawaban, Edgar menggendong Riri begitu saja membuat Riri terkejut dan refleks .melingkarkan kedua tangannya pada leher Edgar yang berurat itu.

Edgar yang menggendong Riri berjalan keluar kamar dan menaiki lift pribadi. Di dalam lift, tidak ada yang membuka pembicaraan. Masing-masing dapat merasakan bahwa jantungnya berdegup kencang. Merasa tak suka dengan suasana yang hening seperti ini, Riri membuka pembicaraan.

"Kak."

"Hm?"

"Kita mau kemana?." Tanyanya pelan pelan.

"Makan." Jawabnya singkat dan terkesan dingin.

"Emm kak, boleh turunin aku ga?" Riri berharap semoga ia diturunkan dari gendongan Edgar. Jujur, ia merasa sangat gugup. Tapi,ia merasa nyaman.

"Ga."

Riri menghela nafas pasrah. Sudah ia duga Edgar tidak akan menuruti ucapannya barusan.yasufahlah mau bagaimana lagi. Nanti kalau ia memberontak, ia takut Edgar akan membentaknya seperti kemarin malam di gudang.

Ting

Bunyi lift, tandanya sudah sampai di lantai bawah. Edgar berjalan menuju dapur untuk makan. Dapat Riri lihat, disana sudah tertata rapi. Berbeda dengannya, kalau mau makan ia harus membantu mamahnya memasak baru makan. Dapat di katakan Riri tidak sekaya Edgar yang mempunyai mansion yang sangat besar nan mewah ini. Riri hanya manusia yang dikatakan manusia biasa. Riri mempunyai rumah biasa yang pada umumnya.

Saat sudah sampai di meja makan, ia segera duduk dengan Riri yang berada di depannya. Maksudnya bukan duduk berhadapan. Seperti ngeces. Jujur, Riri gugup duduk seperti ini.

"Kak aku duduk di sebelah ka edgar aja ya."

"Ga." Jawabnya dingin dan tegas.

"Tapi kak-." Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ucapannya di potong oleh Edgar.

"Gue bilang ngga ya ngga!" Ucapnya tegas dan dingin melibihi yang tadi.

"Ok"

Edgar mengambilkan nasi untuknya dan Riri. Salah satu maid membawa soup ke meja makan. Tapi,dengan tidak sengaja,ia menumpahkan soup itu ke tangan mulus Riri.

"Akh." Riri refleks menjerit kesakitan. Karena soup itu masih panas dan baru saja dimasak. Edgar yang melihat itu seketika emosinya meluap.

"Bangsat! Yang bener dong!. Liat! Riri jadi kena bangsat!" Seketika Edgar refleks berdiri dan Riri juga ikut berdiri dengan menahan panas di tangannya. Tapi,tidak nangis.

"Maaf tuan." Ucap maid itu menunduk sembari ketakutan yang luar biasa.

"Kak Edgar udah, kasian." Merasa di panggil, Edgar melihat Riri yang tengah menahan kesakitan. Ia menatap Riri khawatir dan mendekati Riri yang tengah memegang tangannya sendiri.

"Lo gapapa?" Ucapnya khawatir sembari menarik tangan Riri yang terkena soup panas tadi. Riri yang di tanya, hanya mengangguk.

Edgar melepaskan tangannya ke Riri dan berjalan menuju maid yang masih berdiri disitu menahan takut.

"Mulai hari ini, anda di pecat!" Maid dan Riri yang mendengar itu terkejut. Maid itu dengan refleks sujud di kaki Edgar.

"Tuan mohon jangan pecat saya. Nanti anak saya makan apa." Ucapnya pilu sembari terisak. Riri yang melihat itu menjadi iba. Riri menuju Edgar dan memegang lengan kekar Edgar dengan ragu ragu.

"Kak." Edgar pun menoleh.

"Pliss. Jangan pecat dia kak. Kasian." Ucap Riri memohon dan menatap maid itu iba. Edgar yang melihat Riri memohon, seakan akan ia terhipnotis dengan mata Riri. Akhirnya Edgar mengangguk.

"Gue ga jadi pecat lo! Kalau bukan karna gadis gue, gue ga akan nurutin permintaannya!" Ucap Edgar dingin. Maid yang mendengar itu, lantas bangun dari sujudnya dan memeluk Riri. Awalnya Fifi terkejut, tapi lama kelamaan ia mengusap punggung maid itu dengan iba.

"Makasih nona." Ucapnya sembari terisak.

Edgar yang melihat itu jengah sendiri. Menurutnya terlalu alay dan lebay.

"Hentikan." Ucap Edgar tegas. Lantas kedua orang itu melepaskan pelukannya. Maid itu segera pergi ke dapur untuk mengambil kain untuk mengelap meja yang tadi terkena sedikit soup. Padahal Riri terkena sedikit. Mengapa Edgar se marah itu? Pikirnya.

"Makan yuh kak. Soalnya aku laper." Ucapnya tak tahu malu. Edgar yang melihat itu terkekeh geli. What!? Edgar terkekeh padanya!? Demi apa!!

Dan mereka berdua makan dengan posisi seperti tadi. Posisi apa tuh. Baca ulang dari atas.

Lanjut?

Minimal vote lah ya.

Chapter selanjutnya mau cerita Marga atau Edgar?

Banyakin komen.





MARGA DIRGANTARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang