05. Dirundung

4K 251 4
                                    

"Euh, iya Bu," sahut Anisa, gugup. Ia malu karena ketahuan sedang memandangi Imam.

"Ya sudah, sana berangkat! Nanti telat," ucap Lusi, sambil menyentuh bahu Anisa.

Akhirnya Anisa pun pamit dan memberanikan diri untuk masuk ke mobil Imam. Namun, ia masuk melalui pintu tengah.

Imam langsung menoleh ke belakang. "Kamu ngapain di situ?" tanya Imam, heran.

Anisa terkejut. "Saya duduk di belakang aja, Pak," sahut Anisa. Ia canggung jika harus duduk di samping Imam.

"Ooh, jadi kamu mau anggap saya sopir?" tanya Imam. Ia sengaja mengatakan hal itu agar Anisa mau pindah ke depan.

"Eh, bukan begitu, Pak. Saya cuma ...." Anisa bingung bagaimana cara menjelaskannya. Tidak mungkin jika dirinya mengatakan bahwa ia canggung.

"Sudah, pindah ke depan!" pinta Imam. Ia tidak nyaman jika mereka duduk di baris yang berbeda. Imam pun tak ingin berdebat lagi.

"Iya, Pak," jawab Anisa. Akhirnya ia pindah ke kursi di samping Imam.

Setelah Anisa masuk ke mobilnya, Imam pun melajukan kendaraannya tersebut.

"Skripsi kamu sudah berapa persen?" tanya Imam, membuka obrolan.

"Baru 60 persen, Pak," jawab Anisa. Ia hanya menjawab seperlunya.

"Apakah kamu bisa fokus mengerjakan skripsi jika sambil bekerja seperti itu?" tanya Imam lagi.

"Setiap orang pasti mampu melakukan apa pun dalam kondisi terdesak, Pak. Jadi saya yakin bisa. Toh di luaran sana banyak yang lebih susah dari pada aku," jawab Anisa.

'Tapi masalahnya mereka mungkin sudah biasa menghadapi situasi sulit. Sehingga tidak terlalu kaget. Sedangkan kamu biasa hidup dengan segala kemudahan,' gumam Imam di dalam hatinya.

Saat hampir tiba di kampus, Anisa bicara pada Imam. "Maaf, Pak. Saya turun di jalan depan aja!" ucap Anisa.

"Lho, kenapa?" tanya Imam, bingung.

"Saya gak enak kalau nanti ada yang lihat saya turun dari mobil Bapak. Kan pasti Bapak juga malu," jelas Anisa.

"Siapa bilang? Saya gak malu, kok," sahut Imam. Ia tidak ingin dianggap seperti itu oleh Anisa.

"Tapi apa pun itu, lebih baik saya turun di jalan saja. Saya tidak mau merusak image Bapak," ucap Anisa.

Ia bersikeras ingin turun di jalan. Sebab pasti akan banyak buah bibir jika dirinya datang bersama Imam.

"Ya sudah kalau begitu," ucap Imam. Ia pun tidak mungkin memaksa Anisa.

Imam pun menepikan mobilnya, kemudian Anisa pamit dan turun dari mobil itu.

Setelah turun dari mobil Imam, Anisa berjalan menuju kampus yang lokasinya tidak jauh dari tempat itu.

Saat memasuki wilayah kampus, begitu banyak pasang mata yang mencuri pandang ke arahnya. Mereka semua memperhatikan Anisa sambil bisik-bisik.

Anisa sendiri tidak heran, baginya hal itu wajar karena berita tentang penangkapan papahnya sudah tersebar luas ke seluruh nusantara. Sehingga pasti orang lain akan mencibirnya sebagai anak koruptor.

"Wihh, masih berani datang ke kampus juga, lo?" tanya salah seorang wanita yang sudah sejak lama benci pada Anisa.

Anisa tidak ingin menanggapinya. Ia berusaha menghidari mereka. Gadis itu tidak ingin mencari masalah dengan orang lain.

"Gimana rasanya punya bokap terkenal? Pasti happy banget, kan? Ups! Kalau terkenalnya karena korupsi, happy juga gak, ya?" ledek wanita itu.

Anisa sempat menghentikan langkahnya. Ia hampir terpancing karena papahnya dicibir seperti itu. Namun kemudian ia berusaha menenangkan hatinya sendiri. Ia berusaha keras untuk 'menutup telinga' rapat-rapat agar tidak mendengar ejekan lagi.

Akan tetapi, wanita itu seolah tak puas jika Anisa belum marah. Mereka terus memancing emosi Anisa.

"Gak kebayang sih gimana rasanya banyak harta, tapi hartanya dari hasil uang haram. Duh ... uang negara lho itu. Enak ya, bisa hidup bergelimang harta, tapi ternyata makan duit rakyat."

Napas Anisa semakin menggebu. 'Tenang, Nis! Jangan sampai terpancing,' batinnya.

"Gitu deh kalau orang serakah. Pasti menghalalkan segala cara. Gak kebayang nanti matinya kayak apa," cibir mereka lagi.

Akhirnya Anisa pun naik pitam. Kali ini ia sudah tidak dapat menahannya lagi. Ia pun langsung berhenti dan menoleh ke arah orang-orang yang telah mencibirnya.

"Kalian boleh hina gue sesuka hati kalian! Tapi jangan pernah hina bokap gue!" ucap Anisa dengan tatapan tajam sambil menunjuk mereka.

"Mang kenapa? Koruptor doang mah pantes dihina, kali. Orang dia sendiri yang bikin hidupnya terhina. Iya gak, guys?"

"Tutup mulut lo! Lo gak pernah tau bokap gue kayak apa. Jadi jangan sok tau! Dari pada sibuk ngurusin gue, mending urusin hidup lo sendiri!" ucap Anisa, kesal. Kemudian ia langsung balik badan dan hendak melanjutkan jalannya.

Namun Anisa mengingat sesuatu. Ia pun menghentikan langkahnya dan bicara, "Oh iya, bokap lo bandar judi, kan? Sebelum ngehina gue, mending ngaca dulu! Hidup lo udah bener apa belum," ucap Anisa. Kemudian ia berlalu.

Wanita itu langsung terdiam. Ia sangat geram karena Anisa mampu membalasnya. Namun mahasiswi yang lain berusaha membela wanita tersebut.

"Seenggaknya gak kayak bokap lo yang makan duit negara!" teriaknya.

Sontak saja Anisa disoraki oleh banyak orang yang ada di sana. Mereka yang tidak begitu mengenal Anisa pun terpancing karena emosi mendengar berita korupsi. Padahal hal itu belum terbukti.

Saat Anisa sedang disoraki, kebetulan Imam melintas di sana.

"Apa seperti ini sikap seorang mahasiswa?" tanya Imam.

Mereka pun langsung diam.

"Sebagai dosen, saya malu memiliki mahasiswa yang tidak berakhlak seperti kalian. Apa untungnya mencibir teman kalian seperti itu?" Imam terlihat begitu emosi.

Ia yang sedang kasihan pada Anisa tersebut semakin tidak tega melihatnya dirundung seperti itu.

"Lain kali tolong jangan ada perundungan seperti itu lagi. Jika kalian lupa! Baca lagi tata tertib di kampus ini. Sampai saya melihat yang seperti tadi, saya tidak akan segan untuk memanggil orang tua kalian. Paham!" ancam Imam.

"Paham, Pak," sahut mereka, lemas.

Mereka tidak menyangka akan ada yang membela Anisa. Padahal mereka pikir kasus yang dilakukan oleh Yakub akan dibenci oleh semua orang tanpa terkecuali.

Saat itu Anisa sudah pergi, sehingga ia tidak tahu bahwa Imam sudah membelanya. Anisa memutuskan untuk pergi ke perpustakaan untuk menenangkan diri.

Setelah menasihati mahasiswa yang lain, Imam kembali mencari Anisa. Ia khawatir gadis itu akan terpukul karena dirundung seperti tadi.

***

Hai ... terima kasih sudah membaca kisah MaNis (Imam dan Anisa). Sekadar info, kalau kalian gak sabar pingin baca lanjutannya, kalian bisa baca duluan di KaryaKarsa. Di sana sudah hampir 30 bab.

Ini link lanjutannya, ya: https://karyakarsa.com/JustMommy/imam-untuk-anisa-bab-06-baca-duluan

Makaciii,

See u,

JM.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang