38. Bebas

2.9K 213 18
                                    

"Mau apa lagi dia menghubungi kamu?" tanya Imam, kesal.

Setiap kali mendengar atau melihat Yusuf, pria itu selalu tersulut emosinya.

"Mana aku tahu, Pak. Kan aku belum jawab," ucap Anisa, heran.

"Sini biar aku yang jawab!" pinta Imam.

"Pak. Kita belum menikah, lho. Bapak belum berhak untuk ikut campur urusan saya," ucap Anisa.

Imam tertegun sambil menatap gadis itu. Ia merasa malu karena terlalu arogan. "Ya sudah, lebih baik kamu jawab!" ucap Imam. Ia tak mungkin terlalu mengekang Anisa. Terlebih saat ini mereka belum menikah.

Anisa pun menjawab panggilan tersebut.

Telepon terhubung.

"Assalamualaikum," ucap Anisa.

"Waalaikumsalam. Kamu lagi di mana, Nis?" tanya Yusuf.

"Ini lagi di makam mamah sama Pak Imam. Ada apa, Mas?" Anisa balik bertanya.

"Aku punya kabar baik untuk kamu," ucap Yusuf, antusias.

"Kabar apa ya, Mas?"

"Besok papah kamu sudah bebas. Jadi kita bisa menjemputnya untuk pulang," ucap Yusuf. Ia yakin Anisa akan sangat bahagia mendengarnya.

Tebakan Yusuf pun benar. Ia sampai tak dapat mengontrol suaranya. "Serius, Mas?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Iya, Nis. Aku gak mungkin main-main untuk urusan sepenting ini. Jadi besok pagi kita jemput papah kamu, ya!" ajak Yusuf.

"I-iya, Mas. Terima kasih banyak, ya," ucap Anisa.

Telepon terputus.

"Ada apa?" tanya Imam. Ia heran melihat Anisa bahagia setelah ditelepon Yusuf barusan.

"Besok papah saya bebas, Pak!" ucap Anisa, sambil tersenyum lebar. Ia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya itu.

"Oya?" Imam pun tak kalah bahagia. Ia tak menyangka Yaqub akan bebas dalam waktu dekat. Terlebih lusa mereka akan menikah. Artinya mereka bisa melaksanakan pernikahan dengan sebagaimana mestinya.

"He'em. Besok aku sama Mas Yusuf mau jemput papah. Mungkin sekarang aku mau ke rumah Bibi biar rumahnya bisa dibersihkan dulu sebelum Papah pulang," ujar Anisa.

Imam yang awalnya ikut tersenyum langsung berubah kaku. "Kenapa harus sama dia? Aku kan calon suami kamu," ucapnya.

"Tapi kan dia pengacara Papah. Dia yang udah bantu beliau sampai bisa bebas seperti ini. Kalau bukan karena Mas Yusuf, mungkin papah aku masih mendekam di penjara," jelas Anisa.

Imam tak suka mendengar Yusuf dipuji oleh Anisa. "Oh, jadi kamu bangga karena pria itu bisa menolong papahmu? Sementara calon suamimu ini tak bisa diandalkan, begitu?" tanya Imam.

"Bukan begitu, Pak. Itu kan memang kapasitas dia. Jadi aku harus berterima kasih sama dia," ujar Anisa. Ia tak habis pikir dalam situasi seperti itu Imam masih cemburu pada Yusuf.

"Ya sudah, kalau begitu besok biar aku antar!" ucap Imam.

"Lho, memangnya besok Bapak gak ngajar?" tanya Anisa.

"Itu bisa saya atur. Masa calon mertua bebas gak dijemput. Dari pada kamu sama dia, lebih baik saya ubah jadwal mengajar untuk besok," ucap Imam, kesal.

Anisa tersenyum simpul. "Ya udah, tapi Mas Yusuf pasti tetap datang karena dia kuasa hukum Papah," ucap Anisa.

"Hem!" sahut Imam, kesal.

Anisa geleng-geleng kepala melihat pria itu cemburu.

Setelah mendoakan almarhumah mamah Anisa, kemudian bicara sebentar, mereka pun pamit. Lalu mereka pergi ke rumah Bibi untuk menjemput Fatih dan minta tolong membersihkan rumah yang selama ini disita.

Beberapa jam kemudian mereka sudah tiba di rumah Anisa. Sebelumnya Anisa janjian dengan Yusuf supaya rumah itu bisa mereka masuki.

Setelah melalui prosesnya, mereka pun bisa masuk ke rumah itu.

"Terima kasih ya, Mas. Akhirnya aku bisa masuk ke rumah ini lagi," ucap Anisa.

Imam kesal karena saat ini Ysuuf sudah seperti pahlawan bagi Anisa.

"Iya, dengan senang hati. Jadi rencananya sekarang kamu mau ngapain?" tanya Yusuf.

"Aku sama Bibi mau bersihin rumah ini. Supaya pas Papah pulang besok rumahnya udah bersih dan layak huni," jawab Anisa.

"Kalau begitu biar aku bantu," ucap Yusuf. Ia dengan senang hati membantu Anisa.

"Tidak perlu! Anda pasti sangat sibuk. Saya pun sangat berterima kasih karena Anda mau membantu keluarga calon istri saya. Sekarang biar kami saja yang membersihkan rumah ini. Kami tidak ingin lebih merepotkan Anda lagi. Bukan begitu, Nis?" tanya Imam pada Anisa.

"Euh, iya, Mas. Mas juga pasti banyak yang harus diurus, kan. Jadi biar kami aja yang bersihin rumah ini," ucap Anisa. Selain tak enak hati pada Yusuf, Anisa pun ingin menjaga perasaan calon suaminya itu.

Yusuf kesal sekaligus kecewa. Namun ia tak mungkin memaksa. Akhirnya dengan berat hati ia pamit dan meninggalkan rumah itu.

"Pak Imam kalau mau pulang juga gak apa-apa. Biar saya sama Bibi yang bersihin rumah ini. Ada Fatih juga," ucap Anisa, setelah Yusuf pergi.

"Mana mungkin saya membiarkan kamu repot sendirian, Nis. Nanti kita pulang sama-sama! Kalau begitu bair aku bersihkan bagian luar dulu, ya. Sebelum gelap," ucap Imam.

Ia pun langsung berlalu tanpa menunggu jawaban Anisa.

"Ciee, akhirnya bisa dapetin cinta sejatinya," ledek Bibi.

"Iihh, Bibi apaan, sih? Jangan diledekin, dong! Kan aku jadi malu," keluh Anisa.

Selama ini Bibi sering mendengar Anisa bercerita tentang Imam. Sehingga ia tahu bagaimana perasaan gadis itu terhadap dosennya tersebut.

"Gak usah malu, Non. Kan sebentar lagi bakalan jadi suami. Eh bukan sebentar, deh. Lusa," ledek Bibi lagi.

Wajah Anisa merona. Bahkan ia tak dapat mengendalikan senyumannya. "Udah dong, Bi! Lebih baik kita beresin ini cepetan! Mumpung belum malam. Aku mau ganti sprei semua kamar dulu, ya. Bibi bisa kerjain yang lain," ucap Anisa.

"Siap, Non!" jawab Bibi.

Mereka pun bekerja sama untuk membereskan rumah tersebut. Anisa begitu bersemangat karena besok papahnya bisa pulang. Ia sampai berkeringat dan hal itu membuat Imam gemas melihatnya.

"Sepertinya setelah ini kamu harus mandi besar," ledek Imam.

Anisa mengerutkan keningnya. "Hah?"

"Iya, mandi besar. Soalnya kamu sampai keringatan dan kotor begitu. Kan gak bisa cuma asal mandinya," ledek Imam lagi.

"Hiih, kirain apaan. Di mana-mana namanya mandi besar itu kan ..." Anisa tidak melanjutkan ucapannya.

"Kan apa?" goda Imam, dengan tatapan yang menggoda.

"Enggak apa-apa. Ya udah aku mau lanjut yang lain aja," ucap Anisa, sambil balik badan. Ia malu karena sudah salah paham dengan ucapan Imam.

"Kan apa, Nis?" ledek Imam lagi.

Anisa pun berlari untuk menghindari Imam.

Imam terkekeh melihat sikap calon istrinya itu.

"Non Nisa pasti seneng banget bisa nikah sama pujaan hatinya," celetuk Bibi.

Imam langsung menoleh ke arah sumber suara. Bibi baru saja muncul di sampingnya.

"Benarkan?" tanyanya.

"Iya. Memangnya Bapak gak tahu kalau selama ini Non Anisa menyukai Bapak?" tanya Bibi.

Hidung Imam sampai kembang kempis. Ia tak menyangka bahwa ada orang lain yang mengetahui hal itu.

"Memang Anisa suka cerita apa sama Bibi?" tanyanya.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang