"Aku gak bisa tidur. Ngobrol, yuk!" ajak Imam.
Padahal pernikahan mereka belum jelas kapan. Namun Imam sudah tidak bisa tidur. Ia selalu ingin berada di dekat gadis itu.
"Ngobrol apa ya, Pak? Ini kan udah malem. Emang Bapak besok gak ngajar?" tanya Anisa. Ia sangat heran melihat sikap Imam. Pria itu seperti sedang mengapel ke rumah gadis.
"Ngajar, sih. Tapi gak bisa tidur. Percuma maksain juga. Siapa tau kalau udah ngobrol jadi ngantuk. Kamu udah ngantuk belum?" tanya Imam.
"Iya," jawab Anisa. Saat ini ia sedang tidak nyaman jika berhadapan dengan Imam. Entah mengapa ia malu karena sebentar lagi pria itu akan menjadi suaminya.
"Berarti aku ganggu, dong?" tanya Imam. Berada dalam situasi seperti itu hanya berdua membuat hati mereka berdebar-debar.
Anisa mengangguk. Ia tak peduli bagaimana perasaan Imam saat ini. Baginya yang terpenting bisa menghindari pria itu supaya bisa bernapas dengan lega.
Gluk!
Imam sedikit kecewa karena Anisa tak mau diganggu. "Ya udah deh. Maaf ya udah ganggu," ucap Imam. Ia jadi salah tingkah. Sikapnya seperti ABG yang sedang kasmaran.
"He'em," sahut Ania. Ia sedang tidak bisa berkata-kata. Sehingga hanya sedikit bicara.
Saat Anisa hendak balik badan, Imam memanggilnya lagi. "Nis!" ucapnya.
"Iya?" Anisa sangat gugup. Khawatir Imam akan melakukan 'sesuatu'.
Saat Ania menoleh, Imam mendekatkan wajahnya. Ia menatap gadis itu, membuat Anisa menahan napas. Kali ini Ania tak memejamkan mata karena khawatir dirinya salah paham seperti kemarin.
'Kenapa dia maju terus?' batin Ania. Ia sangat tegang berada dalam posisi seperti itu. Perlahan Ania pun mundur karena wajah Imam semakin mendekat.
"Selamat malam, ya," ucap Imam. Kemudian ia mengusap kepala Anisa. Setelah itu Imam langsung balik badan dan pergi ke kamarnya.
Huuh! Huuh! Huuh!
Anisa seperti orang yang baru saja marathon. 'Mau ngomong gitu aja pake deket banget sih mukanya? Untung aku gak salah paham lagi,' batin Anisa, kesal. Ia buru-buru masuk, khawatir Imam akan keluar lagi.
"Hampir saja!" gumam Imam di dalam kamarnya. Ia sering kali hampir khilaf jika sedang berdua dengan Anisa. Namun beruntung Imam selalu sadar tepat waktu. Sehingga ia tidak melakukan kesalahan.
Perbuatan Yasmin membuat Imam jadi takut. Ia yang dulu selalu berusaha menjaga wanita yang ia cintai pun kini lebih sering menuruti kata hatinya. Sebagai lelaki, tentu saja pikiran 'dewasa' Imam selalu menggoda dirinya sendiri.
Terlebih ia tidak akan rela jika ada pria lain yang menyentuh Anisa. Hal itulah yang membuat dirinya selalu tergoda untuk menyentuh gadis itu.
Akan tetapi, dalam keadaan sadar Imam pun tahu bahwa itu salah. Sehingga sebisa mungkin ia berusaha menahan diri.
"Sabar, Imam. Tinggal beberapa hari lagi," gumamnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur.
Keesokan harinya, saat hendak sarapan Imam bertanya pada Anisa. "Nis! Berkasnya sudah siap, kan?"
Lusi langsung menatap anaknya itu. "Imam ... ini masih pagi. Baru juga mau sarapan udah nanyain berkas aja. Gimana sih, kamu?" tegur Lusi.
"Bukan begitu, Bu. Aku cuma mau ngingetin aja. Takutnya Anisa lupa," sahut Imam. Ia jadi malu karena terlihat tidak sabaran.
"Berkasnya sudah siap, Pak. Nanti sebelum berangkat kerja saya ambil. Masih di kamar," ucap Anisa. Ia tidak ingin ada perdebatan di antara Imam dan ibunya.
"Ya sudah kalau begitu makan dulu!" ajak Imam.
Mereka pun sarapan bersama seperti biasa. Pagi ini Imam terlihat lebih bersemangat. Layaknya bujangan yang hendak menikah.
Selesai sarapan, Imam beranjak lebih dulu. Ia ingin memanaskan mesin mobil.
"Nis! Aku tunggu di mobil, ya. Jangan lupa bawa berkasnya!" pinta Imam.
"Iya, Pak," sahut Anisa.
Lusi tersenyum melihat sikap mereka berdua.
"Nis! Kamu gak terpaksa kan mau nikah sama Imam?" tanya Lusi.
"Euh ... gimana ya, Bu? Jujur aja aku masih belum percaya Pak Imam mau nikahin aku," sahut Anisa malu-malu.
"Kenapa?"
"Ini terlalu cepat, Bu. Ibu kan tahu sendiri belum lama ini bahkan Pak Imam masih berhubungan dengan mantan tunangannya. Jadi aku ..." Anisa tidak melanjutkan ucapannya.
Lusi paham apa yang sedang dirasakan oleh gadis itu. "Kamu jangan khawatir ya, Nis! Sebagai orang tua, Ibu tahu apa yang dirasakan anaknya. Bahkan sebelum Yasmin muncul lagi, ibu yakin Imam sudah memiliki perasaan untuk kamu."
Anisa langsung menoleh ke arah Lusi. "Oya?"
"Iya! Kalau enggak, untuk apa dia sering bantu kamu? Imam itu sangat peduli sama kamu. Memangnya kamu pikir semua itu karena apa kalau bukan karena memiliki perasaan terhadapmu?" tanya Lusi.
"Apa iya?"
"Tentu saja. Ibu sangat mengenal Imam. Selama ini dia tidak pernah mau dekat dengan wanita jika tak memiliki perasaan. Palingan kamu dicuekin kalau emang dia gak suka sama kamu. Tapi buktinya kan enggak."
Anisa sedikit lega setelah mendengar ucapan Lusi.
"Ya sudah lebih baik kamu siap-siap sana! Nanti kesiangan," ujar Lusi.
"Iya, Bu. Kalau begitu aku sekalian pamit, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Anisa pun beranjak dan pergi ke kamarnya untuk mengambil berkas. Setelah itu ia menyusul Imam ke garasi.
"Udah siap?" tanya Imam saat Anisa muncul.
Anisa pun mengangguk. Kemudian Imam membukakan pintu mobil untuknya.
"Pak, gak perlu seperti ini!" lirih Anisa. Ia malu diperlakukan seperti itu oleh dosennya sendiri.
"Kenapa? Bukain pintu untuk calon istri sendiri gak ada salahnya, kan?" tanya Imam.
"Iya gak salah. Tapi saya belum terbiasa."
"Kalau begitu mulai sekarang kamu harus terbiasa! Apalagi kita akan segera menikah," ucap Imam sambil mengusap kepala Anisa. Kemudian ia menutup pintu mobil dan berlari kecil menuju kursi kemudi.
'Kenapa dia jadi so sweet, sih? Kan hati aku jadi makin berasa diobrak-abrik,' batin Anisa, sambil mengusap kepalanya sendiri.
Saat Imam masuk, Anisa langsung menurunkan tangannya. Kemudian pria itu pun melajukan mobilnya.
"Nis! Kapan kamu mau resign?" tanya Imam.
"Hah?" Anisa terkejut saat ditembak dengan pertanyaan seperti itu.
"Aku kan udah bilang kalau aku gak suka kamu deket sama cowok lain. Jadi aku harap kamu segera resign dari tempat itu, ya!" pinta Imam.
Anisa mengerutkan keningnya. "Kita kan belum nikah. Tapi kenapa Bapak seposesif ini?" tanyanya.
"Maaf kalau sikapku berlebihan. Aku hanya ingin menjaga kamu dan hatiku. Aku harap kamu bisa mengerti bagaimana perasaanku, Nis," jawab Imam, jujur.
"Bapak gak percaya sama saya?" tanya Anisa.
Imam menghela napas. "Aku sangat percaya sama kamu. Tapi aku gak percaya sama orang-orang yang ada di luar sana," ujar Imam.
"Tapi saya tidak suka dikekang, Pak," ucap Anisa, jujur.
Imam menepikan mobilnya. Ia merasa harus bicara serius dengan gadis itu.
Pria itu meraih tangan Anisa dan menggenggamnya. "Nis, aku butuh waktu untuk mengendalikan perasaanku. Tapi aku akan berusaha untuk tidak seperti ini. Mohon sabar, ya?" pinta Imam.
"Kalau aku gak bisa sabar, gimana?" tanya Anisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Anisa
RomanceCinta sebelah pihak tentu sangat menyakitkan. Apalagi jika orang yang dicintai justru mencintai orang lain. Anisa yang selalu ceria dan sering mendekati dosennya itu terpuruk sejak papahnya dipenjara atas tuduhan korupsi. Ia berubah menjadi pendiam...