22. Wakil Saya

3.5K 237 16
                                    

"Pagi, Pak! Anisa anak baru itu, ya? Sedang di lantai dua," jawab Meta. Ia belum sadar bahwa Yusuf sangat peduli dengan gadis itu.

Yusuf mengerutkan keningnya. Ia bingung sebagai anak baru Anisa ada di lantai dua pagi-pagi. Tanpa bicara lagi Yusuf langsung meninggalkan tempat itu.

"Kenapa serius banget, sih?" gumam Meta, heran.

"Nis! Kamu lagi apa?" tanya Yusuf. Ia kaget melihat Anisa sedang mengepel lantai.

Anisa menoleh ke arah Yusuf. "Eh, Mas Yusuf. Lagi ngepel," jawabnya.

"Iya aku tahu. Maksud aku kenapa kamu ngepel? Ini kan bukan tugasmu," ucap Yusuf. Ia langsung mengambil alat pel yang sedang dipegang oleh Anisa.

"Iya tadi ...." Belum sempat Anisa menjelaskan, Yusuf sudah menarik tangannya.

"Sini ikut aku!" ajaknya.

Anisa pun membuntuti Yusuf karena tangannya digandeng oleh pria itu. Kemudian mereka turun dan menghampiri Meta.

"Siapa yang menyuruh Anisa?" tanya Yusuf sambil menunjukkan alat pel.

Kebetulan di sana sudah ada beberapa staf yang baru datang. Mereka bingung dengan apa yang dimaksud Yusuf. "Maaf, Pak! Kami baru datang," jawabnya.

"Tidak mungkin Anisa melakukan hal ini jika tidak ada yang menyuruhnya. Lebih baik kalian mengaku atau aku tanya ke Anisa langsung!" ancam Yusuf.

Anisa terkejut melihat sikap Yusuf. Selama ini pria itu selalu bersikap lembut dan baik padanya. Namun ternyata dia bisa galak pada stafnya.

Diancam seperti itu, Meta pun takut. Akhirnya ia mengaku dengan berat hati. "S-saya, Pak. Dia kan anak baru, jadi—"

"Jadi apa? Jadi harus kamu pelonco? Atau harus kamu buli, hah?" bentak Yusuf. Darahnya langsung naik membayangkan Anisa membersihkan cafe itu seorang diri.

Bukan apa-apa. Ia sudah susah payah meminta Anisa agar mau ikut dengannya. Jika dipersulit seperti itu, Yusuf khawatir Anisa akan pergi lagi.

"Mas, sudahlah! Aku gak apa-apa, kok," jawab Anisa.

Meta terkesiap saat mendengar Anisa memanggil Yusuf dengan sebutan 'Mas'.

"Gak apa-apa gimana, Nis? Ini baju kamu aja sampai basah karena keringat. Pasti kamu ngepel bukan di lantai dua aja, kan? Lantai dua aja udah luas, apalagi kalau harus ditambah lantai satu. Kerja pakai baju basah begini bisa-bisa kamu masuk angin," ucap Yusuf.

Mereka heran melihat nada bicara Yusuf bisa langsung berubah saat sedang bicara dengan Anisa.

"Iya nanti aku ganti pakaian," jawab Anisa. Kebetulan tadi ia sengaja tidak memakai seragamnya dulu saat hendak mengepel.

"Pokoknya mulai saat ini saya tidak mau melihat Anisa nyapu dan ngepel lagi. Dia ini wakil saya. Paham!" ucap Yusuf, tegas.

Anisa terperanjat. Ia tak menyangka akan mendapat jabatan seperti itu. Namun Anisa merasa dirinya tak pantas menerima jabatan tersebut.

Saat itu Yusuf langsung pergi ke ruangannya. Anisa pun menyusulnya karena ingin klarifikasi mengenai jabatannya.

"Mas! Maaf, sepertinya ada yang salah," ucap Anisa.

"Apa, Nis?" tanya Yusuf, sambil duduk di kursi.

"Aku kan belum pengalaman, Mas. Rasanya jika harus menjabat seperti itu, aku tidak sanggup," ucap Anisa.

"Aku yakin kamu pasti bisa. Hanya perlu belajar sedikit. Nanti aku ajari," jawab Yusuf.

"Tapi, Mas. Apa kata orang nanti, aku yang baru bekerja ini langsung dapat jabatan itu?" tanya Anisa lagi.

"Tidak perlu mendengar ucapan orang lain! Fokuslah pada dirimu sendiri dan kewajibanmu sebagai pegawai. Kalau kamu menolak, kamu bisa pindah ke rumahku dan tidak perlu bekerja di sini lagi!" skak Yusuf.

"Lho, kok begitu?" tanya Anisa, heran.

"Karena kamu tanggung jawab aku, Nis. Aku sudah berjanji pada papahmu akan menjagamu," jawab Yusuf.

"Tidak perlu seperti itulah, Mas," ujar Anisa.

"Nis! Kamu tuh kenapa, sih? Gak bisa kah nurut sama aku sekali saja? Please!" Yusuf memohon pada Anisa.

"Ya sudah kalau begitu. Maaf ya pagi-pagi sudah membuat Mas Yusuf emosi," ucap Anisa. Kemudian ia pamit dan meninggalkan ruangan itu.

"Aku bukan emosi sama kamu. Aku emosi lihat kamu disiksa," gumam Yusuf sambil menatap Anisa.

Gadis itu pergi ke mess untuk berganti pakaian. Ia pun sudah tidak nyaman karena pakaiannya basah. Setelah itu ia kembali ke ruang loker untuk memakai seragam yang sudah tersedia di sana.

"Ada hubungan apa kamu sama Pak Yusuf?" tanya Meta. Ia masih penasaran dengan hubungan mereka.

"Gak ada, Mbak," jawab Anisa.

"Mana mungkin. Kamu pacarnya, kan?" tuduh Meta. Bukannya meminta maaf, ia malah seolah menantang Anisa.

Meta tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Yusuf.

"Terserah, deh. Silakan Mbak yakini apa yang Mbak ingin yakini. Yang penting aku udah jawab," ucap Anisa. Kemudian ia meninggalkan Meta dari ruangan tersebut.

"Kurang ajar! Mentang-mentang dibelain Pak Yusuf. Dia langsung jadi songong banget," gumam Meta, kesal.

Sementara itu Anisa pergi ke ruang office untuk menemui atasannya.

"Permisi," ucapnya.

"Masuk, Nis!" sahut Yusuf.

"Lho, Mas Yusuf kok belum berangkat? Emang hari ini gak ada kerjaan?" tanya Anisa. Ia tahu Yusuf merupakan orang sibuk. Sehingga Anisa bingung pria itu masih ada di cafe.

"Ya ini aku lagi kerja. Cafe ini juga kan punya aku yang harus aku pantau. Untuk kerjaan yang lain, masih bisa dilakukan nanti, kok," jawab Yusuf, santai.

"Oooh, iya. Terus aku harus ngapain ya, Mas? Maaf aku beneran belum punya pengalaman. Jadi bingung," jawab Anisa.

"Sini biar aku ajari! Kamu bisa duduk di sini," ucap Yusuf. Ia pun berdiri.

"Ah! Masa di situ? Gak enaklah. Emangnya gak ada meja lain?" tanya Anisa. Ia bingung karena Yusuf menyruhnya duduk di kursinya.

"Gini! Saat ini cuma kamu yang aku percaya di cafe ini. Kamu tahu kan kalau aku itu sibuk? Jadi aku harap kamu bisa mewakiliku untuk mengecek seluruh laporan cafe," jelas Yusuf.

"Tapi kan aku belum pengalaman, Mas. Gimana kalau salah?" tanya Anisa.

"Aku yakin kamu ini cepat tangkap. Makanya sekarang aku mau mengajari kamu. Di sini sudah ada satu orang manager. Biasanya dia datang kalau cafe sudah buka sampai sore. Nanti kamu bisa kenalan sama dia," jelas Yusuf.

Ia menarik Anisa dan memintanya duduk di kursi itu. Anisa pun terpaksa menurutinya. Setelah itu Yusuf menjelaskan apa saja yang harus Anisa lakukan.

Sementara itu di tempat lain sedang ada orang yang sibuk mencari Anisa. "Aku harus mencarinya ke mana? Kenapa dia pergi mendadak, sih?" keluh Imam, kesal.

Sejak semalam ia berusaha menghubungi Anisa. Namun gadis itu tidak menjawabnya sama sekali. Hal itu pun membuat Imam tidak bisa tidur. Sehingga hari ini dosen itu mencarinya.

"Anisa ... kamu keterlaluan sekali. Sudah mau lulus kuliah tapi kelakuan masih seperti anak-anak. Kalau ada masalah kan harusnya bilang. Bukan menghilang seperti ini," gumam Imam, kesal.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang