"Jadi, dulu waktu zaman Bapak belum ditangkap KPK, Non Anisa itu tiap pulang kuliah pasti cerita. Misalnya dia ketemu Pak Imam, Non Anisa seneng banget. Bahkan bukan cuma ke Bibi, lho. Tapi ke Bapak juga," ucap Bibi.
"Oya?"
"Iya! Katanya Pak Imam itu sangat kharismatik. Cara ngajarnya mudah dimengerti. Wawasannya luas. Dia jadi ngefans banget sama Bapak," kata Bibi. Ia begitu antusias menceritakan bagaimana Anisa curhat padanya.
Hal itu pun membuat Imam sangat bahagia. Ia tak menyangka ternyata perasaan Anisa sedalam itu padanya.
"Makanya pas Bibi tahu Pak Imam mau menikahi Non Anisa. masyaaAllah, Bibi ikut senang. Gak kebayang deh perasaan Non Anisa seperti apa," ujar Bibi.
Ia sengaja membocorkan rahasia itu supaya Imam tahu bagaimana perasaan Anisa. Harapannya dengan begitu semoga Imam bisa lebih menghargai perasaan anak majikannya tersebut.
"Bibi kok malah ngobrol di sini?" tanya Anisa. Ia curiga apa yang sebenarnya mereka bicarakan.
Imam senyum-senyum saat melihat Anisa muncul.
"Kan biar gak capek, kerjanya sambil ngobrol, Nis," ucap Imam.
"Emang lagi bahas apa?" tanya Anisa, penasaran.
"Ada, deh!" sahut Bibi, sambil senyum.
"Iihh, Bibi mah bikin aku penasaran! Abis bahas apa, sih?" tanya Anisa, lagi.
"Bi, makasih, ya," ucap Imam. Ia malah seolah ingin membuat gadis itu makin penasaran.
"Bi! Bibi ngomong apa sama Pak Imam?" tanya Anisa. Melihat Imam mengucapkan terima kasih, Anisa jadi khawatir Bibi telah membocorkan rahasianya.
"Enggak, Non. Pak Imam cuma nanya Bibi udah berapa lama kerja di sini. Terus Beliau juga nanya makanan kesukaan Non apa aja," jawab Bibi. Ia tak mungkin mengaku karena khawatir Anisa akan malu.
"Bener?" tanya Anisa. Ia tak percaya begitu saja.
"Bener ... iya kan, Pak?" Bibi mencari dukungan.
"Iya betul. Tapi tadi Bibi belum sempat jawab pertanyaan yang terakhir. Jadi makanan kesukaan Anisa apa, Bi?" Imam paham kode yang diberikan oleh Bibi.
"Itu lho, Pak. Non Anisa sukanya ..."
"Hssstt! Gak usah dikasih tau, Bi! Biar Pak Imam usaha sendiri. Laki-laki itu kan harus peka," ujar Anisa, memotong pembicaraan Bibi.
Imam tersenyum. "Oohh, ya udah. Nanti juga kalau udah nikah, aku bisa tau. Iya gak, Bi?" sahut Imam, santai.
"Betull!" ucap Bibi sambil mengangkat kedua ibu jarinya.
Skeetika wajah Anisa merona. Ia jadi teringat bahwa dua hari lagi dirinya akan resmi menjadi istri Imam.
"Udah beres, nih. Jadi apa lagi yang perlu dibersihkan?" tanya Imam. Ia sudah selesai membereskan bagian depan. Meski sempat berbincang, tetapi tangan Imam tetap bekerja.
"Bapak mau ngopi?" tawar Anisa.
"Emang ada?"
"Ada kopi gak, Bi?" Anisa malah bertanya pada Bibi.
"Ada, Non. Tadi Bibi sengaja bawa. Biar Bibi aja yang buatkan!" ucap Bibi.
"Gak usah, Bi. Kebetulan aku udah ganti semua sprei. Bibi tolong sapu dan pel lantai semua kamar, ya! Biar aku yang bikin kopinya," ujar gadis itu.
"Siap, Non! Kalau begitu Bibi tinggal dulu, ya," ucap Bibi sambil mengedipkan mata ke arah Imam. Imam tersenyum melihat kelakuan Bibi.
"Ya udah aku bikin kopi dulu," ucap Anisa. Ia pun meninggalkan pria itu.
Senyuman Imam terus mengembang. Ia jadi mengkhayal sudah sah menjadi suami Anisa. "Gini kali rasanya punya istri, hehe," gumam pria itu. Imam pun mencuci tangan dan kakinya. Kemudian ia masuk ke rumah itu lagi.
Ia menyusul Anisa yang sedang ada di dapur. "Bisa gak bikin kopinya?" tanya Imam, basa-basi. Padahal ia hanya ingin dekat-dekat dengan Anisa.
"Bisalah, Pak. Gini-gini kan aku pengalaman jadi ART," jawab Anisa, bangga.
"Iya juga. Apalagi sebentar lagi kamu bakalan jadi IRT, ya," sahut Imam.
Anisa tidak menjawabnya.
"Kamu seneng gak sih mau nikah sama aku?" tanya Imam, sambil menyandarkan tubuhnya pada meja dapur.
"Ada, deh," sahut Anisa. Ia enggan untuk menjawabnya.
"Ya udah, kalau begitu aku anggap aja kamu senang. Malah senang banget," ujar Imam.
Set!
Anisa langsung memicingkan matanya ke arah pria itu. "Kok maksa?" tanyanya.
"Lho, bukannya maksa. Cuma siapa sih yang gak seneng kalau mau nikah? Apalagi nikah sama orang yang dicintai," ucap Imam sambil menahan senyuman.
Anisa memelototi pria itu. Kemudian ia mencubitnya. "Iihhh, pede banget, siihhh!" ucapnya sambil menggeretakkan gigi.
"Aduh, sakit tau!" keluh Imam. Ia memegangi tangan gadis itu. "Bukan pede. Tapi fakta. Ayo ngakuu!" goda Imam.
"Bapak jangan gitu, dong! Nanti aku batalin pernikahannya, nih!" ancam Anisa. Saat ini ia sedang bahagia karena papahnya sudah bebas. Sehingga Anisa terlihat lebih ceria dari biasanya.
"Gak akan bisa! Kan datanya udah masuk ke KUA. Semua orang terdekat kita juga udah tau. Jadi gak mungkin dibatalin. Kamu mau papahmu kecewa?" tanya Imam.
"Huuh! Mentang-mentang dosen. Pinter muter omongan," cibir Anisa. Saat itu ia baru selesai membuat kopi. Ia pun memberikan kopinya pada Imam.
"Iya dong. Kalau gak pinter, aku gak akan bisa jadi dosen. Dan gak akan bisa bikin kamu jatuh cinta selama bertahun-tahun," sahut Imam, sambil menerima kopi itu. Kemudian ia langsung balik badan.
"Hah? Maksudnya apa?" tanya Anisa. Ia malu jika diingatkan bagaimana kelakuannya saat ia sering mengejar Imam, dulu."
"Maksudnya. Terima kasih ya. Kopi buatan calon istriku sangat mantap," ucap Imam, setelah menyeruput kopi tersebut.
"Iihh! Gak jelas!" ujar Anisa. Meskipun kesal, ia tetap tersenyum.
Saat hari sudah malam, Anisa pun pamit pada Bibi. Awalnya ia ingin tidur di rumah itu. Namun berhubung dirinya belum pamit pada Lusi, Anisa pun memutuskan untuk kembali ke rumah Lusi bersama Imam.
"Fatih, Mbak tinggal dulu, ya! insyaaAllah besok Mbak pulang ke sini lagi," ucap Anisa, pada adiknya itu.
"Iya. Mbak hati-hati di jalan!" sahut Fatih.
"He'em. Besok kamu tetap sekolah, ya! Jangan bolos," kata Anisa. "Bi! Titip Fatih, ya!" pinta gadis itu pada Bibi.
"Siap, Non!" sahut Bibi.
Anisa dan Imam pun meninggalkan rumah tersebut.
"Kalau begini, rasanya kayak pengantin baru yang pulang dari rumah orang tua, ya," gumam Imam, ketika mereka sudah ada di jalan.
"Bapak kok sekarang pikirannya ke pengantin atau nikah terus, sih?" tanya Anisa.
"Ya kan sebentar lagi kita mau nikah, Nis. Masa iya aku mikirin punya anak? Nikah aja belum," jawab Imam. Ia heran karena Anisa suka berubah-ubah.
"Yee, bukan begitu maksudnya. Emang kalau mau nikah harus dibahas terus?"
Imam menggenggam tangan gadis itu. "Gimana, ya? Mungkin karena aku terlalu antusias, jadi pinginnya bahas terus," jawab Imam tanpa menoleh. Kemudian ia mengecup punggung tangan gadis itu.
Cup!
"Iihh, Bapak!" keluh Anisa. Ia langsung menarik tangannya.
Imam pun menoleh ke arah Anisa. "Kenapa? Kamu gak suka kalau di tangan, ya? Sukanya di bibir?" canda Imam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam untuk Anisa
RomanceCinta sebelah pihak tentu sangat menyakitkan. Apalagi jika orang yang dicintai justru mencintai orang lain. Anisa yang selalu ceria dan sering mendekati dosennya itu terpuruk sejak papahnya dipenjara atas tuduhan korupsi. Ia berubah menjadi pendiam...