36. Cemburu

4K 237 16
                                        

Anisa sudah tidak sanggup mendengarkan ucapan Yasmin lagi. Ia pun langsung masuk, meninggalkan wanita itu.

Yasmin menyeringai penuh kemenangan. Ia yakin Anisa pasti percaya padanya.

Saat sudah duduk di kursi kerjanya, Anisa terlihat melamun. 'Apa benar dia hanya mempermainkanku? Tapi apa yang dikatakan wanita itu ada benarnya. Hubungan mereka sudah berlangsung lama. Mana mungkin dia bisa melupakannya begitu saja?'

"Aku harus bagaimana ini? Sebelumnya aku memang sudah ragu. Sekarang malah ditambah ucapan wanita itu, hiks!" Anisa sangat bimbang menghadapi situasi seperti itu.

Padahal hari ini ia berniat untuk datang ke makam mamahnya. Setelah itu ia akan menemui adiknya. Namun sayang, kedatangan Yasmin membuat Anisa menundanya.

"Lebih baik aku tidak memberi tahu Fatih dulu. Mungkin saja rencana pernikahannya bisa batal," gumam Anisa. Ia berpikir untuk membatalkan pernikahannya jika Imam terbukti belum move on dari Yasmin.

Sore hari, Yusuf datang lebih awal. Ia sengaja ingin mengantar Anisa pulang.

Anisa sendiri belum mengatakan dirinya akan menikah. Ia malu jika tiba-tiba mengatakan hal itu. Apalagi saat ini dirinya masih bimbang.

"Udah selesai kerjanya?" tanya Yusuf.

"Baru aja beres, Mas," jawab Anisa.

"Ya udah, kalau begitu biar aku antar pulang, yuk!" ajak pria itu.

"Gak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri, kok. Masih sore ini," jawab Anisa. Ia ingat ucapan Imam. Sehingga Anisa berusaha menjaga perasaan pria itu.

"Udahlah. Mumpung aku lagi sempat. Kalau sibuk lagi kayak kemarin-kemarin kan gak akan mungkin bisa nganterin kamu," ujar Yusuf. Ia sedikit memaksa Anisa.

Anisa terdiam untuk beberapa saat. 'Buat apa juga aku jaga perasaan dia, ya? Dia aja mainin perasaan aku,' gumam Anisa dalam hati.

"Ya udah. Deh. Ayo!" sahut Anisa. Kemudian mereka keluar dari ruangan kantor tersebut.

Saat keluar dari cafe, Anisa berpapasan Imam. Pria yang awalnya bersemangat itu langsung kaku saat melihat Yusuf sedang membukakan pintu untuk Anisa.

"Ayo pulang!" ajak Imam.

"Anisa akan pulang dengan saya," timpal Yusuf.

"Kami satu rumah, jadi Anda tidak perlu repot mengantarkan Anisa," ucap Imam, yakin.

"Tapi Anisa sudah setuju untuk pulang dengan saya. Iya kan, Nis?" tanya Yusuf pada gadis itu.

"Iya. Ayo, Mas!" sahut Anisa. Ia pun langsung berlalu meninggalkan Imam.

Hati Imam terasa sesak saat melihat sikap gadis itu. Ia pun langsung mengejarnya.

Pria itu pun protes, "Nis! Gak bisa begitu, dong. Aku jauh-jauh datang ke sini buat jemput kamu. Masa kamu malah mau pulang sama dia?"

"Anda jangan memaksa, ya! Biarkan Anisa mengambil keputusan sendiri!" tegur Yusuf.

"Kamu jangan ikut campur! Saya datang ke sini hanya ingin menjemput calon istri saya!" skak Imam. Ia bahkan mengangkat tangan Anisa dan menunjukkan cincin yang melingkar di jari gadis itu.

Yusuf langsung terkesiap. "Calon istri?" tanya Yusuf, gugup.

"Ya! Lusa kami akan segera menikah," jawab Imam, yakin.

Anisa terperanjat. Ia langsung menoleh ke arah Imam. Gadis itu tak menyangka bahwa akan dinikahi lusa.

"Apa benar itu, Nis?" tanya Yusuf. Ia sangat terpukul mendengarnya.

Anisa bingung hendak menjawab apa.

"Tentu saja benar. Kami sudah mendaftarkan pernikahan ke KUA. Jadi saya harap Anda tidak mengganggu calon istri saya lagi!" ucap Imam, tegas. Kemudian ia langsung menggandeng Anisa dan menariknya ke mobilnya.

Imam membukakan pintu dan meminta Anisa masuk. Setelah itu ia pun masuk ke mobil. Kemudian meninggalkan Yusuf yang tercenung begitu saja.

"Kenapa bisa sangat mendadak? Sejak kapan mereka memiliki hubungan?" gumam Yusuf. Kakinya lemas membayangkan Anisa akan dinikahi oleh pria itu.

"Kamu kenapa sih, Nis? Aku kan udah minta kamu buat jauhin dia. Kenapa tadi kamu malah lebih milih pulang sama dia?" tegur Imam. Ia sangat kesal jika mengingat bagaimana tadi Anisa mengabaikannya.

Anisa diam. Ia sedang kalut memikirkan pernikahannya serta ucapan Yasmin tadi.

"Kenapa diam? Kamu sengaja mau nguji aku ya, Nis?" tanya Imam lagi.

Anisa yang diam pun menoleh ke arah Imam. "Apanya yang perlu diuji, Pak?" sindirnya.

"Entahlah. Aneh aja. Udah jelas calon suaminya jemput. Tapi malah sengaja mau pulang sama cowok lain. Perasaan tadi pagi kita gak punya masalah. Kamu marah sama aku? Marah kenapa?"

"Saya gak marah. Saya cuma heran, kenapa Bapak harus menjadikan saya pelarian. Apa tidak ada wanita lain yang bisa Bapak mainkan hatinya?" tanya Anisa.

"Hah? Maksudnya apa, sih? Kamu gak usah ngaco deh, Nis! Siapa yang bilang kamu pelarian?" Imam sangat heran melihat sikap Anisa yang marah-marah tidak jelas.

"Mantan tunangan Bapak. Yasmin," skak Anisa.

Ciittt!

Imam berhenti mendadak. Ia sangat terkejut setelah mengetahui bahwa Yasmin menemui calon istrinya itu. "Dia nemuin kamu?"

"Iya. Kenapa? Kok kayaknya kaget banget?"

"Jelas aja aku kaget. Aku yakin dia pasti mau merusak hubungan kita. Jangan bilang kalau kamu percaya apa yang dia ucapkan!" pinta Imam.

Mungkin dulu Imam pernah mengucapkan kata manis. Mungkin juga dulu Yasmin wanita satu-satunya yang Imam cintai. Namun kini keadaan sudah berbeda. Sehingga Imam tidak merasa memiliki sesuatu yang perlu disembunyikan dari Anisa.

"Saya emang gak percaya sama omongannya. Tapi saya percaya sama omongan Bapak. Bapak bilang cuma cinta sama dia dan cuma mau dia yang jadi ibu dari anak-anak Bapak," skak Anisa.

Deg!

Imam berusaha mengingat-ingat apa yang pernah ia katakan pada mantan tunangannya itu.

"Bahkan hubungan kalian sudah sangat dekat. Kalian sempat bermalam di sebuah villa. Entah apa yang sudah kalian lakukan," lanjut Anisa. Bisa dikatakan ia sedang cemburu.

"Hah? Villa?" Imam tak merasa pernah bermalam dengan mantan tunangannya itu.

"Sudahlah, Pak! Mungkin rencana pernikahan ini perlu dipikirkan lagi. Saya gak mau cuma jadi pelarian. Bisa-bisa setelah menikah nanti Bapak balik lagi sama wanita itu," ucap Anisa, kesal.

"Gak bisa gitu dong, Nis! Aku sangat yakin ingin menikah denganmu. Kamu gak perlu khawatir! Aku gak akan mungkin pernah kembali ke dia lagi." Imam sangat frustrasi mendengar ucapan calon istrinya itu.

"Aku gak tahu apa yang dia katakan sama kamu. Tapi kamu harus sadar kalau dia itu hanya sedang berusaha merusak hubungan kita. Oke, mungkin apa yang kamu dengar itu memang pernah aku katakan. Tapi kan itu dulu.

Wajar jika aku mengatakan kalimat seperti itu karena memang dulu aku mencintainya. Tapi sekarang semua sudah berubah. Usiaku juga tidak muda lagi. Jadi wajar jika aku punya masa lalu, Nis," jelas Imam. Ia sangat bingung harus menjelaskan seperti apa lagi.

Kemudian Imam melanjutkan ucapannya. "Jujur, jika dikatakan menyesal, jelas aku menyesal. Menyia-nyiakan waktuku hanya untuk sesuatu yang tidak berharga. Seandainya bisa mengulang waktu, pasti aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.

Aku harap kamu bisa berpikir lebih bijak lagi. Sekarang kamu pikir. Setelah melihat dia tidur dengan pria lain. Apa menurutmu aku masih sudi untuk kembali padanya? Aku tak sebodoh itu, Nis.

Sudah jelas ada wanita yang tulus mencintaiku. Untuk apa aku mengharapkan yang lain lagi? Bagiku rumah tangga itu masa depan. Tidak bisa dipermainkan. Jadi salah besar jika kamu beranggapan seperti itu," skak Imam.

Mata Anisa berkaca-kaca. Ia sangat bingung dengan perasaannya sendiri. Ia pun berkata, "Aku cemburu, Pak," lirihnya.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang