20 - Dua puluh

15.4K 3K 450
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***

Lima hari terlewat. Selama itu juga Aila dirawat secara intensif di rumah sakit. Alhamdulillah kondisinya semakin membaik dan tepat hari ini dokter memperbolehkan gadis itu pulang.

Aila tentu senang. Bahkan sedari pagi mulutnya tak berhenti bersenandung ria dengan senyum lebar di bibirnya membuat yang melihat turut tersenyum bahagia.

Kahfi contohnya.

Laki-laki itu menggelengkan kepala dengan seutas senyum tipis di bibirnya. Ia bersedekap dada dan menatap Aila yang duduk di brankar dengan kakinya yang mengayun menjuntai ke bawah.

"Udah semua diberesin?"

Aila mengangguk. "Udah. Ayo pulang!" Aila turun, tapi karena terlalu semangat membuat baju yang digunakannya nyangkut di besi brankar hingga keseimbangannya hilang.

Tapi Kahfi dengan cepat bergerak. Ia reflek menahan pinggang Aila agar gadis itu tidak benar-benar jatuh ke lantai.

Kahfi menghela napas lega. "Alhamdulilah." Pandangannya turun hingga bertemu dengan kedua netra Aila yang juga tengah menatapnya.

Keduanya diam. Sampai suara dehaman disertai ketukan pintu membuat mereka sama-sama mendorong satu sama lain hingga tangan Kahfi pada pinggang Aila terlepas.

Kahfi menggaruk rambutnya yang tak gatal, sedangkan Aila mengarahkan bola matanya ke arah lain.

Sang pelaku yang mengetuk tadi hanya terkekeh geli di ambang pintu melihat tingkah keduanya.

"Ya Allah, ditungguin di parkiran malah asik pacaran di sini."

Aila menoleh lalu mengibaskan tangannya. "Enggak, Umma, enggak. Tadi Aila jatuh, terus Kahfi cuma mau bantu," ucapnya meluruskan.

Umma hanya manggut-manggut saja. Setelahnya wanita paruh baya itu masuk. "Ayo pulang. Admistrasi udah diurusin tadi sama Aba."

Aila mengangguk cepat dengan senyum lebarnya. Entah kemana raut salah tingkahnya tadi karena merasa terciduk oleh Umma. Rautnya sudah kembali pada raut awal karena senang ingin pulang.

"Ayo pulang! yuhuu!" Aila merangkul lengan Umma, membuat Umma terkekeh pelan. Pandangan wanita paruh baya itu beralih pada sang putra yang belum bergerak dari tempatnya. "Kahfi, tolong bawain tasnya, ya."

"Iya, Umma." Setelah itu mereka keluar ruangan. Umma dan Aila berjalan di depan sedangkan Kahfi mengikuti di belakang dengan menggendong tas ransel berisi perlengkapan Aila saat di rumah sakit.

Lagi, suara senandung yang diciptakan oleh Aila terdengar membuat sudut bibir Kahfi terangkat. Ia terus menatap lurus, tepatnya pada Aila yang terlihat ceria dan sesekali mengobrol dengan Umma.

Ah, sepertinya ada yang salah dengan dirinya. Kenapa akhir-akhir ini fokusnya selalu mengarah pada gadis itu? Kahfi terkekeh kecil seraya menggeleng menyadari keanehan yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

"Kahfi!"

Kepala Kahfi berputar. "Iya?" Ia mengernyit melihat Umma dan Aila yang sudah berada di samping mobil.

"Kamu mau kemana? Mobilnya di sini!" Umma berkacak pinggang, sedangkan Aila melipat bibirnya menahan tawa.

Kahfi menggaruk belakang telinganya lalu menghela napas panjang. Cukup malu. Ralat, malu banget. Lagipula, kenapa bisa-bisanya ia bablas hanya karena memikirkan hal tadi?

Love in sincerity (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang