10. Pembantu

3.8K 254 13
                                    

Anisa terkesiap saat mengetahui bahwa Imam sudah memiliki tunangan. Seketika harapannya untuk bisa menjalin hubungan dengan pria itu hancur.

"O-ooh, silakan m-masuk!" ajak Anisa. Hatinya terasa begitu sesak. Meski ia belum memiliki hubungan dengan Imam, tetapi rasanya seperti dikhianati. Padahal Imam tidak salah apa-apa.

Wanita itu pun langsung masuk dan meninggalkan Anisa yang sedang mengunci pintu. "Pagi, Sayang!" sapa Yasmin saat tiba di ruang makan.

Imam dan Lusi yang sedang menikmati makanan pun menoleh ke arah wanita itu. Imam tak menyangka tunangannya itu akan datang. Sebab selama ini ia berada di luar negeri.

"Lho, kamu kok ada di sini?" tanya Imam. Ia langsung menoleh ke arah Anisa.

Imam tahu betul bagaimana selama ini Anisa berusaha mendekati dirinya. Meski ia belum pernah memberi harapan pada Anisa, tetapi Imam tidak enak hati. Ia khawatir gadis itu akan kecewa jika melihat dirinya bersama wanita lain.

"Reaksi macam apa itu? Tunangannya jauh-jauh datang ke sini bukan disambut dengan hangat," keluh wanita bernama Yasmin itu.

Yasmin mendekat ke arah Lusi dan menyapanya. Tak lupa ia memeluk serta menciup pipi Lusi. "Apa kabar, Tan?" tanya Yasmin.

"Kabar baik. Kamu sendiri gimana? Kapan pulang, kok udah ada di sini aja?" Lusi balik bertanya.

"Aku baru sampe, Tan. Sengaja langsung datang ke sini buat ngasih kejutan sama calon suami. Tapi kayaknya dia gak seneng gitu," keluh Yasmin.

Ia percaya diri mengatakan Imam adalah calon suaminya karena hubungan mereka memang sudah serius.

"Bukannya gak seneng. Kalau kamu ngabarin dulu kan aku bisa jemput ke bandara, Yas," ucap Imam. Kemudian ia mendekati Yasmin dan memeluknya.

Anisa yang sedang melangkah ke arah meja makan pun langsung menghentikan langkahnya. Hatinya sangat perih melihat pria yang selama ini ia idamkan sedang memeluk wanita lain.

Bahkan Anisa langsung balik badan karena tak sanggup melihatnya. 'Ya Allah, kenapa sakit sekali? Padahal dia bukan siapa-siapa aku,' batin Anisa.

Imam yang sedang memeluk Yasmin pun melihat Anisa sedang balik badan. Ia langsung melepas pelukannya karena tidak enak hati pada gadis itu.

"Ya udah duduk, yuk!" ajak Imam.

Mendengar Imam mengajak Yasmin duduk, Anisa yakin ia sudah melepaskan pelukannya. Akhirnya Anisa pun kembali balik badan sebab dirinya tak mungkin berdiri di sana terus.

"Oh iya, itu siapa?" tanya Yasmin. Ia penasaran siapa gadis yang membukakan pintu untuknya tadi.

Imam dan Lusi terlihat bingung menjawabnya. Mereka sudah menganggap Anisa seperti keluarga sendiri. Sehingga tak tega untuk mengatakan bahwa gadis itu asisten rumah tangga.

"Saya pembantu di sini, Mbak," jawab Anisa, apa adanya.

"Oooh pembantu," ucap Yasmin. Kemudian ia duduk.

Saat Yasmin duduk, Anisa mengambilkan sebuah piring untuknya. Hal itu ia lakukan sebagai sopan santun karena mereka sedang makan.

"Silakan!" ucap Anisa. Ia berusaha bersikap ramah meski hatinya sedang sakit.

"Terima kasih," sahut Yasmin.

Sesekali Imam melirik ke arah Anisa. Ia khawatir akan perasaan gadis itu.

Setelah memberikan piring pada Yasmin, Anisa hendak duduk di samping wanita itu.

"Lho, kamu mau ngapain?" tanya Yasmin, bingung. Ia tidak tahu bahwa Anisa selalu makan bersama dengan Imam dan Lusi.

"Kami memang selalu makan bersama, Yas. Harap maklum, ya!" ucap Lusi.

Yasmin mengerutkan keningnya. "Kok gitu, Tan? Harusnya pembantu itu jangan dikasih hati! Nanti bisa melunjak," ucap Yasmin. Ia tidak suka melihat Anisa diperlakukan spesial oleh mereka.

Apalagi meski seorang pembantu, wajah Anisa terlihat cantik dan menarik.

Lusi dan Imam saling melirik. Mereka tidak nyaman mendengar ucapan Yasmin barusan.

"Kami sudah biasa seperti ini kok, Yas," ucap Lusi.

"Tapi masa aku disejajarin sama pembantu, sih? Apa kata orang nanti?" sahut Yasmin. Ia masih tak sungkan untuk merendahkan Anisa, Yasmin tidak tahu bahwa Anisa merupakan anak seorang menteri.

Saat Lusi dan Imam hendak bicara, Anisa langsung memotongnya.

"Maaf kalau saya membuat Mbak tidak nyaman. Kalau begitu saya pamit, biar makan di belakang aja," ucap Anisa, sambil beranjak.

"Nah, bagus deh kalau kamu sadar. Harusnya dari kemarin kamu itu sadar diri. Masa pembantu mau makan di meja makan," ucap Yasmin.

Lusi tak bisa berkata-kata. Ia tak menyangka Yasmin seperti itu.

Selama ini Yasmin memang terlihat baik. Sebab ia tidak pernah berinteraksi dengan pembantu Lusi. Baru kali ini wanita itu terlihat begitu arogan.

Imam melirik ke arah Anisa. Ia merasa semakin tidak enak hati pada gadis itu.

"Ya udah, kalau begitu lanjut makan!" ucap Lusi. Meski tidak enak hati pada Anisa, tetapi ia tidak mungkin protes. Lusi tak ingin ada keributan di rumahnya itu.

Akhirnya mereka makan dengan tidak nyaman. Sementara itu Anisa sedang tidak berselera makan. Sudah patah hati, dihina pula. Sehingga ia tak mampu menelan makanan yang masuk ke mulutnya.

'Bodoh sekali aku. Kenapa selama ini aku tidak tahu kalau Pak Imam sudah memiliki tunangan?' batin Anisa.

Rasanya ia ingin pergi dari rumah itu. Dirinya sangat malu karena telah menyukai tunangan orang lain.

Namun ia tidak ada pilihan lain. Saat ini hanya itu pekerjaan yang paling nyaman. Apalagi pemilik rumah memperlakukannya dengan baik. Jika harus bekerja di rumah orang lain, Anisa takut pemilik rumahnya tidak ramah.

'Oke, aku harus kuat! Ini semua salahku. Sejak awal tidak mencari tahu lebih dulu. Pak Imam gak salah, jadi aku gak boleh marah. Gak tau diri aja kalau sampai aku marah sama beliau,' gumam Anisa dalam hati.

Ia tersenyum, tetapi air matanya yang sudah menggenang sejak tadi itu menetes.

"Apaan sih, Nis? Kenapa kamu jadi cengeng begini? Ya Allah, kalau lagi begini aku inget Papah sama Mamah," gumam Anisa. Akhirnya ia pun menangis karena sudah tidak dapat menahan perih di hatinya itu.

Saat itu Anisa duduk di taman belakang. Sebab ia tidak ingin melihat Imam bersama tunangannya.

"Pah, kapan Papah bisa bebas? Aku udah gak sanggup," lirih Anisa. Ia tak sadar ada seseorang yang sedang memperhatikannya di balik dinding.

Orang itu adalah Imam. Tadi ia pamit untuk mengambil minum di dapur. Namun karena tak melihat Anisa di sana, Imam pun mencarinya.

"Mah, seandainya ada Mamah di sini. Aku pasti gak merasa sendirian seperti ini. Aku kangen Mamah. Kalau gak ingat Fatih, rasanya aku pingin nyusul Mamah aja," lirih Anisa sambil menangis.

Imam terkesiap mendengar hal itu. Ia tak menyangka Anisa bisa memikirkan untuk menyusul ibunya yang telah tiada. Imam pun ingin menegurnya. Namun tiba-tiba ia mendengar suara Yasmin.

"Sayang!" panggil Yasmin.

Imam langsung menoleh. Ia tak ingin Yasmin tahu bahwa dirinya sedang memperhatikan Anisa. Akhirnya ia pun menghampiri Yasmin.

"Iya, ada apa?" tanya Imam.

"Kamu lagi ngapain, sih? Kok ngambil minumnya lama banget?" tanya Yasmin.

"Itu tadi ada kucing, jadi aku usir dulu," sahut Imam.

"Oohh. Emang pembantu kamu mana? Kok bukan dia yang ngurus? Apa dia gak becus kerja?" tanya Yasmin, sebal.

"Yas, tolong jaga bicaramu!" tegur Imam.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang