08. Baik Lagi

3.6K 243 4
                                    

"Eh, Bapak. Ini, mau pulang," jawab Anisa. Ia kikuk karena bingung. Sikap Imam yang sempat mengabaikannya itu membuat Anisa menjadi canggung.

"Kalau mau ke rumah, bareng aja! Saya juga mau pulang," ajak Imam.

"Gak usah, Pak. Saya jalan aja," sahut Anisa, berusaha menolak. Ia tidak nyaman jika harus dibonceng oleh Imam.

"Kalau kamu jalan, nanti sampai rumahnya lama. Ini kan masih jauh. Terus siapa yang menyiapkan makanan untuk saya nanti?" tanya Imam. Ia sengaja mengatakan hal itu agar Anisa mau ikut dengannya.

"Oh iya, ya udah kalau begitu," jawab Anisa. Akhirnya ia naik ke motor Imam. Anisa duduk miring dan berpegangan pada bagian belakang motor.

"Kamu dari mana?" tanya Imam, saat sudah melajukan kendaraannya.

"Habis ketemu sama adik, Pak," jawab Anisa, jujur.

"Adik kamu tinggal di mana?" tanya Imam lagi.

"Di rumah Bibi yang dulu kerja di rumah saya," sahut Anisa. Ia lupa bahwa Imam pernah menemui bibinya.

"Kenapa gak kamu ajak tinggal di rumah saya saja?" Ternyata Imam sengaja bertanya soal adik Anisa untuk hal itu.

"Enggak, Pak. Gak enak, saya kan kerja di sana, masa udah numpang mau ngajak adik juga," jawab Anisa.

"Gak apa-apa, Nis. Ibu juga pasti senang karena rumahnya jadi ramai. Dari pada adikmu numpang di rumah orang. Di rumah saya kan dia bisa tidur sama kamu," jelas Imam.

"Terima kasih, Pak. Tapi saya gak mau terlalu banyak berhutang budi sama keluarga Bapak. Masalah Fatih, biar saya yang urus," jawab Anisa.

Sikap Imam yang sempat dingin padanya membuat Anisa merasa harus menjaga jarak. Ia tak ingin sakit hati karena diabaikan lagi oleh pria itu.

"Ya sudah kalau memang itu yang kamu mau," ucap Imam. Ia tidak ingin memaksa Anisa.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah Imam. Anisa pun turun dari motor dosennya itu. "Terima kasih atas tumpangannya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Anisa, kemudian ia langsung berlalu.

"Dia kenapa, sih?" gumam Imam, pelan. Ia tak sadar bahwa sikapnyalah yang membuat Anisa menjaga jarak seperti itu.

Akhirnya Imam pun masuk ke rumah.

"Kamu dari mana, Mam? Kok tadi pulang langsung pergi lagi?" tanya Lusi.

Anisa yang berada di ruang makan pun mendengarnya, ia melirik sekilas karena penasaran apa jawaban Imam.

"Tadi abis beli sesuatu, Bu," jawab Imam, salah tingkah.

"Beli apa? Kamu gak bawa apa-apa," tanya Lusi lagi. Ia tidak paham bahwa pertanyaannya itu justru menjatuhkan harga diri anaknya.

"Itu habis beli ... beli pulsa. Pulsa aku abis," jawab Imam, asal.

"Oalah ... tumben, biasanya kamu ngisi pakai e-wallet," ucap Lusi.

"Lagi pingin cari angin aja, Bu. Jadi sekalian keluar," sahut Imam sambil mengajak ibunya masuk.

Ia sedikit lega karena Anisa sudah tidak ada di sana. Imam tidak sadar bahwa gadis itu telah mendengarnya.

'Aneh banget, kayak orang gaptek aja beli pulsa harus keluar rumah. Dia kan pasti punya banyak e-wallet,' batin Anisa.

Ia yang sudah terbiasa menggunakan e-wallet itu merasa sikap Imam sangat aneh. Namun Anisa tidak berani berpikir macam-macam.

Berbeda dengan kemarin, hari ini Imam makan masakan Anisa. Setibanya di rumah, ia masuk ke kamar untuk mandi, kemudian langsung pergi ke ruang makan.

"Masak apa hari ini, Nis?" tanya Imam, basa-basi. Ia merasa bersalah karena kemarin telah mengabaikan Anisa.

Ia pikir dirinya tidak pantas ikut campur masalah pribadi gadis itu. Apalagi setelah tahu bahwa Anisa memang membutuhkan uang untuk biaya dirinya dan adiknya. Sehingga Imam berusaha memaklumi apa yang Anisa lakukan di hotel kemarin.

"Cuma masak ayam goreng, sambal dan sayur bayam, Pak," jawab Anisa, sambil menuangkan air di gelas Imam.

"Kamu sudah makan? Kalau belu, makan di sini saja!" tawar Imam. Ia seperti suami yang salah tingkah ketika istrinya sedang merajuk.

"Tidak, Pak. Terima kasih," sahut Anisa. Kemudian ia kembali ke dapur.

'Apa dia marah sama aku?' batin Imam. Namun kemudian ia melanjutkan makannya. Imam tak ingin terlalu mempertanyakan hal itu.

Saat Imam sedang makan, Anisa pergi ke tempat mencuci. Ia memilih untuk setrika pakaian dari pada menunggu Imam makan.

'Aku harus sadar diri. Di sini posisiku hanya seorang pembantu, jadi tidak boleh mengharapkan lebih,' batin Anisa. Ia berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan Imam.

Saat Anisa sedang menyetrika pakaian, Imam mencarinya.

"Nis!" panggil Imam sambil berjalan ke arah kamar Anisa.

"Iya, Pak?" sahut Anisa dari tempat mencuci.

"Nis, kamu tolong setrika kemeja saya yang putih ini, ya! Besok mau saya pakai seminar," ucap Imam.

"Baik, Pak," jawab Anisa, singkat.

Padahal Imam sengaja hanya ingin mencari bahan pembicaran dengan Anisa. Namun sayangnya Anisa hanya merespon singkat.

"Ya udah, kalau udah selesai tolong nanti langsung disimpan ke lemari saya!" pinta Imam.

"Baik, Pak," jawab Anisa lagi.

Akhirnya Imam pun pergi dari tempat itu.

"Anisa lagi ngapain, Mam?" tanya Lusi.

"Lagi setrika baju, Bu," sahut Imam. Kemudian ia duduk dengan Lusi di ruang tengah rumah tersebut.

Saat mereka sedang berbincang, Anisa muncul untuk mengantarkan pakaian Imam.

"Permisi, Pak. Ini kemejanya mau disimpan di mana?" tanyanya. Sebenarnya ia ingat, tetapi Anisa sungkan jika langsung masuk ke kamar Imam begitu saja.

"Simpan di lemari aja! Digantung, ya," pinta Imam.

"Oh iya, baik Pak," jawab Anisa. Kemudian ia menaruh kemeja itu sesuai arahan Imam.

Saat Anisa keluar dari kamarnya, Imam pun memanggilnya.

"Nis, sini!" panggil Imam.

"Iya, Pak?" Gadis itu langsung menghampiri Imam, kemudian ia berlutut di hadapannya sebagai sopan santun.

"Kamu tuh gak usah begitu. Duduk aja di sini!" ucap Imam, sambil menarik Anisa agar duduk di sofa.

"Maaf, Pak. Kalau saya duduk di sini, gak sopan," jawab Anisa.

"Udah jangan banyak protes! Oh iya, mana skripsi kamu? Saya mau lihat," tanya Imam.

Anisa terkejut saat Imam menanyakan skripsinya. "I-itu belum selesai, Pak," jawabnya, gugup.

"Gak masalah. Saya cuma mau lihat bagaimana progresnya. Kalau ada yang kurang, biar saya yang bantu. Jadi kamu gak perlu repot bolak-balik revisi," jelas Imam.

Ia ingin skripsi Anisa lancar. Sehingga biaya kuliahnya tidak membengkak.

"Tapi, Pak ...."

"Udah jangan banyak tapi-tapian! Nanti kamu antar ke ruang kerja saya, ya!" pinta Imam.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang