18. Ingin Pindah

3.7K 247 20
                                    

Anisa terperanjat saat dibentak seperti itu oleh Imam. Ia tak menyangka Imam bisa kasar padanya. Hatinya begitu sakit mendengar bentakan Imam terhadap dirinya itu.

Imam langsung berjalan ke arah Yasmin dan membantunya untuk berdiri. "Sayang, kamu gak kenapa-kenapa?" tanya Imam.

"Aku gak dorong Mbak Yasmin. Tadi dia menjatuhkan diri sendiri, Pak," ucap Anisa, masih berusaha membela dirinya. Ia tak ingin disalahkan atas sesuatu yang tidak ia lakukan.

"Cukup! Lebih baik kamu minta maaf!" ucap Imam. Ia menyuruh Anisa untuk minta maaf pada Yasmin.

Anisa tercengang. Sedangkan Yasmin tersenyum licik.

"Kalau saya salah, tanpa diminta pun saya pasti akan minta maaf. Tapi maaf, kali ini saya tidak merasa bersalah. Justru sebaliknya, Mbak Yasmin yang seharusnya minta maaf sama saya," jawab Anisa.

"Anisa!" Imam sangat geram. Sejak tadi ia sudah kesal pada Anisa karena pulang diantar Yusuf. Kini Anisa malah menentangnya.

Anisa sudah terlanjur sakit hati. Kalaupun Imam semakin marah, ia pasrah dan siap jika harus pergi dari rumah itu.

"Tadi saya cuma menegur Mbak Yasmin karena dia bermesraan dengan lelaki lain di belakang Bapak. Tapi dia gak terima dan mau mendorong saya. Tapi ...."

Saat Anisa sedang menjelaskan, Imam langsung memotong pembicaraannya.

"Kamu keterlaluan, Anisa! Sudah salah, bukannya minta maaf, malah cari pembenaran. Sekarang kamu bahkan berani memfitnah tunangan saya," geram Imam.

Anisa melirik ke arah Yasmin. Wanita itu tersenyum dengan penuh kemenangan. Hal itu pun membuat Anisa semakin kesal.

"Oke kalau Bapak gak percaya. Tapi saya yakin, Bapak akan menyesal karena telah membela wanita ular seperti dia!" cibir Anisa. Kemudian ia langsung berlalu.

"Astaghfirullah," gumam Imam. Ia malu karena sikap Anisa seperti itu. Imam pun tak menyangka Anisa bisa mencibir tunangannya.

"Sayang, kamu gak apa-apa, kan?" tanya Imam, berusaha memastikan kondisi Yasmin.

"Iya, gak apa-apa, Sayang. Aku tadi kaget banget pas mau masuk malah dihadang sama dia," keluh Yasmin dengan tampang memelas.

Imam langsung percaya pada Yasmin karena ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Anisa mendorongnya. Sehingga Imam tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari gadis itu.

"Aku minta maaf, ya. Nanti akan aku coba nasihati dia lagi," ucap Imam, sambil mengusap lengan Yasmin.

"Jangan, Sayang! Mungkin emang dia gak suka sama aku. Jadi biarin aja. Anak kayak gitu gak perlu kamu kerasin, nanti yang ada malah semakin menjadi," ucap Yasmin. Ia bersikap seperti pahlawan.

Hal itu berhasil membuat Imam semakin bangga karena ternyata Yasmin sangat baik dan pemaaf. Ia jadi semakin yakin bahwa Yasmin lah yang terbaik untuknya.

"Ya sudah, kalau begitu kita masuk, yuk!" ajak Imam.

Sementara itu, Anisa masih sangat kesal dan kecewa pada Imam. Ia melampiaskan emosinya pada dinding kamar mandi.

Srek! Srek! Srek!

"Oke, kita lihat! Sampai kapan dia bisa menyembunyikan semua itu dari Pak Imam," gerutu Anisa sambil menyikat dinding kamar mandi.

Semakin kesal, Anisa semakin bersemangat untuk membereskan rumah.

Malam hari, Anisa menyiapkan makan malam seperti biasa. Berhubung sebelumnya Lusi meminta agar Anisa ikut makan bersama, akhirnya malam ini ia pun duduk bersama mereka.

Seperti sebelumnya, melihat Anisa duduk, Yasmin langsung memasang raut wajah keberatan. "Kamu kok duduk di situ?" tanyanya, sopan.

"Tidak apa-apa, saya yang memintanya," jawab Lusi. Ia tidak tahu mengenai masalah tadi sore.

"Tapi kan ...." Yasmin tidak melanjutkan ucapannya. Ia tak ingin dianggap merendahkan Anisa. Apalagi wajah Lusi sudah menunjukkan bahwa dirinya membela Anisa.

"Benar kata Yasmin. Bagaimana pun dia istri saya, Bu. Jadi mohon hargai pendapatnya. Mungkin Yasmin tidak nyaman jika duduk satu meja dengan Anisa," ucap Imam. Ia masih kecewa pada gadis itu. Sehingga Imam mengusirnya secara halus.

Hati Anisa bagai tersengat listrik. Rasanya begitu sakit tetapi tak berdarah. "Maaf saya sudah lancang. Kalau begitu saya permisi," ucap Anisa, sambil berdiri. Bahkan ia belum sempat mengambil makanan.

"Nis!" ucap Lusi.

"Iya, gak apa-apa, Bu. Saya kan di sini cuma pembantu. Jadi gak pantas duduk satu meja dengan majikan. Permisi," jawab Ansia. Kemudian ia berlalu.

"Ibu, maaf ya. Yasmin bukan bermaksud ngusir dia. Cuma tadi ...." Yasmin ingin mengadu bahwa tadi Anisa mendorongnya sehingga ia tidak nyaman. Namun Lusi langsung memotong ucapannya.

"Sudahlah, lebih baik lanjut makan! Tidak perlu banyak bicara," ucap Lusi. Kemudian ia pun makan dengan penuh kekecewaan.

'Belum menikah saja Imam sudah berani menentang ucapanku. Apalagi jika sudah menikah nanti. Mungkin dia akan diatur oleh istrinya,' batin Lusi.

Tak lama kemudian, Lusi beranjak. "Silakan dilanjut! Ibu sudah selesai. Permisi," ucap Lusi. Lalu ia pergi ke kamarnya.

"Sayang, ibu marah sama aku, ya?" tanya Yasmin, manja.

"Enggak, kok. Mungkin Ibu cuma lelah, jadi mau istirahat," jawab Imam.

"Aku jadi gak enak hati. Mungkin aku terlalu keras, ya? Tapi sumpah deh, aku tuh gak bermaksud ngusir dia. Aku cuma gak nyaman aja karena tadi dia udah nyerang aku," jelas Yasmin.

"Iya, aku paham kok perasaan kamu. Udah, lanjut aja makannya, ya!" sahut Imam, sambil mengusap kepala Yasmin.

Sementara itu, Anisa sedang melamun di taman samping rumah. Ia yang sudah terbiasa makan bersama majikannya itu tak menyisihkan makanan. Sehingga saat ini tak ada makanan untuknya.

"Ya Allah, kenapa rasanya sakit sekali ketika dimarahi orang yang aku cintai? Apalagi dia gak percaya sama aku? Sayangnya perasaan ini masih ada, padahal aku udah berusaha untuk lupain dia," gumam Anisa, sambil menatap langit-langit.

Anisa membuka kunci ponselnya. Kemudian ia mencari lowongan pekerjaan yang sekiranya cocok dengannya.

"Sepertinya aku memang harus pergi dari rumah ini," ucap Anisa.

Beberapa saat kemudian, Imam dan Yasmin sudah selesai makan. Melihat mereka telah duduk di ruang tengah, Anisa pun pergi ke ruang makan untuk membereskan meja makan. Setelah itu ia mencuci piringnya.

Saat sedang mengambil minum, Imam menegur Anisa. Ia merasa gadis itu sudah melewati batas. Sehingga menasihatinya supaya tidak seperti itu lagi pada Yasmin.

"Anisa, saya mau bicara," ucap Imam, saat Anisa sedang mencuci piring.

Anisa menoleh sedikit. "Silakan, Pak!" jawab Anisa. Kali ini ia lebih sopan.

"Tidak di sini. Saya tunggu di ruang kerja. Nanti kamu ke sana setelah selesai cuci piring!" ucap Imam. Kemudian ia meninggalkan tempat itu.

Anisa menoleh ke arah Imam dan menatap punggung pria itu. "Tidak apa jika sekarang aku dibenci. Aku hanya berharap semoga Bapak bahagia selalu," lirih Anisa. Lalu ia lanjut mencuci piring sambil menitikan air matanya.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang