Malam hari Imam baru saja terbangun. Mereka ketiduran karena lelah mereguk manisnya 'malam pertama' yang dilakukan di sore hari. Tadi mereka langsung mandi, shalat ashar dan maghrib, kemudian terlelap.
Imam mengerejapkan matanya. "Emh, jam berapa ini?" gumamnya, sambil melihat ke arah jam.
"Ya ampun, udah jam 10. kita belum makan malam, tapi Anisa masih tidur," gumam Imam. Kemudian ia menoleh ke arah istrinya itu.
Imam tersenyum melihat wajah Anisa yang kelelahan. "Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat," ucapnya, sambil mengusap pipi Anisa.
"Hemm," gumam Anisa. Ia menggeliat kala Imam menyentuhnya.
Imam pun langsung menarik tangannya. Ia tak ingin mengganggu tidur istrinya itu. Namun sayang, Anisa terlanjur membuka mata.
"Eh, udah bangun," ucap pria itu, sambil melemparkan senyuman terbaiknya.
"Jam berapa, Mas?" tanya Anisa, dengan suara parau, khas baru bangun tidur.
"Jam 10, Sayang. Kamu masih capek, ya?" tanya Imam, sambil mengusap-usap kepala Anisa.
Anisa megangguk. "He'em. Lemes banget," lirih Anisa, manja.
Imam menarik wanita itu ke dalam pelukannya. "Ya udah, istirahat aja kalau lemas. Tapi kita makan dulu, ya? Kan dari sore kamu belum makan. Apalagi abis itu, pasti energi kamu banyak terkuras," ucap Imam.
Anisa mendongak, menatap suaminya. "Kan Mas Imam yang bikin tenagaku terkuras banyak," ucapnya. Ia tak ingin dihukum lagi karena tak mengubah panggilannya. Sehingga kini Anisa memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Hehehe, maaf. Aku terlalu bersemangat. Abisnya enak, sih," bisik Imam, nakal.
"Tapi kan masih ada lain waktu. Kayak yang nikahnya cuma sehari aja, deh. Mau langsung diabisin semuanya," keluh Anisa.
"Jadi kamu nyesel?" tanya Imam, sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Enggak, sih. Cuma ini tulang aku kayak lepas semua," ucap Anisa, kemudian ia mencebik.
"Ya udah, kalau begitu aku pesen makanan dulu. Nanti biar makanannya diantar ke sini," ucap Imam. Kemudian ia turun dari tempat tidur dan menghubungi restauran.
Saat Anisa menoleh ke arah Imam, ia melihat kamar itu sangat berantakan. Bunga-bunga berserakan. Tak hanya itu, bahkan pakaian mereka pun belum sempat dipindahkan dari tempat semula.
Tadi mereka terlalu lelah. Selesai mandi langsung shalat di dekat sofa yang kebetulan masih rapi. Kemudian naik ke tempat tidur lagi untuk beristirahat.
Beruntung ukuran kamar itu sangat luas. Sehingga masih ada space untuk mereka shalat. Bagian yang berantakan hanya di sekitar tempat tidur.
"Sayang, kamu mau pesan makan apa?" tanya Imam.
"Eum ... apa aja deh, Mas. Lagi laper gak bisa mikir," jawab Anisa, jujur.
Imam tersenyum bangga. Akhirnya ia pun memilih beberapa menu untuk mereka.
Selesai memesan makanan, Imam memunguti pakaian mereka satu per satu. Sebenarnya Anisa malu saat Imam memunguti pakaian miliknya. Namun ia tak ada tenaga untuk menahannya. Membiarkan berantakan pun tak nyaman.
"Makasih ya, Mas," ucap gadis itu.
"Iya, Sayang. Kamu istirahat aja! Nanti aku suapin kalau makanannya udah datang," ucap Imam, sambil menaruh pakaian tadi di plastik khusus pakaian kotor.
Setelah itu Imam duduk di samping Anisa kembali. Kemudian Anisa langsung memeluk suaminya itu. Rasanya begitu nyaman setelah apa yang mereka lakukan tadi.
"Hem ... ada yang mulai berani peluk-peluk, ya? Atau mau minta nambah?" goda Imam. Padahal ia senang melihat Anisa berani memeluknya.
"Emmhh, emangnya aku gak boleh meluk suami sendiri?" tanya Anisa, manja.
"Boleh, dong. Justru lebih sering lebih baik. Malah aku seneng kalau dipeluk sama kamu," ucap pria itu, sambil mencubit hidung Anisa.
"Aku gak nyangka, deh," ucap Anisa.
"Gak nyangka kenapa?" tanya Imam, penasaran.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Ia malah tersenyum karena malu untuk mengatakan apa yang sedang ia pikirkan.
"Malah senyum-senyum. Kenapa, sih?" tanya Imam lagi.
"Ada, deh," sahut Anisa. Senyumannya sangat meledek.
"Wahhh, udah berani nantang aku, ya?" Imam langsung menggelitik istrinya itu.
"Hihihi, ampun, Mas. Aku lemes. Jangan digelitik nanti makin lemes, hihihi." Anisa berusaha menghindari gelitikan Imam.
"Makanya cerita, dong! Jangan bikin aku penasaran!" ucap Imam.
"Iya-iya, aku cerita," sahut Anisa.
Imam pun merebahkan tubuhnya. Kemudian ia menatap Anisa untuk mendengarkan ceritanya.
"Jadi, sebenernya aku tuh gak nyangka. Ternyata dosen yang udah lama banget aku idolain, sekarang bisa jadi suami aku, hehe," jawab Anisa, malu-malu.
Senyuman Imam langsung merekah. "Terus apa lagi?" tanyanya.
"Terus ... aku juga gak nyangka, ternyata Pak Imam yang super cool itu ...." Anisa sengaja menggantung ucapannya supaya Anisa penasaran.
"Itu apa, Sayang?" Imam pun benar-benar penasaran.
"Ya itu ... Mas Imam sangar banget kalau lagi begitu," ucap Anisa. Kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu.
Imam terkekeh. "Emang sangar banget?" tanyanya, bangga.
Anisa menggangguk. "Banget! Aku sampe kewalahan," ucapnya, tanpa membuka tangannya itu.
"Tapi kamu suka, kan?" bisik Imam.
"Suka, sih. Cuma kalau udah lemes kan jadinya gak begitu menikmati," sahut Anisa, jujur.
Imam membuka tangan Anisa secara perlahan. Ia ingin menatap wajah istrinya itu. "Jadi kamu sukanya yang kayak gimana?" tanyanya. Ia ingin mereka sama-sama menikmati permainan panas itu.
"Yaa ... aku sih sukanya yang biasa aja. Gak terlalu ngoyo juga. Kalau tadi mah kamu kayak orang mau perang. Aku sampe dibolak-balik kayak telur dadar," ujar Anisa, manja.
Imam pun terkekeh dibuatnya. "Hehehe, ya maaf. Tadi aku gak bisa ngontrol diri. Abis gimana, namanya juga baru pertama kali ngerasain. Eh ketagihan, deh," sahut Imam, jujur.
Anisa ternganga. Permainan Imam tadi membuatnya berpikir bahwa Imam sudah sering melakukannya. Sehingga ia terkejut saat mendengar Imam mengatakan bahwa itu yang pertama untuknya.
"Emang Mas belum pernah ...?" tanya wanita itu.
"Apa? Kamu suudzon sama aku?" Imam balik bertanya.
"Enggak. Bukan begitu maksudnya. Cuma tadi kayaknya Mas udah pinter banget mainnya. Masa iya belum pernah?" tanya Anisa, penasaran.
Imam bangga saat disebut pintar bermain. "Emang menurut kamu aku pintar?" tanyanya, ingin dipuji lagi.
Anisa mengangguk. "Iyalah. Kalau gak pinter, gak mungkin bikin aku sampe lemes begini," sahut Anisa.
"Berarti kamu suka, dong?" tanya Imam lagi.
"Iihh, nanyanya itu mulu. Kan udah aku jawab. Iya aku suka!" Anisa sebal karena Imam menanyakan hal yang sama berulang kali.
Imam mendekatkan bibirnya ke telinga Anisa. "Ketagihan, gak?" tanyanya, nakal.
"Mas Imam! Gak usah dibahas, ih! Ini kan aku lagi nanya serius. Kamu udah pernah apa belum?" Anisa kesal karena Imam malah menggodanya terus.
"Hehehe, iya-iya ... aku kan cuma pingin tau aja. Kalau kamu ketagihan, aku siap buat ngasih kapan pun. Kalau enggak, ya nanti aku aja yang minta," canda Imam.
"Dih! Dasar, dari tadi ngomongnya itu terus, deh. Pertanyaanku gak dijawab-jawab!" Anisa jadi kesal.
"Iya aku jawab sekarang. Jadi sebenarnya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Anisa
RomanceCinta sebelah pihak tentu sangat menyakitkan. Apalagi jika orang yang dicintai justru mencintai orang lain. Anisa yang selalu ceria dan sering mendekati dosennya itu terpuruk sejak papahnya dipenjara atas tuduhan korupsi. Ia berubah menjadi pendiam...