32. Pemaksaan yang Menyenangkan

4.2K 244 35
                                    

Pagi hari Imam dan Anisa sama-sama canggung saat bertemu di meja makan. Imam malu karena semalam dirinya hampir khilaf. Sedangkan Anisa malu karena dirinya hampir pasrah.

"Hari ini kamu dijemput Yusuf, Nis?" tanya Lusi, memecah keheningan. Ia dapat menyadari ada yang lain dari mereka berdua.

"Enggak, Bu. Mas Yusuf sedang ke luar kota," jawab Anisa, jujur.

Semalam Yusuf menghubunginya. Ia mendadak harus pergi ke luar kota selama beberapa hari. Sehingga pria itu tidak bisa mengantar-jemputnya.

Mendengar Yusuf tidak akan menjemput Anisa, Imam pun langsung bersemangat.

"Kalau begitu mulai hari ini biar aku yang antar jemput kamu," ucap Imam tanpa menoleh ke arah Anisa.

"G-gak usah, Pak. Aku bisa naik ojek atau angkot," sahut Anisa. Ia tak dapat membayangkan bagaimana jika dirinya berada di dalam satu mobil bersama Imam. Di ruangan seperti ini saja rasanya sudah sangat malu.

"Gak apa-apa lho, Nis. Kan lebih aman kalau kamu berangkat sama Imam. Udah nurut aja!" ucap Lusi. Ia sangat mendukung mereka berdua.

Beberapa saat kemudian mereka sudah selesai sarapan. Imam dan Anisa pun pamit pada Lusi.

Hati Anisa berdebar-debar kala hendak masuk ke mobil Imam. Untuk beberapa saat mereka hening selama di perjalanan. Namun tiba-tiba Imam membuka pembicaraan.

"Mengenai masalah semalam ...." Belum sempat Imam menyelesaikan ucapannya, Anisa langsung memotongnya.

"Tolong jangan dibahas, Pak!" ucapnya, cepat.

Imam pun tercekat. Padahal ia sudah memikirkan kata-kata terbaik untuk meminta maaf. Namun Anisa malah memotongnya seperti itu.

"Baiklah kalau begitu. Tapi mengenai lamaran itu aku serius ya, Nis. Tolong dipikirkan matang-matang!" pinta Imam.

Kini giliran Anisa yang tercekat. Lidahnya terasa begitu kelu. Sehingga ia bingung hendak mengatakan apa.

Anisa menoleh ke arah jendela supaya tidak terlalu sesak. Mobil itu terasa begitu panas. Padahal AC mobilnya menyala. Debaran jantung Anisa yang sangat cepat itulah yang membuat udaranya jadi terasa gerah.

Sampai saat ini ia masih belum percaya. Pria yang selama ini ia kejar secara agresif itu tiba-tiba melamarnya. Ia merasa dirinya sedang bermimpi.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di cafe tempat Anisa bekerja. Anisa pun pamit dan turun dari mobil.

"Terima kasih ya, Pak," ucapnya.

"Iya, hati-hati," sahut Imam.

"He'em."

Setelah turun dari mobil, Anisa langsung masuk ke cafe itu. Ia malu untuk menunggu Imam pergi.

Namun, saat dirinya sudah berada di dalam cafe, Anisa menoleh ke arah Imam. Ia melihat Imam baru melajukan mobilnya setelah ia berada di dalam.

"Apa dia benar-benar ingin menikahiku? Apa tujuannya?" gumam Anisa.

Hari itu Anisa sangat sulit berkonsentrasi. Pikirannya selalu teringat tentang kejadian semalam.

"Ya Tuhan! Aku harus bagaimana? Kenapa sih dia tiba-tiba berubah seperti itu?" keluh Anisa. Ia mengusap wajahnya karena bayangan Imam selalu menghantuinya.

Tak berbeda jauh dengan Anisa. Imam pun sedang gelisah. Ia jadi semakin tidak sabar ingin segera menghalalkan gadis itu. Terlebih saat ini Yusuf sedang ke luar kota. Imam merasa dirinya mendapat kesempatan lebih besar.

Imam mengipasi tubuhnya kala tiba-tiba teringat kejadian di mess malam itu. Hatinya berdebar-debar saat terbayang bagaimana tubuh bagian atas Anisa begitu mulus. Padahal ia hanya melihatnya dalam kondisi lampu yang tidak terlalu terang.

"Sejak kapan aku jadi suka berpikiran kotor seperti ini?" keluh Imam. Ia malu pada dirinya sendiri.

Sore hari sesuai dengan janjinya. Imam menjemput Anisa di cafe tersebut.

Anisa pun sudah tidak bisa menolak lagi. Gadis itu masuk ke mobil Imam saat melihat mobil itu sudah terparkir di halaman cafe.

"Maaf ya, Pak. Lama," ucap Anisa. Ia khawatir Imam sudah menunggu lama di sana.

"Santai aja! Aku juga baru nyampe, kok," sahut Imam. Padahal dirinya sudah menunggu sekitar setengah jam lebih di sana.

Saat itu Imam tak langsung melajukan kendaraannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Kemudian membuka kotak itu dan menunjukkannya pada Anisa.

"Nis! Aku masih nunggu jawaban kamu. Semoga ini bisa jadi salah satu bukti keseriusanku," ucap Imam, sambil menyodorkan kotak berisi cincin ke Anisa.

Anisa tercengang. Rasanya ia hampir pingsan melihat Imam melakukan hal itu. "P-pak! Gak harus seperti ini," ucapnya.

"Aku ingin melamar kamu secara layak. Tapi maaf aku bukan tipe orang yang romantis. Hanya ini yang aku bisa," ucapnya.

Tadi ia membeli cincin lebih dulu sebelum menjemput gadis itu.

"Kalau kamu setuju. Tolong pakai cincin ini. Setelah itu kita temui papah kamu. Selanjutnya biar aku yang mengurus pendaftaran pernikahan kita," ucap Imam.

Anisa menghela napas mendengarnya. Kalimat tersebut berhasil membuat napasnya kembang-kempis.

"Mau pakai sendiri atau aku yang pakaikan?" tanya Imam. Pertanyaan itu terkesan seperti paksaan.

"Bapak kok maksa?" tanya Anisa.

"Habis kamu lama jawabnya. Aku tau kamu cinta sama aku. Jadi gak ada alasan untuk nolak aku. Lagi pula kita sama-sama single. Gak ada yang perlu diberatkan," jawab Imam, yakin.

"Tapi ini terlalu cepat, Pak," ucap Anisa.

Imam mengambil cincin itu dari kotak. Kemudian ia meraih tangan Anisa. "Gak ada tapi-tapian. Nunggu kamu jawab iya kelamaan. Habis ini kita langsung ke tempat papah kamu, ya," ucapnya, sambil menyematkan cincin itu di jari Anisa.

Imam tersenyum melihat cincinnya pas. "See? Cincinnya sangat pas. Artinya kita memang jodoh," ucapnya dengan percaya diri.

Anisa gelagapan dibuatnya. Ia sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Harusnya dia kesal karena Imam memaksanya. Namun anehnya Anisa justru senang dipaksa seperti itu.

Hal tak terduga membuat Anisa kembali terkejut. Imam tiba-tiba mengecup tangan itu. "Terima kasih ya sudah menerimaku," ucapnya.

Anisa ternganga. Ia jadi gemas sendiri. "Emang aku nerima Bapak? Kan Bapak yang masang cincin itu sendiri. Aku belum jawab," sanggah Anisa.

"Tapi kamu tidak menolak. Kalau kamu nolak, harusnya kamu gak akan diam saja saat dipasangkan cincin ini," ujar Imam sambil menunjukkan cincin yang ada di jari gadis itu.

Wajah Anisa merona. Ia sangat malu karena meski hatinya berkata tidak, tetapi tubuhnya menerima.

"Ya sudah, kita jalan sekarang, yuk!" ajak Imam. Ia mengusap kepala Anisa, kemudian melajukan kendaraannya.

Anisa memalingkan wajah. 'Ya Allah, rasanya aku mau salto,' batinnya. Ia gemas sendiri melihat sikap Imam.

Senyuman pria itu pun tak henti mengembang. Ia sangat senang karena selangkah lagi mereka akan menjadi suami istri.

"Jadi mulai saat ini kamu sah menjadi calon istriku ya, Nis!" ucap Imam.

Anisa langsung menoleh ke arah Imam. "Heuh?"

"Iya. Sebagai calon istri, kamu harus bisa menjaga sikap. Terutama dengan pria lain. Kamu harus jaga jarak!" pinta Imam. Belum apa-apa ia sudah menunjukkan sikap posesifnya.

***

Kalian kalau dipaksa kayak Anisa bakalan seneng atau kesel? Hehe,

See u,

JM.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang