35. Provokator

3.1K 192 17
                                    

"Oke, aku tahu dulu sikapku kurang baik padamu. Tapi mohon jangan seperti ini, Nis. Apa kamu suka jika aku mengemis cinta di hadapanmu?" tanya Imam.

"Bukan begitu, Pak. Tapi aku rasa saat ini Bapak berlebihan," sahut Anisa.

"Aku tidak berlebihan. Aku hanya berusaha menebus dosaku selama ini karena telah mengabaikanmu. Seperti inilah bentuk cintaku padamu, Nis. Aku menyesal karena terlambat menyadarinya," ucap Imam.

Sebenarnya Imam malu bersikap seperti itu. Namun mau bagaimana lagi. Anisa sudah terlalu dekat dengan Yusuf. Ia cemburu sekaligus takut jika wanitanya itu ditikung. Sebab saat ini hanyalah Anisa wanita yang ia yakini memiliki perasaan tulus terhadapnya.

Anisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Bapak tidak perlu banyak bicara! Sekarang buktikan saja jika memang perasaan Bapak itu tulus. Saya pun butuh waktu untuk memastikan bahwa saya bukan sekadar pelarian," ucap Anisa, jujur.

Imam memejamkan mata. Kemudian ia mengusap wajahnya karena frustrasi menghadapi sikap Anisa yang keras itu.

"Baiklah jika itu yang kamu mau," ucap Imam, lemas. Kemudian ia melajukan kendaraannya kembali.

Sejak saat itu Imam jadi diam.

'Apa dia marah sama aku?' batin Anisa. Ternyata ia justru penasaran ketika dosennya itu diam saja.

Imam sengaja tidak mengatakan apa pun. Ia khawatir apa yang keluar dari mulutnya akan membuat Anisa illfeel padanya.

'Sabar, Imam. Kamu tidak bisa memaksanya begitu saja. Kamu harus sadar bahwa ini memang terlalu cepat,' batin Imam.

Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di cafe. Saat mobil Imam tiba di parkiran, mobil Yusuf pun baru saja berhenti di sana.

Hati Imam terasa panas membayangkan bagaimana Anisa akan bekerja dengan pria itu. Meski mungkin Yusuf tidak akan seharian di sana. Setidaknya mereka akan berinteraksi cukup lama.

Namun ia tidak ingin Anisa kesal padanya. Sehingga Imam berusaha menahan cemburu meski ekspresinya tidak dapat disembunyikan.

Anisa pun menoleh dan ia menyadari bahwa wajah Imam sudah kaku. 'Apa dia sekesal itu? Mungkinkah dia merasakan yang sama seperti ketika aku melihatnya bersama wanita itu?' gumam Anisa dalam hati.

"Terima kasih atas tumpangannya ya, Pak," ucap Anisa.

"Iya, selamat bekerja," jawab Imam. Ia sengaja tidak turun karena takut terbawa emosi.

Dengan berat hati Imam membiarkan Anisa turun sendiri. Kemudian Yusuf pun langsung menghampirinya.

"Assalamualaikum, Nis!" sapa Yusuf dengan wajah begitu ceria. Ia senang bisa bertemu Anisa kembali.

Imam mencengkeram stir mobil karena terlalu kesal melihat sikap Yusuf. 'Sekarang aku memang belum punya hak. Tapi jika dia sudah resmi jadi istriku, jangan harap kamu bisa menatapnya seperti itu lagi!" geram Imam.

Kemudian dosen itu langsung pergi meninggalkan cafe tersebut.

Anisa menoleh kala mobil Imam melewatinya. Ia jadi merasa bersalah karena tak bisa menjaga perasaan calon suaminya itu.

"Waalaikumsalam, Mas. Udah pulang?" tanya Anisa, basa-basi.

"Iya. Alhamdulillah urusannya beres lebih cepat. Jadi aku bisa pulang lebih awal," sahut Yusuf.

Ia tidak bisa berlama-lama di sana karena merindukan Anisa. Sehingga Yusuf berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin supaya bisa segera kembali.

"Masuk, yuk!" ajak Yusuf.

Mereka pun masuk ke cafe, kemudian melanjutkan pekerjaan di ruangan yang sama.

Yusuf sangat bahagia karena bisa bekerja bersama Anisa. Ia berharap ke depannya hubungan mereka bisa lebih dari sekadar partner kerja. Namun Yusuf belum berani mengungkapkan perasaannya karena saat ini masalah Yaqub belum selesai.

Siang hari, saat Anisa baru kembali setelah makan siang di luar, Yasmin datang menemuinya. Wanita itu mengetahui tempat Anisa bekerja karena belakangan ini sempat membuntuti Imam.

"Bisa kita bicara 4 mata?" tanya Yasmin saat berhadapan dengan Anisa di dekat pintu cafe.

'Mau apa lagi dia?' batin Anisa. Ia ingin menghindar. Namun sepertinya wanita itu akan penasaran dan terus mengejarnya.

Akhirnya Anisa pun mau bicara dengan Yasmin. Ia mengajak wanita itu untuk duduk di kursi yang ada di teras depan cafe tersebut. "Silakan!" ucap Anisa.

Mereka pun duduk berhadapan.

"Langsung aja, ya! Aku tau sekarang Imam sedang berusaha mendekati kamu," ucap Yasmin.

Anisa masih belum menunjukkan respon. Ia yakin Yasmin datang menemuinya untuk merusak hubungannya dengan Imam.

"Semoga kamu gak tergoda begitu aja, ya! Sekarang kamu pikir, deh. Hubunganku dan Imam itu udah lama banget. Menurut kamu, apa dia bisa melupakanku dengan mudah begitu saja?" tanya Yasmin.

"Maaf ya, Mbak! Kamu gak perlu ikut campur masalah pribadi saya. Kalau Mbak datang ke sini hanya untuk membahas Pak Imam, lebih baik Mbak pergi!" ucap Anisa, tegas. Ia tak ingin membuka jalan bagi perusak hubungannya.

"Eits! Tunggu dulu! Aku tau kalau kamu itu udah suka sama Imam sejak lama. Sebagai sesama wanita, aku bisa lihat dari sikap kamu. Tapi apa kamu sebodoh itu sampai percaya bahwa dia bisa berpaling dengan mudah?

Selama ini dia selalu memohon supaya aku mau menikah dengannya. Aku tebak, pasti sekarang dia sedang melakukan hal yang sama ke kamu, kan?" tanya Yasmin.

Sebenarnya ia berani menebak seperti itu karena tahu Imam sudah membeli cincin untuk Anisa. Ia pun pernah mendengar Imam menghubungi temannya yang bekerja di KUA.

Ia tidak rela jika mantan tunangannya itu menikahi Anisa. Sehingga ia berusaha untuk mengagalkan pernikahan mereka.

Anisa menelan saliva. Saat ini ia memang sedang ragu dengan perasaan Imam. Ia berharap ucapan Yasmin hanya omong kosong. Namun wanita itu malah membuka sebuah file di ponselnya. Kemudian ia memutar rekaman suara.

Anisa pun dapat mendengar rekaman suara ketika Imam memohon supaya Yasmin mau menikah dengannya.

"Yas, kapan kamu siap untuk menikah? Aku cinta banget sama kamu. Aku mau kamu yang jadi ibu dari anak-anakku nanti," suara Imam.

Hati Anisa terasa seperti terbakar api. Tubuhnya pun panas saat mendengar Imam mengatakan bahwa dirinya hanya ingin Yasmin yang menjadi ibu dari anak-anaknya kelak.

Belum selesai sampai di situ. Yasmin pun memutar beberapa rekaman suara yang lebih menyakiti hati Anisa lagi.

"Selama bertahun-tahu tidak ada wanita mana pun yang bisa menggantikan kamu di hatiku, Yas. Bahkan digoda sekali pun aku tidak akan terpengaruh. Tolong kamu jangan siksa aku seperti ini!" suara Imam lagi.

Setelah itu Yasmin pun memutar banyak rekaman-rekaman lainnya.

"Cukup!" ucap Anisa. Ia sudah tidak sanggup untuk mendengarnya. Bahkan kini air matanya menggenang.

"Lebih baik kamu pergi. Saya masih banyak kerjaan," ucap Anisa, sambil berdiri.

Yasmin pun langsung berdiri. "Nis! Niatku baik. Aku cuma gak mau kamu tertipu sama Imam. Apa kamu bahagia hidup dengan kepalsuan? Kamu mau jadi istri dia tapi hati dia cuma buat aku?" tanya Yasmin.

Ia kembali membuka ponselnya. Kemudian ia menunjukkan sebuah foto mesra. Bahkan saat itu Yasmin hanya mengenakan bikini. Sedangkan Imam top less karena sebenarnya mereka sedang di pantai bersama teman yang lain.

Akan tetapi Yasmin mengambil angle seolah mereka sedang berduaan di sebuah rumah.

"Kalau kamu masih gak percaya. Aku bisa tunjukkan bukti yang lebih dari ini!" ucap Yasmin sambil menunjukkan foto mesranya bersama Imam.

Tangan Anisa gemetar kala melihat foto close up Yasmin dan Imam. Rasanya ia ingin menampar Imam karena telah mempermainkannya. Ia yang sedang bimbang itu begitu mudah terprovokasi oleh Yasmin.

"Tapi kalau kamu rela dinikahi tanpa cinta sih silakan aja. Asal jangan nyesel kalau pas udah nikah nanti dia masih ngejar aku. Jangan salahkan aku juga karena aku udah ingetin kamu," ucap Yasmin.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang