20. Resign

4.7K 295 42
                                    

Yusuf langsung sumeringah kala menyadari bahwa orang yang akan melamar kerja di cafenya adalah Anisa. Tanpa perlu interview pun sudah pasti akan ia terima.

"Silakan duduk, Nis!" ucapnya. Ia tak dapat menyembunyikan kegembiraan di wajahnya itu.

"Terima kasih, Mas," jawab Anisa. Ia pun duduk di hadapan Yusuf.

"Aku gak tau kalau cafe ini punya Mas Yusuf," ucap Anisa.

"Aku juga gak nyangka kalau kamu bakalan ngelamar ke sini, hehe. Emang kamu mau pindah kerja, Nis?" tanya Yusuf.

Anisa mengangguk. "Iya, kalau bisa," jawabnya.

"Bisa, dong. Masa gitu aja gak bisa. Kalau kamu mau kerja di sini, kamu bisa mulai kapan aja," ucap Yusuf, yakin.

Anisa terkejut. "Lho, aku kan belum interview, Mas?" tanyanya. Ia tak menyangka akan semudah itu.

"Menurut kamu apa aku perlu mewawancarai kamu lagi, hem?" tanya Yusuf.

Anisa tersenyum. "Iya tapi gimana, ya? Masa langsung kerja begitu aja?" Anisa jadi salah tingkah.

"Why not? Bahkan kalau kamu mau tinggal di rumah aku pun silakan. Sejak awal kan aku udah nawarin kamu, tapi kamunya yang gak mau," ujar Yusuf.

Ia memang sering mengajak Anisa untuk tinggal di rumahnya. Namun Anisa selalu menolak karena tidak enak hati. Ia tak ingin berhutang budi pada Yusuf.

"Hehehe, maaf. Jadi aku beneran diterima, nih?" tanya Anisa.

"Iya, dong. Jadi kapan kamu mau mulai kerja?" Yusuf balik bertanya.

"Eum, kalau besok, gimana? Aku harus pamit dulu sama Bu Lusi. Terus harus mindahin barang-barang juga," ujar Anisa.

"Oke! Silakan. Pokoknya kapan pun kamu siap, kamu bisa langsung kerja di sini. Nanti kalau kamu sudah selesai di sana, hubungi aku aja! Biar aku yang antar," ucap Yusuf.

"Eh, gak usah. Aku bisa naik kendaraan umum, Mas. Ya udah kalau begitu aku pamit dulu, ya. Gak enak kalau terlalu lama di luar," ujar Anisa.

"Oke, silakan!" sahut Yusuf. Ia pun berdiri untuk mengantar Anisa.

"Mas, gak usah. Kamu kan pasti lagi sibuk," ucap Anisa, tidak enak hati.

"Udah gak apa-apa. Ayo!" sahut Yusuf. Ia tak mau mendengar ucapan Anisa.

Mereka pun meninggalkan ruangan itu. Saat Anisa dan Yusuf keluar ruangan, mereka jadi pusat perhatian. Para staf cafe heran karena Yusuf sampai mengantarkan Anisa. Selama ini tidak pernah ada yang seperti itu.

"Mereka kok kayaknya akrab banget, ya?" tanya para staf.

"Entahlah. Mungkin emang saling kenal, kali," sahut staf yang lain.

"Bisa jadi, sih. Gak mungkin juga kan kalau cuma wawancara aja sampe diantar begitu?"

"Ya enggaklah. Emangnya Bos kurang kerjaan? Hehehe."

"Nis! Aku tunggu besok, ya! Jangan sampai gak datang," ucap Yusuf.

"Siap, Mas. Eh tapi ... kalau aku lihat di iklan, staf yang kerja di sini bisa tinggal di mess, kan?" tanya Anisa.

Yusuf terdiam sejenak. "Bisa, sih. Tapi itu kurang aman, Nis. Lebih baik kamu tinggal di rumah aku aja! Gimana?" ajak Yusuf.

"Heuh?" Anisa terkejut saat mendengar ajakan Yusuf.

"Iya, tinggal di rumah aku. Biar kamu lebih nyaman. Anggap aja itu rumah sendiri!" jelas Yusuf.

Anisa langsung menggelengkan kepalanya, cepat. "Enggak, Mas. Terima kasih, aku di mess aja kalau emang diizinkan," jawab Anisa.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang