30. Tak Bisa Menunggu Lagi

4.6K 271 26
                                    

Imam jadi salah tingkah karena khawatir Anisa mendengar ucapannya. Ia tidak ingin Anisa tahu perasaannya sebelum dirinya sendiri yang mengatakan pada gadis itu.

"Gimana kerjanya hari ini, Nis? Apa masih ada yang ganggu kamu?" tanya Lusi, saat mereka sedang makan.

"Alhamdulillah lancar, Bu. Hari ini sih gak ada yang ganggu," jawab Anisa.

"Syukurlah kalau begitu. Tapi kamu harus tetap hati-hati, ya! Oh iya, tadi Nak Yusuf bilang kalau dia sedang mencari pelakunya, ya?" tanya Lusi lagi.

"Iya, Mas Yusuf sudah melaporkannya ke polisi. Tapi saat ini masih dicari siapa dalang di balik kejadian itu," jawab Anisa.

Saat mengantar Anisa pulang tadi, Yusuf sempat berbincang sebentar dengan Lusi. Sehingga wanita paruh baya itu mengetahui niat Yusuf tersebut.

"Alhamdulillah ... untungnya ada Yusuf yang selalu siap untuk jadi garda terdepan kamu ya, Nis. Jadi Ibu yakin kamu akan aman," ucap Lusi. Secara tidak langsung ia ingin mengompori anaknya itu.

Jelas saja Imam tidak suka mendengarnya. Ia paling sebal jika ada yang memuji Yusuf. Apalagi Yusuf merupakan saingan terberat Imam saat ini.

"Makanya lebih baik kamu jangan kerja di situ!" ucap Imam. Ia berharap Anisa mau resign. Dengan begitu dirinya bisa tenang karena Anisa akan jarang bertemu dengan Yusuf.

"Tidak semudah itu, Pak. Apalagi selama ini Mas Yusuf sudah sangat baik padaku. Lagi pula pekerjaannya gak berat, kok. Hitung-hitung cari pengalaman," jawab Anisa.

"Justru kamu harusnya curiga kalau ada lelaki terlalu baik sama kamu. Paling juga ada maunya," tuduh Imam.

"Ya kalau ada maunya juga gak masalah. Toh mereka sama-sama belum punya pendamping, kan," timpal Lusi.

Imam sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ia merasa tertampar oleh ucapan ibunya barusan.

"Tapi menurut Ibu, yusuf itu pria yang baik. Dia juga tampan dan sudah mapan. Jadi kamu beruntung jika bisa jadi istrinya, Nis," ucap Lusi.

"Ibu bicara apa, sih? Seolah mereka ini memiliki hubungan," ucap Imam, kesal.

"Kami memang tidak ada hubungan, Bu. Lagi pula Mas Yusuf baik karena hubungannya dengan papahku sudah cukup dekat," jawab Anisa.

"Tapi ibu rasa tidak mungkin seorang pria sebaik itu kalau tidak ada niat lain. Benar kata Imam tadi," ujar Lusi.

Imam semakin kesal pada ibunya itu. 'Kenapa Ibu jadi mendukung dia, sih?' gumamnya dalam hati.

Ia sudah sangat gelisah mendengar percakapan itu. Setiap kali Yusuf disanjung, hati Imam terasa begitu panas.

"Apa pun niatnya, aku hanya meganggap Mas Yusuf sebagai saudara, Bu. Tidak lebih," ujar Anisa. 'Sebab di hatiku sudah ada orang lain yang tidak pernah mau pergi,' batinnya.

"Iya, pelan-pelan aja, Nis! Ibu yakin, cepat atau lambat, kamu pasti bisa membuka hati untuknya. Apalagi jika sikapnya selalu baik seperti itu sama kamu," ucap Lusi.

"Aku sudah selesai," ujar Imam. Ia malas mendengar perbincangan itu lagi.

"Nis! Habis makan saya tunggu di ruang kerja, ya," ucap Imam, saat dirinya sudah selesai makan. Ia pamit pada Lusi dan meninggalkan meja makan.

Lusi melirik ke arah anaknya. Kemudian ia tersenyum. 'Sepertinya pancinganku berhasil,' batinnya.

Sebagai ibu, ia dapat menebak perasaan anaknya. Sebelum Yasmin pulang dari luar negeri pun Lusi sudah merasa bahwa ada yang 'lain' dari Imam. Kedekatan anaknya dan Anisa tidak bisa dibilang hanya sebatas dosen dan mahasiswa.

Mereka mulai menjauh lagi sejak kehadiran Yasmin. Sehingga Lusi merasa bahwa dirinya perlu meyakinkan Imam dengan cara-cara seperti itu.

"Selesaikan saja dulu makannya! Jangan terlalu buru-buru," ucap Lusi.

"Iya, Bu. Terima kasih," jawab Anisa.

Lusi menyukai Anisa karena gadis itu cukup rajin. Ia tahu bagaimana latar belakang keluarganya. Menurut Lusi sangat jarang anak orang kaya yang mau melakukan pekerjaan seperti itu.

Dari apa yang ia lihat, Lusi yakin Anisa bisa menjadi istri yang baik. Sangat berbanding terbalik dengan Yasmin. Hal itulah yang membuatnya lebih mendukung Anisa dari pada Yasmin.

"Nis! Apa sebelumnya kamu pernah punya pacar?" tanya Lusi.

"Enggak, Bu. Selama ini Papah selalu mengatakan supaya aku tidak berpacaran. Aku tahu Papah hanya menginginkan yang terbaik untukku," jawab Anisa, jujur.

"Syukurlah. Itu sudah sangat tepat. Ibu setuju dengan papamu," ujar Lusi. Ia senang mendengar Anisa belum pernah berpacaran.

Setelah selesai makan, Anisa pun pamit pada Lusi. Ia tak ingin Imam menunggu terlalu lama karena khawatir dosennya itu akan marah.

"Bu, saya sudah selesai, mau ke ruangan Pak Imam dulu, ya," ucap Anisa.

"Iya, silakan!" sahut Lusi.

Ia percaya pada anaknya dan Anisa. Sehingga Lusi yakin mereka tidak akan berbuat macam-macam di ruangan itu.

Anisa pun menghampiri Imam di ruangannya. Kebetulan pintu ruangan itu tidak dikunci, jadi Anisa langsung masuk.

"Permisi, Pak!" ucapnya. Ia bingung karena Imam duduk di sofa, bukan di kursi kerja.

"Sini! Jangan lupa tutup pintunya," ucap Imam, sambil menepuk sofa yang ia duduki. Ia tak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka, termasuk ibunya.

Dengan ragu Anisa menutup pintu kamar itu. Ia pun cukup percaya pada Imam. Selama ini pria itu selalu melindunginya.

Anisa duduk di sofa tersebut. Namun ia tetap berusaha menjaga jarak. "Ada apa, Pak?" tanya Anisa, kikuk.

Sebenarnya Imam tidak berniat untuk mengatakan niatnya hari ini. Namun mendengar ucapan Lusi tadi, Imam jadi terprovokasi. Ia merasa tidak bisa menunggu lagi karena khawatir akan kalah start dari Yusuf.

"Skripsi kamu sudah sampai mana?" tanya Imam, basa-basi.

Sebenarnya ia ingin bicara langsung. Namun entah mengapa lidahnya terasa begitu kelu saat hendak mengutarakan niat hatinya itu.

"Tinggal 20% lagi, Pak. InsyaaAllah kalau lancar bulan depan atau dua bulan lagi sudah sidang," jawab Anisa.

"Syukurlah kalau begitu. Rencana ke depannya setelah lulus kamu mau apa?" tanya Imam lagi.

"Pastinya lanjut kerja, Pak. Alhamdulillah sekarang saya sudah punya pekerjaan, semoga bisa lebih baik lagi," jawab Anisa.

Imam manggut-manggut.

"Kalau misalnya saya minta kamu untuk resign, apa kamu bersedia?" tanya Imam.

Anisa bingung karena mereka sudah sering membahas hal itu tetapi Imam masih saja menanyakannya.

"Mohon maaf, Pak. Saya kan harus mencari uang untuk biaya hidup saya dan adik. Jadi rasanya tidak mungkin jika harus resign. Apalagi cari kerja zaman sekarang tidak mudah," jelas Anisa.

"Kamu jangan khawatir! Nanti saya yang akan menafkahi kalian," ucap Imam, yakin.

Anisa tercekat. Jantungnya hampir terlepas saat mendengar ucapan Imam barusan. "M-maksudnya apa ya, Pak? Tapi maaf, saya tidak mau berhutang budi," jawab Anisa, salah tingkah.

"Kamu mau kan nikah sama saya?" tembak Imam.

***

Kira-kira Anisa mau gak, ya?

Hola ... maaf ya lama banget updatenya. Lagi liburan jadi sibuk, say. Harap maklum, hehe.

See u,

JM

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang