21. Hari Pertama Bekerja

3.9K 248 11
                                    

'Kenapa dia pergi? Kenapa dia tidak pamit? Apa dia marah padaku?' batin Imam. Di kepalanya begitu banyak pertanyaan. Hatinya terasa hampa kala mengetahui Anisa sudah pergi dari rumah itu.

"Kamu kenapa, Mam?" tanya Lusi.

"Euh, gak apa-apa, Bu. Kenapa dia pergi, Bu?" tanya Imam. Wajahnya terlihat lemas.

"Entahlah. Mungkin dia sadar bahwa ada seseorang yang tidak menyukainya di sini," sindir Lusi.

Meski Anisa tidak mengatakan tentang perasaannya, tetapi Lusi dapat menebak apa alasan Gina pergi dari tempat itu.

"Maksud Ibu apa?" tanya Imam.

"Tidak ada maksud apa-apa. Lebih baik kamu mandi dan istirahat. Oh iya, tadi sebelum pergi Anisa sudah memasak. Mungkin ini terakhir kali kita menikmati masakannya," ucap Lusi. Kemudian ia berlalu.

Imam menoleh ke arah meja makan. Ia merasa miris karena sudah tidak bisa menikmati makanan buatan Anisa lagi.

"Bu!" panggil Imam.

"Iya?" tanya Lusi, sambil menoleh.

"Apa Ibu tahu Anisa pergi ke mana?" tanya Imam.

"Entahlah, tadi Ibu lupa nanya," sahut Lusi. Kemudian ia berlalu kembali.

Imam berjalan ke arah kamarnya. Kemudian ia mengambil ponselnya. Imam pun berusaha menghubungi Anisa. Namun gadis itu tidak menjawabnya.

"Fix, dia pasti marah sama aku. Ceroboh sekali kamu, Anisa. Padahal aku hanya menegurnya demi kebaikan. Tapi kenapa dia malah seperti itu? Bahkan dia sampai tega memfitnah Yasmin," gumam Imam. Ia sangat kecewa pada Anisa.

Imam pun duduk, kemudian menyandarkan punggungnya. Kemudian ia mengusap kasar wajahnya.

Sementara itu, Anisa sudah tiba di mess. Saat dirinya baru keluar rumah, ternyata ada Yusuf yang sedang menunggunya. Sehingga Anisa diantar oleh Yusuf ke mess tersebut.

"Mas, kamu kenapa baik banget, sih? Aku jadi bingung gimana cara balas kebaikan kamu," ucap Anisa.

"Udah kamu gak usah pusing mikirin gimana balasnya. Aku ikhlas, gak perlu dibalas. Oke?" sahut Yusuf. Ia sama sekali tidak mengharapkan balasan dari Anisa.

"Iya, tetep aja aku gak enak," ucap Anisa lagi.

"Ya udah kalau gak enak tinggal di sini, lebih baik tinggal di rumah aku aja!" canda Yusuf.

"Yee, gak gitu konsepnya. Hehehe."

"Hehehe, tapi jujur aku gak tenang ninggalin kamu di sini, Nis. Aku harus ngomong apa sama Pak Yaqub nanti kalau terjadi sesuatu sama kamu?" tanya Yusuf.

"InsyaaAllah aku aman, Mas. Kamu doain aja, ya!" pinta Anisa.

"Ya sudah kalau memang maunya kamu seperti itu. Aku tidak bisa memaksa. Tapi beneran kamu gak takut?" tan ya Yusuf lagi.

"Enggak, Mas. Udah kamu tenang aja, ya!"

"Ya udah kalau begitu. Aku pulang dulu, ya. Ponsel kamu harus selalu on. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku!" pinta Yusuf.

"Siap, Mas! Terima kasih atas semuanya, ya. Maaf aku cuma bisanya ngerepotin," ujar Anisa.

"Sudahlah. Kamu selalu seperti itu bicaranya. Aku pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Akhirnya Anisa pun benar-benar sendiri.

Mess itu memang cukup sepi karena hanya Anisa yang menempatinya. Seluruh staf yang bekerja di cafe tinggal tidak jauh dari sana. Sehingga mereka memilih untuk tinggal di rumah masing-masing.

Sebenarnya Anisa tidak seberani itu. Ia pun merasa takut karena tempatnya sepi. Namun Anisa tidak memiliki pilihan lain. Sehingga ia berusaha bertahan.

Beruntung toiletnya ada di dalam kamar. Sehingga ia hanya perlu mengunci pintu jika sudah tidak melakukan aktifitas di luar lagi.

"Ya Allah, lindungilah aku!" gumam Anisa.

"Entah sampai kapan mimpi buruk aku ini akan berakhir. Mungkin selama ini hidupku terlalu nyaman. Sehingga Allah memberi cobaan seberat ini," lirih Anisa, sambil menatap tempat tidur kecil yang ada di ruangan tersebut.

Anisa berusaha untuk tetap tegar. Namun nyatanya tinggal di tempat seperti itu membuatnya ketakutan. Apalagi tempat itu berada di belakang cafe yang sangat sepi jika sudah tengah malam. Akhirnya Anisa pun terisak karena takut.

"Ya Allah, rasanya aku ingin menyerah. Aku tidak sanggup jika harus seperti ini terus. Huhuhu," lirih Ansia.

"Pah! Hanya Papah yang membuatku bertahan. Aku tidak ingin papah bersedih jika terjadi sesuatu padaku. Entah bagaimana jadinya jika Papah tidak ada di dunia ini lagi. Aku sudah tidak punya siapa-siapa, Pah. Kecuali Fatih," ujar Anisa.

Ia tidak sadar sejak tadi ada seseorang yang mengkhawatirkannya. Anisa memang sengaja tidak menjawab telepon dari Imam. Ia tidak mengganti nomor ponselnya karena nomor itu terbilang penting baginya.

Ketika Anisa sedang menangis, ada telepon masuk dari Yusuf. Anisa tidak berani untuk menjawabnya. Ia khawatir Yusuf dapat mendengar suaranya yang sengau karena menangis itu.

Tak menadapt jawaban dari Anisa, akhirnya Yusuf mengirim pesan. Ternyata pria itu khawatir bahwa Anisa akan ketakutan. Sehingga ia mengajaknya berbincang melalui pesan singkat, untuk mengalihkan rasa takutnya.

Usaha Yusuf pun berhasil. Anisa lega karena ada yang menemaninya berbincang. Hingga akhirnya ia mengantuk dan terlelap.

Keesokan paginya, Anisa memulai rutinitas barunya. Kini ia harus bekerja di cafe, dan tentu dirinya masih harus banyak belajar.

"Bismillah, aku pasti bisa!" ucap Anisa. Ia sudah siap untuk memulai aktivitas barunya.

Setelah siap, Anisa pun pergi ke cafe. Ia belum tahu apa yang harus dilakukan. Meski pernah bekerja menjadi pembantu, nyatanya selama ini Anisa hanyalah anak orang kaya yang selalu hidup dengan penuh kecukupan.

Sehingga ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika bekerja di cafe.

Saat Anisa masuk ke cafe, ternyata sudah ada seniornya yang tiba lebih dulu. "Pagi!" sapa Anisa.

"Pagi! Kamu anak baru, ya?" tanya senior Anisa.

"Iya, Kak. Nama aku Anisa," jawab gadis itu.

"Oke! Kalau begitu kamu sapu dan pel seluruh cafe ini, ya!" ucap senior yang bernama Meta itu.

Anisa terkesiap. Cafe itu cukup besar. Sehingga rasanya mustahil jika dikerjakan sendirian.

"Kenapa? Kamu gak mau?" tanya seniornya itu. Ia tidak tahu bahwa Anisa dekat dengan Yusuf.

"Mau kok, Kak. Ya udah, di mana alatnya?" tanya Anisa lagi.

"Tuh! Di sana," ucap seniornya itu, ketus.

Anisa pun mulai melakukan apa yang diperintah oleh seniornya itu. Sebagai anak baru, Anisa tidak berani membantah.

Belum selesai menyapu, ia sudah merasa kelelahan karena area yang harus disapu terlalu luas. Belum lagi staf lain yang lalu lalang. Ditambah angin yang membuat debunya berterbangan.

Anisa bahkan sampai berkeringat karena tenaganya terkuras. Apalagi saat ini dirinya belum sarapan. Ia merasa sangat lemas.

"Gimana mau selesai kalau begitu cara nyapunya? Baru kerja udah males!" ucap Meta.

"Maaf, Kak," sahut Anisa. Ia pun berusaha untuk fokus kembali.

"Aku baru tau kalau kerja di cafe sangat melelahkan seperti ini. Perasaan jadi pembantu saja tak seperti ini," gumam Anisa. Rumah Imam tidak seluas cafe itu. Sehingga menurut Anisa itu tidak ada apa-apanya.

Saat Anisa sedang mengepel, Yusuf pun datang. Ketika tiba di cafe itu, orang yang pertama ia cari adalah Anisa.

"Di mana Anisa?" tanyanya pada Meta yang kebetulan sedang berada di meja kasir.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang