03 - Tiga

15.5K 2.7K 319
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***


"AILA!"

Aila yang baru saja keluar dari kamarnya sedikit tersentak kala mendengar bentakan itu. Ia diam di ambang pintu dengan kedua tangan mengepal menahan sesak di dadanya. Tubuh Aila sedikit gemetar, tapi sekuat mungkin gadis itu berusaha mengontrolnya.

Aila menarik napas panjang. "Tenang, Aila, tenang."

Brak

Lagi, Aila tersentak di tempatnya. Gadis itu memejamkan matanya sekilas sebelum akhirnya melangkah menghampiri suara.

Tepatnya sosok pria paruh baya yang terlihat berdiri di ruang keluarga dengan kondisinya yang—menyeramkan.

Aila menunduk. Ia tak berani mengeluarkan suara.

Jika ada yang bertanya hal apa yang paling ia takuti, maka ia akan menjawab ayahnya.

"Kemana aja kamu kemarin?!"

Keseimbangan tubuh Aila hampir hilang saat tiba-tiba saja sang ayah menarik kasar tangannya. Ia menggigit menahan perih pada pergelangan tangannya. Yang kemarin belum kering, ditambah lagi sekarang.

"JAWAB!"

Mata Aila terpejam. "Aila ada kerja kelompok di rumah temen, Ayah," ucapnya pelan.

Pria paruh baya itu terlihat terkekeh sinis. "Kerja kelompok? Di rumah teman? Bukan pacaran di taman? hm?"

Dagu Aila dicengkram kuat membuat sang empu reflek mencoba menyingkirkan. "Y-yah, jangan di muka. A-aila mau berangkat kuliah, Yah. A-ayah—"

"JUJUR KAMU SAMA SAYA! KEMANA SAJA KAMU KEMARIN?!"

Tubuh Aila bergetar hebat. Ia tak berani membuka mata. Jangankan membuka mata, menelan ludah pun rasanya sulit.

Aila ingin menangis. Tapi tidak bisa.

"Aila beneran kerja kelompok di rumah temen, Yah."

Tepat setelah Aila selesai mengucapkan itu, cengkraman pada dagunya semakin mengerat membuat Aila reflek menggeram kesakitan.

"Y-yah, sakit."

Tidak ada rasa kasihan sama sekali dalam diri pria paruh baya itu. Sama sekali tidak ada. "Berbohong lagi, hm?"

Aila menggeleng. "Enggak. Ai—"

Belum sempat Aila menyelesaikan ucapannya, tubuh mungil gadis itu lebih dulu terlempar hingga dahinya tanpa sengaja terkena ujung meja dan tentu hal itu membuat cairan merah segar keluar mengalir dari sana.

Aila meringis. Perih, pusing, semua bercampur aduk.

"Jauhin laki-laki itu atau kamu tau akibatnya."

"Satu lagi, belajar yang benar. TIDAK USAH MEMIKIRKAN APAPUN LEBIH DULU! FOKUS BELAJAR DAN KALAHKAN KAREL! PAHAM KAMU?!"

Bram—ayah dari Aila—menendang meja sebelum akhirnya pria itu pergi keluar rumah, meninggalkan Aila yang masih terduduk di lantai dengan darah yang terus mengalir dari dahinya.

Aila menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia meringis pelan dengan tangan terus menutup luka di keningnya.

Mata Aila bergulir melirik sosok wanita paruh baya yang berdiri di anak tangga paling atas dengan wajah khawatirnya  Aila tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya. "Halo, Bi Uti!"

Love in sincerity (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang