03. Sangat Terkejut

4.5K 288 5
                                    

Imam sangat kaget melihat Anisa ada di rumahnya. Pun dengan Anisa. Ia tak menyangka bisa bertemu Imam di sana.

"Kamu kok ada di sini?" tanya Imam. Ia sangat lega bisa menemukan gadis itu kembali. Setidaknya saat ini dirinya tidak perlu pusing lagi mencari Anisa.

Ia merasa ada yang lain dari gadis itu. Jika biasanya Anisa selalu agresif mendekatinya. Kini ia justru terlihat lebih menjaga sikap.

"Saya kerja di sini, Pak. Maaf, Bapak cari siapa, ya?" Anisa balik bertanya.

Di rumah itu tidak ada foto yang terpajang. Sehingga ia tidak tahu bahwa itu adalah rumah dosennya tersebut.

"Ini rumah saya," jawab Imam, kikuk.

Anisa terperanjat. "R-rumah Bapak?" tanyanya, kaget. Ia tak menyangka bahwa tempatnya bekerja adalah rumah orang yang sedang ia hindari.

Sejak papahnya ditangkap, Anisa memutuskan untuk melupakan Imam. Dulu saja Imam tidak mau padanya, apalagi kali ini. Ia yakin pria itu akan semakin menghindarinya. Namun jika kondisinya saat ini Anisa jadi bingung karena pasti akan lebih sulit melupakan Imam.

"Iya," ucap Imam.

"S-silakan masuk, Pak!" ujar Anisa. Ia pun membuka lebar pintu rumah itu dan menyingkir agar Imam bisa lewat.

Imam pun masuk dengan salah tingkah. Ia masih tidak habis pikir mengapa Anisa bekerja di rumahnya.

Tadi siang ibunya memang sempat menghubungi Imam. Ia mengatakan bahwa sudah ada orang yang melamar untuk menjadi asisten rumah tangga.

Namun ia menjelaskan bahwa orang itu minta izin jika sedang ada perlu akan masuk setengah hari. Setidaknya seminggu sekali.

Kala itu ibu Imam yang bernama Lusi itu tidak menjelaskan pada Imam apa alasan dia izin setiap minggu. Padahal ia sudah tahu bahwa gadis itu izin untuk kuliah.

Ini adalah semester terakhir dan Anisa hanya perlu melengkapi SKS satu mata pelajaran. Yaitu mata kuliah yang diajar oleh Imam. Sehingga ia banyak waktu luang untuk mengerjakan hal lain.

Alasan Anisa memilih menjadi asisten rumah tangga adalah waktunya lebih fleskible. Sehingga ketika sedang senggang, ia bisa mengerjakan skripsinya.

Ia pun bersedia untuk tinggal di rumah itu. Sedangkan adiknya ia titipkan di rumah Bibi. Sebab Bu Lusi ingin ART yang tinggal di rumahnya, supaya ketika ia butuh sesuatu akan lebih mudah.

Kala mendapat tawaran pekerjaan itu, Anisa tidak memiliki pilihan lain. Ia terpaksa menitipkan Fatih di rumah Bibi dari pada harus meninggalkannya di kost-an.

Tentu saja Bibi bersedia dengan senang hati. Kala itu Bibi pun sempat mengatakan bahwa Imam mencarinya. Namun Anisa yang telah mantap ingin melupakan Imam pun tidak menghiraukannya.

"Bapak mau minum apa?" tanya Anisa.

Ia memang belum pernah menjadi asisten rumah tangga. Namun ia ingat apa saja yang sering dilakukan oleh ART-nya dulu. Sehingga Anisa berusaha menerapkannya.

"Heuh? Air mineral aja!" jawab Imam. Ia semakin salah tingkah karena merasa seperti suami yang dilayani istrinya.

Selama ini ART yang pernah kerja di rumahnya tidak pernah melakukan hal itu. Berbeda dengan di rumah Anisa. Papahnya adalah pejabat, sehingga dilayani dengan baik oleh Bibi. Bahkan biasanya Bibi sudah menyiapkan minuman sebelum Yakub pulang.

"Ibu di mana?" tanya Imam.

"Ada di kamar, Pak," jawab Anisa.

"Oh oke, terima kasih," sahut Imam. Ia pun mencari ibunya.

Imam menemui ibunya untuk menanyakan mengapa Anisa bisa bekerja di sana. Akhirnya Bu Lusi pun menjelaskan alasan dirinya menerima Anisa.

"Dia memang belum berpengalaman. Tapi ibu yakin bahwa anak itu jujur," ucap Lusi.

Sejak awal datang ke rumah itu, Anisa memang menceritakan kondisinya terhadap Lusi apa adanya. Ia bahkan tidak mengada-ada dan jujur tidak pernah menjadi ART sebelumnya.

Hal itu yang membuat Lusi kagum pada Anisa. Sebab di luaran sana banyak ART yang berbohong hanya demi mendapat pekerjaan.

"Tapi apa Ibu yakin dia bisa membantu Ibu? Dia masih kuliah dan pasti akan sibuk dengan urusan kuliahnya," ucap Imam.

Bukannya tidak ingin memberi pekerjaan pada Anisa. Imam hanya tidak tega jika gadis itu menjadi pembantu di rumahnya.

"Ya, Ibu tahu itu. Makanya tadi Ibu bilang ke kamu bahwa setidaknya dalam satu minggu ia akan izin satu kali atau mungkin lebih untuk kuliah. Tapi dia tetap akan melakukan pekerjaannya setelah tugasnya selesai," jelas Lusi.

"Tadi Ibu tidak bilang kalau dia masih kuliah," ucap Imam.

"Ya sudahlah. Apa salahnya kita membantu dia? Kasihan dia harus membiayai adiknya juga. Anggap saja kita sama-sama menolong," ucap Lusi.

"Ya sudah kalau memang Ibu yakin bahwa dia bisa. Aku mau mandi dulu," ucap Imam.

"Ya, silakan! Jangan lupa makan," jawab Lusi.

"Iya, Bu."

Imam pun meninggalkan kamar ibunya.

Saat ia melintasi ruang tengah, Anisa mengatakan sesuatu padanya. "Bapak mau makan kapan? Biar saya hangatkan lagi nasi dan lauknya," tanya Anisa.

Biasanya Bibi selalu memastikan bahwa nasi dan lauk yang akan dimakan majikannya hangat. Sehingga Anisa bertanya seperti itu pada Imam.

"Hem ... setengah jam lagi. Saya mau mandi dulu," jawab Imam.

"Baik, Pak," sahut Anisa. Ia pun langsung pergi ke dapur.

Imam mengerutkan keningnya. "Dia beneran Anisa yang aku kenal, kan? Tapi kenapa sikapnya sangat beda?" tanyanya. Ia bingung karena kali ini Anisa benar-benar cool.

Masih jelas di ingatannya bagaimana genitnya gadis itu ketika berhadapan dengannya. Bahkan ia sering malu karena dirayu oleh Anisa.

Selesai mandi, Imam pun menuju ke meja makan. Saat itu Anisa sedang menuangkan air untuknya.

"Silakan, Pak," ucap Anisa, sambil menarik kursi untuk Imam.

Imam merasa hal itu berlebihan. Sehingga ia melarang Anisa melakukannya. "Lain kali tidak perlu seperti ini, ya! Saya bisa sendiri," ucap Imam, hati-hati. Ia khawatir Anisa tersinggung.

"Oh iya, Pak. Kalau begitu selamat makan!" ucap Anisa. Ia pun meninggalkan tempat tersebut.

"Anisa, tunggu!" ucap Imam.

"Iya, Pak?" tanya Anisa.

"Eum ... kamu kenapa kemarin gak kuliah?" Sebenarnya Imam bisa menebak alasan Anisa. Namun ia bertanya lagi karena ingin tahu alasan lebih detil-nya.

"Iya, Pak. Maaf saya bolos. Kemarin saya sibuk mencari kerja. Tapi insyaaAllah minggu depan saya masuk kuliah lagi," jawab Anisa.

"Iya, pesan saya tolong jangan sampai kamu putus kuliah, ya! Apa pun yang terjadi, lanjutkan kuliahmu sampai selesai! Jika kamu butuh apa-apa, jangan sungkan untuk bilang ke saya"! pinta Imam.

"Terima kasih banyak, Pak. Tapi saya tidak mau berhutang budi pada orang lain. Jadi sebisa mungkin saya akan usaha sendiri. Kalau begitu silakan dilanjut makannya, Pak! Parmisi," ucap Anisa. Kemudian ia berlalu ke dapur.

Imam menoleh ke arah Anisa dan menatapnya dengan tatapan nanar.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang