01. Dosenku Idolaku

15.9K 424 17
                                    

"Eh, ada calon imam aku," ucap Nisa, genit.

Anisa merupakan anak seorang pejabat. Usianya baru menginjak 22 tahun, saat ini ia sedang kuliah semester 7. Ia merupakan anak yang cantik, ceria dan sangat supel. Sehingga banyak mahasiswi membencinya karena banyak pria yang mengaguminya.

"Nis, lo mah bikin gue malu aja," bisik teman Anisa, yang bernama Ali.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Anisa sambil senyum-senyum. Ia tak menghiraukan temannya itu.

"Mau ke ruang dosen," sahut Imam, datar.

Imam adalah dosen yang disukai banyak mahasiswi. Ia merupakan dosen yang cool dan tampan. Penampilannya pun begitu berkarisma. Salah satu mahasiswi yang begitu gencar mendekatinya adalah Anisa.

Setiap Anisa mendekatinya, Imam selalu jengah. Sebab jika berhadapan dengannya, Anisa selalu berubah menjadi genit. Padahal di depan cowok lain, Anisa bersikap biasa saja.

"Mau aku temenin gak, Pak? Siapa tau Bapak butuh temen ngobrol," tanya Anisa, nakal.

"Saya bisa sendiri," jawab Imam, kesal. Ia malu diperlakukan seperti itu di depan umum.

"Bener, nih? Nanti nyesel lho, Pak," tanya Anisa lagi.

"Anisa, tolong jaga sikap kamu, ya!" ucap Imam, tegas.

"Ups! Sorry. Ya udah kalau sekarang gak mau gak apa-apa. Kan masih ada lain waktu. Namanya juga usaha, cepat atau lambat, pasti akan membuahkan hasil. Iya kan, Pak?" tanya Anisa sambil menaik turunkan alisnya.

Imam hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Anisa. Ia kesal karena gadis itu selalu hilang kendali setiap kali berhadapan dengannya. Ia pun berlalu meninggalkannya.

"Nis! Lo masih gitu aja, sih? Gak lihat tuh Pak Imam kesel?" tanya Ali.

"Oya? Emang kesel, ya? Bukannya seneng?" Anisa seolah tidak mau tahu akan perasaan Imam.

"Hiih, lo mah susah dibilangin. Udah yuk, mending ke kantin!" ajak Ali.

Teman lelaki yang bersamanya merupakan mahasiswa satu angkatan yang cukup dekat dengan Anisa. Mereka sudah lama kenal dan sering satu kelas. Sehingga cukup akrab.

"Emang lo beneran suka sama Pak Imam?" tanya Ali.

"Menurut lo?" sahut Anisa.

"Iya gue tau, sih. Cuma kenapa lo lebay banget kalau ketemu dia? Emang gak bisa yang anggun dikit apa?" tanya Ali, lagi.

"Enggak, Li. Sebenernya tiap ketemu dia tuh hati gue berdebar-debar. Jantung gue rasanya kayak mau meledak. Dan cuma dengan over akting kayak tadi gue bisa nutupin rasa gugup ini," ucap Anisa, serius.

"Emang sedalem itu, ya?" tanya Ali, heran. Ia sudah seperti reporter.

"Gitu, deh. Gue juga bingung kenapa makin hari malah makin cinta sama dia. Sebenernya gue juga gak yakin bisa dapetin dia. Ya lo tau sendiri, kan. Dari dulu sampe sekarang dia masih dingin aja sama gue," jelas Anisa.

"Tapi gak apa-apa, deh. Bentar lagi juga gue lulus. Semoga setelah lulus dan gak ketemu lagi sama dia, perasaan gue ini bisa ilang, hehe," lanjutnya.

Ali yang sempat kesal melihat tingkah Anisa pun tak menyangka bahwa gadis itu memiliki sisi lain. Ia pikir Anisa sengaja ingin membuat Imam kesal. Namun ternyata hal itu hanya demi menutupi kegugupannya.

"Ya udah, gue doain semoga lo bisa cepet move on, deh," ucap Ali.

"Lo mah doanya gitu. Orang tuh harusnya doain biar gue jodoh sama dia, kek!" ucap Anisa, kesal.

"Hehehe, sorry."

Sore hari, Anisa pulang ke rumahnya. Ia mengendarai mobil seperti biasa.

Sebagai anak pejabat tinggi, Anisa memiliki fasilitas yang lebih dari cukup. Sehingga ia tidak pernah hidup kekurangan.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang