14. Sama-sama Bimbang

3.8K 240 21
                                    

Imam tercekat. Genggaman tangannya pun langsung melemas. Bagaimana pun ia sadar bahwa dirinya sudah memiliki tunangan. Imam tidak bisa seenaknya berpaling begitu saja. Apalagi hubungannya dengan Yasmin sudah terbilang lama.

Sadar akan reaksi Imam, Anisa pun langsung pamit. "Maaf, permisi!" ucapnya. Kemudian ia meninggalkan ruangan itu.

Imam sendiri bingung dengan perasaannya. Ia sadar dirinya telah memiliki tunangan. Namun ia pun tak rela jika Anisa bersama pria lain.

Anisa menutup pintu kamar pria itu secara perlahan. Kemudian ia melirik sekilas ke arah pintu.

"Aish! Bodoh sekali aku. Kalau begini kan jadi makin canggung," gumam Anisa, pelan.

Tadi dirinya terlalu terbawa emosi. Sehingga mengatakan hal itu dengan mudah. Saat menyadarinya, Anisa pun menyesal.

"Kenapa, Nis?" tanya Lusi.

"Euh, enggak Bu. Saya mau masak buat makan malam. Permisi," jawab Anisa. Ia khawatir Lusi mengetahui perasaannya pada Imam.

"Oh, iya," jawab Lusi. Ia sedkit bingung melihat sikap Anisa.

"Kenapa anak itu? Bukankah belakangan ini dia sudah cukup akrab dengan Imam? Bahkan sebelumnya dia terlihat sudah nyaman di rumah ini. Tapi sekarang kok jadi tertutup lagi?" gumam Lusi.

Anisa memasak di dapur dengan pikiran yang berkecamuk. Ia sangat bingung dengan perasaannya sendiri. "Aku harus bagaimana? Jika aku tetap tinggal di sini, rasanya sangat menyiksa. Apa aku cari tempat lain? Tapi apa majikannya akan baik?"

Anisa sangat bingung harus berbuat apa.

"Masak apa, Nis?" tanya Imam yang baru saja selesai mandi.

"Astaghfirullah!" Anisa sangat terkejut. Ia sedang melamun, sehingga suara Imam membuatnya terkejut.

"Kenapa?" tanya Imam.

"Gak apa-apa, Pak," jawab Anisa.

"Masak apa?" tanya Imam lagi. Ia malah seolah sengaja ingin mendekati gadis itu.

Padahal tadi Imam sempat terkejut dan berpikir sejenak. Namun entah mengapa setelah mandi dirinya malah semakin semangat untuk mendekati Anisa.

"Masak ikan goreng sama sayur," jawab Anisa, kemudian ia berlalu ke arah kulkas.

"Kayaknya enak, tuh. Kamu bikin sambal, gak?" tanya Imam lagi.

'Dia nih kenapa, sih? Udah dibilang aku gak mau deket-deket juga,' batin Anisa, kesal.

Tak mendapat jawaban dari Anisa, Imam malah mendekat ke arahnya. Ia berdiri di belakang Anisa yang sedang berjongkok di depan kulkas.

"Nis, kamu bikin sambal, gak?" tanya Imam, sambil memegangi pintu kulkas.

Anisa menghela napas kasar. 'Ya Allah, aku harus gimana?' batinnya. Ia sangat ingin pindah kerja. Namun Anisa takut mendapat majikan yang tidak baik. Sebab belum lama ini ia pernah melihat berita ada ART yang disiksa oleh majikannya.

"Bikin, Pak," jawab Anisa, singkat.

Saat itu Anisa sedang mengambil cabai bawang dan lainnya. Tiba-tiba ponsel Anisa yang ada di meja pun berdering.

Imam langsung menoleh ke arah ponsel tersebut. Ia sangat penasaran siapa yang menghubungi gadis itu. Akhirnya Imam pura-pura mengambil minum dan berjalan ke arah meja, lalu duduk di kursi.

'Ini pria yang tadi, kan?' batin Imam saat melihat foto profil orang yang menghubungi Anisa. Ia pun dapat membaca bahwa namanya 'Mas Yusuf'.

Anisa yang mendengar pun berjalan ke arah meja. Kemudian ia mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu.

Telepon terhubung.

"Assalamualaikum, Mas!" ucapnya, sambil berlalu mencari tempat sepi.

Imam melirik ke arahnya. "Sepenting itukah sampai harus bersembunyi?" gumam Imam. Ia yang semakin penasaran pun membuntuti Anisa dan menguping.

"Oh iya, ini aku lagi masak," jawab Anisa, setelah mendengarkan ucapan Yusuf.

[Mendengarkan]

"Iya lusa. Gak apa-apa kalau Mas gak bisa anter aku ke kampus. Kamu kan pasti sibuk," ucap Anisa lagi.

[Mendengarkan]

"Gak usah, Mas! Aku bisa pulangt sendiri kok. Biasanya juga emang sendiri, kan. Udah Mas fokus sama kerjaan aja!"

'Oh, sepertinya pria itu sudah janji mau mengantarnya ke kampus tapi ternyata tidak bisa,' batin Imam. Ia menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Entah mengapa Imam seperti bahagia.

"Bau apa ini?" gumam Imam. Kemudian ia melihat ke arah kompor.

"Astaga!" ucapnya. Imam pun berlari untuk mematikan kompor. Hampir saja ikan yang sedang digoreng oleh Anisa gosong.

Tak lama kemudian Anisa pun kembali ke dapur.

"Astaghfirullah, gosong ya, Pak?" tanyanya, kaget.

"Lain kali kalau lagi masak itu jangan ditinggal! Sibuk pacaran aja, sih!" ucap Imam. Ia masih penasaran akan hubungan Anisa dengan Yusuf.

"Maaf," jawab Anisa. Ia pun segera membalik ikan tersebut. Beruntung ikannya belum gosong. Hanya saja tadi minyaknya terlalu panas, sehingga menimbulkan aroma yang menyengat.

Imam kesal karena Anisa tidak merespon saat dituduh pacaran. Padahal ia berharap gadis itu menyangkalnya.

"Lagi apa, Mam?" tanya Lusi. Ia heran melihat Imam ada di dapur.

"Ini, tadi lagi minum, tapi nyium bau gosong," jawab Imam.

"Ooh, ikannya gosong, Nis?" Lusi bertanya pada Anisa.

"Alhamdulillah enggak, Bu," jawab Anisa.

"Syukurlah! Ya sudah kamu shalat maghrib dulu sana, Mam!" ucap Lusi.

"Memangnya sudah adzan, Bu?" tanya Imam.

"Ya belum. Tapi kan kamu harus siap-siap dulu."

"Oh iya," sahut Imam. Ia pun meninggalkan dapur.

"Nis, nanti kalau adzan masaknya tunda aja dulu! Kamu bisa shalat maghrib dulu," ucap Lusi pada Anisa.

"Baik, Bu," sahut Anisa.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah selesai shalat maghrib. Imam pun sudah pulang dari masjid. Kebetulan saat itu Anisa telah selesai masak.

"Wihh, pas banget nih lagi lapar, makanan sudah matang," ucap Imam. Ia bersemangat melihat makanan sudah tersaji di meja makan.

"Enak ya Mam kalau punya istri mau masak. Pulang kerja, pulang shalat, lapar udah ada makanan. Calon istri kamu mau masak gak, Mam?" tanya Lusi.

"Ibu kok nanyanya gitu?" Imam kurang suka dengan pertanyaan Lusi.

"Bukan apa-apa. Ibu cuma gak mau kamu kelaparan aja. Apalagi dia kan pasti sibuk. Jangan sampai di sini kamu bisa makan masakan rumah yang enak, pas udah nikah nanti malah kekurangan gizi," ucap Lusi.

"Enggaklah, Bu. Lagian sekarang kan masalah makanan mah gak ribet. Bisa pesan online," jawab Imam, sambil duduk di kursi.

Anisa yang sejak tadi bolak bali menyiapkan alat makan pun tak enak mendengarnya. Ia tak suka Imam membela Yasmin di depan ibunya. 'Ya Allah, kenapa aku jadi seperti ini?' batin Anisa.

"Dari jawaban kamu, ibu yakin kalau Yasmin gak pernah masak. Atau kalian memang sudah sepakat kalau dia gak mau masak?" tanya Lusi.

"Bu, sudahlah. Itu semua kan aku yang menjalani. InsyaaAllah dia baik," ucap Imam. Meski saat ini ia mulai tergoda oleh Anisa, tetapi Imam masih mencintai Yasmin.

"Kalau kamu memang sudah yakin, kapan kalian akan menikah?" tanya Lusi. Kebetulan saat itu Anisa sedang menuangkan air ke gelas yang ada di meja. Tanpa sadar Anisa menghentikan gerakkannya saat mendengar pertanyaan itu.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang