36 - Tiga puluh enam

14K 2.4K 700
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***

Kahfi menghela napas lega saat netranya menangkap sosok Aila yang tengah berada di dapur. Tadi ia benar-benar panik. Bagaimana tidak? Saat bangun tadi, Aila sudah tidak ada di sampingnya. Karena takut sesuatu yang buruk terjadi lagi, Kahfi langsung beranjak untuk mencari Aila dan ia sudah merasa lega sekarang.

Kahfi melangkah mendekat, tidak ingin mengangetkan, Kahfi berdeham. "Ai," panggilnya pelan.

Sang pemilik nama memutar kepalanya lalu mengembangkan senyum dan itu menjadi kesan tersendiri bagi Kahfi yang melihatnya.

Ailanya tersenyum?

"Halo, Kapi! Pagii!" Aila menyapa dengan nada ceria. Sungguh, Kahfi benar-benar masih belum percaya.

"Ai? Ini kamu?"

Aila terkekeh lalu kembali fokus pada masakannya. "Ya menurut Kapi?" sahutnya. Ia mencicipi sedikit masakannya lalu mematikan kompor. Aila berbalik badan menghadap ke arah Kahfi yang masih diam di tempat.

"Sarapan dulu, ayo!" Masih dengan senyum yang terpancar di wajahnya, Aila melangkah mengambil piring, tapi pergerakannya terhenti karena Kahfi yang menahan pergelangan tangan gadis itu.

"Ai? Are you okay?"

Aila menatap Kahfi, menaikan kedua alisnya lalu tersenyum. "I'm good. Udah, sekarang Kapi sarapan dulu, hari ini kuliah, kan?" Aila menarik tangannya lalu melanjutkan langkah untuk mempersiapkan sarapan.

Beda halnya dengan Kahfi yang masih diam di tempat. Setiap pergerakan Aila tidak lepas dari pandangan Kahfi, sedang otaknya terus memikirkan tentang perubahan drastis istrinya itu.

Bukan tidak senang karena Aila sudah kembali tersenyum, tapi terasa sedikit aneh. Ia hanya tidak mau ada sesuatu yang kembali disembunyikan oleh Aila.

Aila itu sulit ditebak, Kahfi akui itu. Aila terlalu pandai bermain ekspresi dan ia harus lebih pintar lagi dari sang istri tentunya. Ia tidak menyalahkan Aila yang belum terbuka padanya, semua butuh proses. Kahfi paham posisi Aila sekarang dan belum terbuka seperti ini juga termasuk hal wajar. Aila butuh waktu dan ia tidak akan memaksa.

"Kapi! Kok bengong?"

Kahfi menoleh, terlihat Aila sudah duduk si meja makan. Kahfi melempar senyum lalu berjalan menyusul. Kahfi mendudukkan tubuhnya tepat bersebrangan dengan Aila. Hendak menyiapkan sarapan, tapi Aila lebih dulu menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya yang entah sejak kapan sudah disiapkan.

"Ini udah Ila siapin tadi," ujar Aila diakhiri dengan senyuman.

Kahfi sempat diam, tapi ia tetap menerima. "Terimakasih, cantik."

Aila mengangguk lalu melipat kedua tangannya di atas meja dan Kahfi yang melihat itu mengernyitkan dahi. "Kamu gak makan?" pertanyaan itu keluar dari bibir Kahfi.

"Ila bisa nanti, Kapi aja duluan makannya."

Mendengar jawaban Aila, tentu Kahfi tidak bisa menerima. Laki-laki itu menggeleng, mengambil satu sendok makanan lalu menyodorkannya tepat di depan mulut Aila. "Makan bareng, aku suapin."

"Ila belum lap--"

"Makan, Aila. Udah waktunya sarapan dan kamu gak boleh telat," potong Kahfi.

"Ila bisa sen--"

Love in sincerity (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang