19. Mencari Tempat Lain

3.5K 256 32
                                    

Sebelum Anisa selesai mencuci piring, Yasmin sudah pamit pulang karena hari sudah malam. Tadi ia hanya mampir karena baru selesai berkencan dengan pria lain.

"Sayang, aku pulang dulu, ya. Udah malam nanti di jalannya horor kalau kemalaman," ucapnya.

Ia merasa bersalah karena baru saja pergi dengan pria lain. Akhirnya Yasmin datang ke rumah itu untuk memastikan bahwa Imam tak mengetahui perbuatannya.

"Hem, padahal aku masih kangen. Kamu bawa mobil sendiri, ya?" tanya Imam.

"Iya, Sayang. Kalau diantar kamu sih mau jam berapa pun aku gak takut. Cuma kan ini aku harus nyetir sendiri," jelas Yasmin.

"Ya udah, deh. Lain waktu kita bisa ketemu lagi. Atau nanti pas aku libur kita kencan, ya?" usul Imam.

"Tentu. Pokoknya kita harus punya quality time," ucap Yasmin.

"Sip! Ya udah sana, hati-hati," ucap Imam sambil mengusap kepala Yasmin. Ia jadi semakin sayang pada wanita itu karena tadi dirinya tak melawan ketika diserang oleh Anisa.

"He'em. I love you," ucap Yasmin. Saat berada di depan rumah, wanita itu hendak mencium bibir Imam. Namun Imam langsung menolak.

"Nanti aja, ya. Kalau udah halal," ucapnya. Ia memang tidak pernah mau mencium ataupun melakukan yang lebih dari itu.

Akhirnya Yasmin pergi dengan kecewa.

Tak lama kemudian, Anisa sudah selesai mencuci piring dan mendatangi ruangan Imam. Tak lupa ia mengetuk pintu ruangan tersebut.

Tuk! Tuk! Tuk!

"Masuk!" ucap Imam yang sudah menunggunya di dalam.

Anisa pun masuk menghadap dosennya itu.

"Iya, Pak?" tanyanya, sambil berdiri di depan Imam.

"Silakan duduk!" ujar Imam. Ia tak langsung mengatakan apa yang ingin ia sampaikan pada gadis itu. Setelah Anisa duduk, barulah Imam bicara.

"Nis! Kenapa kamu jadi seperti itu?" tanya Imam. Ia menunjukkan kekecewaannya pada Anisa.

Anisa tidak menjawab. Ia malas menjelaskan karena Anisa pikir Imam tak akan percaya padanya.

"Oke, saya tahu kamu memang menyukai saya. Tapi bukan berarti kamu bisa menyerang tunangan saya seperti tadi. Itu tidak akan mengubah keadaan," tegur Imam.

Anisa terkesiap. Ia tak menyangka Imam berpikir seperti itu.

"Kenapa kamu diam?" tanya Imam.

Anisa yang sudah geram pun akhirnya buka suara.

"Lalu saya harus mengatakan apa, Pak? Menjelaskan pun percua karena Bapak tidak akan percaya. Lagi pula saya ini siapa? Bahkan hanya dengan melihat sekilas saja Anda pasti akan lebih percaya pada calon istri," jawab Anisa.

"Lho, ini bukan masalah percaya atau tidak. Tapi masalahnya saya melihat dengan mata kepala sendiri kalau kamu mendorong Yasmin sampai dia terjatuh," ujar Imam.

"Apa yang Bapak lihat belum tentu seperti apa yang Bapak pikirkan. Seandainya ada kamera CCTV, saya berani untuk dicek bagaimana kronologinya," tantang Anisa. Sayangnya di dalam rumah Imam tak ada kamera CCTV.

"Tapi apa yang saya lihat sudah sangat jelas. Tidak mungkin kan Yasmin menjatuhkan diri sendiri. Saya mengenal dia sudah cukup lama. Selama ini dia tidak pernah jahat pada siapa pun," ujar Imam.

"Oke! Saya minta maaf jika memang menurut Bapak saya jahat. Saya berjanji kedepannya tidak akan mengganggu Bapak dan Mbak Anisa lagi," ucap Anisa. Ia tidak ingin semakin sakit hati karena mendengar ucapan Imam.

"Kamu kenapa seperti itu, Nis?" tanya Imam. Ia heran karena Anisa terlihat begitu arogan. Gadis itu seolah tak ingin dinasihati. Padahal Anisa hanya berusaha membela diri.

"Saya memang seperti ini, Pak. Apa adanya. Jika memang salah, saya pasti akan mengaku salah dan meminta maaf. Tapi jika benar, saya tidak akan mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat," jawab Anisa, yakin.

"Oh iya, terserah Bapak mau percaya atau tidak. Tadi saya melihat calon istri Bapak berkencan dengan pria lain. Hal itu pula yang memicu perdebatan kami tadi. Saya hanya tidak ingin melihat Bapak kecewa.

Tapi jika Bapak tidak percaya, tidak masalah. Saya tak akan memaksa. Toh saya bukan siapa-siapa. Pasti Bapak akan lebih percaya pada tunangan tercinta yang sudah dikenal lama," ujar gadis itu.

Imam mengerutkan keningnya.

"Saya rasa sudah cukup. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam!" ucap Anisa, kemudian ia berdiri dan meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu jawaban Imam.

Imam tercengang. Ia heran karena Anisa semakin tak terkendali. "Apa karena lelaki itu?" gumamnya. Ternyata Imam masih memikirkan hubungan Anisa dan Yusuf.

Sementara itu, Anisa yang sudah selesai bekerja pun masuk ke kamarnya. Kemudian ia kembali mengambil ponsel dan mencari pekerjaan lain. Ia semakin yakin untuk pindah dari rumah tersebut.

"Aku gak bisa diam di sini terus. Semakin lama, yang ada aku malah semakin tersiksa," gumamnya, sambil mengusap air mata.

Hatinya terasa begitu sesak karena sikap pria yang ia cintai justru seolah membencinya.

Keesokan harinya, saat Imam sedang di kampus, Anisa pamit pada Lusi.

"Bu! Saya mau ke luar sebentar, boleh?" tanya Anisa.

"Silakan, Nis! Mau ke mana?" Lusi balik bertanya.

"Ini, mau ada perlu. Paling cuma sebentar, sih," jawab Anisa.

"Oh, ya sudah. Hati-hati, ya!"

Setelah bersalaman dengan Lusi, Anisa pun pergi. Gadis itu sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Lusi. Sehingga ia tidak sulit jika izin pergi ke luar.

Sebenarnya Anisa pergi untuk mendatangi salah satu cafe. Semalam ia melihat di cafe itu ada lowongan. Kebetulan cafe tersebut pun memiliki mess untuk karyawannya. Sehingga Anisa tertarik untuk bekerja di sana.

Sebelumnya ia memutuskan menjadi ART karena bisa tinggal di rumah tempat dirinya bekerja. Sehingga saat ini pun prioritas Anisa adalah mencari pekerjaan yang memiliki fasilitas tempat tinggal.

Beberapa saat kemudian, Anisa tiba di cafe tersebut. Kebetulan pemilik cafe sedang ada di sana.

"Permisi! Di sini ada lowongan, ya?" tanya Anisa, pada staf cafe tersebut.

"Iya, Mbak mau melamar?" staf itu balik bertanya.

"Iya, kalau boleh saya mau melamar," jawab Anisa.

"Oh iya, silakan! Kebetulan bos kami sedang ada di tempat. Jadi Mbak bisa langsung interview," ucap staf itu.

"Terima kasih," sahut Anisa. Ia pun membuntuti staf tersebut, menuju ke ruangan bosnya.

Cafenya cukup besar dan memiliki design yang aesthetic. Sehingga cafe itu selalu ramai.

Staf mengetuk pintu dan dipersilakan masuk.

"Pak! Ini ada yang mau melamar kerja," ucap staf.

"Oke. Suruh masuk!" sahut bosnya.

"Silakan, Mbak!" ucapnya pada Anisa setelah mendapat izin dari bosnya.

"Terima kasih," sahut Anisa. Ia pun masuk ke ruangan tersebut.

"Lho, Anisa!" ucap pria itu. Ia sangat terkejut melihat Anisa ada di hadapannya.

"Lho, Mas Yusuf?" Anisa pun tak kalah terkejut. Ia tak menyangka ternyata pemilik cafe itu adalah Yusuf.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang