15. Saingan Imam

3.7K 262 27
                                    

Imam melirik ke arah Anisa. Ia khawatir Anisa sakit hati mendengarnya.

"Entahlah, Bu. Lebih baik jangan bahas itu sekarang. Rasanya kurang tepat," jawab Imam. Ia tidak enak membahas pernikahan di depan Anisa. Apalagi tadi Anisa sudah secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya.

"Kurang tepat kenapa? Kalian sudah sama-sama cukup umur, kok. Sudah waktunya untuk menikah, mau sampai kapan pacaran terus?" tanya Lusi lagi.

"Bu ... kita kan mau makan. Tolong jangan bahas yang berat-berat dulu, ya!" pinta Imam.

"Ibu tidak habis pikir. Kenapa kamu bisa seperti orang buta, Mam? Apa kurang lama kamu menunggu dia sibuk dengan kariernya?" tanya Lusi lagi. Ia seolah sengaja ingin membahas hal itu.

Sebenarnya Lusi pun kurang suka karena Yasmin sibuk dengan kariernya. Padahal selama ini Lusi berharap anaknya itu bisa segera memberikan cucu.

Mendengar perdebatan itu, Anisa pun segera menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian ia buru-buru pergi dari tempat itu.

"Kamu mau ke mana, Nis?" tanya Imam.

"Saya mau lanjut yang lain, Pak. Selamat makan," jawab Anisa, kemudian ia melanjutkan jalannya.

"Nis! Sini sebentar!" panggil Lusi.

"Iya, Bu?" tanya Anisa. Ia pun menghampiri Lusi.

"Kamu sudah makan?" tanya Lusi.

"Sudah, Bu," jawab Anisa.

Saat makan tadi, Imam sibuk memperhatikan Anisa. Sehingga makanannya tidak habis. Alhasil saat ini Imam sudah lapar lagi.

"Kalau begitu kamu duduk di sini, temani saya makan!" ucap Lusi.

Anisa bingung. Ia tidak tahu apa maksud Lusi menyuruhnya begitu. Padahal di sebelah Lusi ada Imam.

"Tapi, Bu ...."

"Sudah, tidak ada tapi-tapian! Kamu tidak perlu ambil hati ucapan Yasmin. Rumah ini milik saya dan saya yang punya aturan. Mulai saat ini kamu harus makan di meja ini, ya! Dan saat ini ibu mau kamu temani kami makan," perintah Lusi.

Akhirnya mau tidak mau Anisa pun duduk.

"Imam, kamu itu jadi lelaki harus tegas, ya! Apalagi kamu kan dosen, jangan mau diatur sama perempuan. Tadi Ibu diam karena masih menghargai tunangan kamu. Tapi kalau sampai dia keterlaluan, Ibu gak akan tinggal diam," ucap Lusi.

Imam menoleh ke arah Lusi dan menatapnya. Kemudian ia melirik ke arah Anisa. Ia memberi kode pada Lusi agar tidak membahas hal itu di depan Anisa.

Akhirnya Lusi pun setuju dengan permintaan Imam. Kini gantian ia membahas tentang Anisa.

"Nis! Tadi kamu diantar siapa?" tanya Lusi.

Deg!

Imam langsung memasang telinganya lebar-lebar. Ia pun sangat penasaran siapa sebenarnya yang mengantar Anisa itu.

"Itu pengacara papah aku, Bu," jawab Anisa.

Mendengar jawaban itu, Imam merasa sangat lega. Ia langsung menghela napas. "Huuh!"

"Kamu kenapa, Mam?" tanya Lusi sambil menoleh.

"Eh, gak apa-apa, Bu," jawab Imam, gugup.

"Sepertinya hubungan kalian cukup dekat ya, Nis?" tanya Lusi lagi.

Imam langsung menoleh ke arah Lusi. Ia tidak suka dengan pertanyaan itu.

"Enggak kok, Bu." Anisa menyangkalnya.

"Oya? Tapi sepettinya dia sangat perhatian sama kamu. Pengacara mana yang mau mengantar anak kliennya sampai ke rumah? Kecuali ada maksud lain," ujar Lusi.

"Uhuk! Uhuk!"

Imam langsung tersedak mendengarnya.

Anisa terdiam sejenak sambil menunggu Imam selesai minum.

"Beliau memang baik, Bu. Selama ini hubungan papah dan Mas Yusuf pun memang cukup dekat," jelas Anisa.

"Oooh, namanya Yusuf? Tapi Ibu yakin kalau dia memang ada hati sama kamu. Gak ada salahnya juga kan kalau memang dia suka sama kamu, Nis?" tanya Lusi lagi.

Anisa tersenyum. "Iya, Bu. Selama sama-sama masih lajang dan gak ada pasangan, gak ada yang salah. Apa pun itu, biarkan mengalir saja," jawab Anisa.

"Ibu dukung kalian!" ucap Lusi, sambil menggenggam tangan Anisa.

Imam kesal karena ibunya mendukung Anisa dan Yusuf.

"Nis! Kamu ke kampus besok, ya!" pinta Imam.

"Lho, bukannya lusa, Pak?" tanya Anisa.

"Lusa saya ada acara, besok aja! Besok pagi kita berangkat bareng!" ajak Imam.

Lusi tersenyum.

"Biar saya naik ojek aja, Pak. Gak enak nanti kalau Mbak Yasmin tau, takutnya salah paham," jawab Anisa.

"Betul itu! Sebagai tunangan, kamu harus menjaga perasaan calon istrimu, Mam. Meski sejujurnya Ibu kurang setuju, tapi jangan sampai kamu menyakiti hati wanita. Jika memang merasa kurang cocok, selesaikanlah baik-baik!" nasihat Lusi.

'Ibu ini kenapa, sih?' batin Imam. Ia tidak habis pikir dengan sikap ibunya malam ini.

Akhirnya Imam terdiam karena ucapan Lusi ada benarnya. Ia pun tak ingin dianggap memberi harapan palsu pada Anisa.

Keesokan harinya, mereka bersiap pergi ke kampus. Sebenarnya Imam kesal karena tidak bisa pergi dengan Anisa. Namun ia sedikit lega karena setidaknya Anisa tidak akan diantar Yusuf.

Saat Anisa sedang bersiap di kamarnya, Lusi memanggilnya.

"Nis! Ini ada Nak Yusuf," ucap Lusi.

Imam yang berada di kamarnya pun langsung menoleh.

"Berani sekali dia datang ke sini? Memang dia pikir ini rumah siapa?" gumam Imam, kesal. Ia ingin melihat Yusuf dari dekat. Imam pun buru-buru dan segera keluar dari kamarnya. Ia tak ingin kehilangan momen penting.

"Huuh!" Imam mengatur napas sebelum menemui Yusuf.

"Eh! Ada tamu," ucap Imam, basa-basi. Padahal ia sangat kesal kala menyadari bahwa pengacara itu begitu tampan dan keren.

Melihat ada Imam, Yusuf yang sedang duduk di kursi teras pun berdiri. "Ini pasti Pak Imam, ya?" tanyanya, sambil mengulurkan tangan. Sebenarnya ia pun merasa kurang suka pada Imam. Sebab ia mendengar dari Yaqub bahwa Anisa pernah menyukainya.

"Iya betul. Saya Imam," jawab Imam. Ia pun menjabat tangan Yusuf.

"Terima kasih ya, Pak. Bapak dan Ibu Lusi sudah menjaga Anisa dengan baik. Jika Anisa berkenan, saya siap untuk membawanya pindah dari sini," ucap Yusuf. Ia bersikap seolah dirinya adalah wali Anisa.

Imam terkesiap. "Oh tidak perlu! InsyaaAllah kami yang akan selalu menjaganya di sini," jawabnya. Ia tidak rela jika Anisa pergi dari rumahnya.

"Mas yusuf?" Anisa terkejut saat melihat Yusuf datang.

Semalam mereka memang sempat chat. Anisa mengatakan hari ini dirinya akan ke kampus karena Yusuf mengajaknya makan siang bersama. Namun siapa sangka bahwa pria itu malah menjemputnya sepagi ini.

"Nis! Sudah siap? Ayo jalan!" ajak Yusuf.

"Bagaimana kalau sarapan dulu? Kamu belum sarapan kan, Nis?" tanya Lusi.

"Euh, iya Bu," jawab Anisa, gugup.

"Mas Yusuf ada perlu apa?" tanya Anisa.

"Kamu nih lucu. Saya ke sini mau jemput kamu. Semalam kan kamu bilang kalau hari ini ada kuliah," ucap Yusuf.

Imam semakin kesal karena ternyata semalam Yusuf dan Anisa berkomunikasi.

"Ooh iya, tapi saya kan bisa berangkat sendiri, Mas," jawab Anisa.

"Betul. Lagi pula kami searah, Anisa bisa berangkat bareng saya," timpal Imam.

"Tidak apa-apa. Kebetulan Papahnya Anisa menitipkannya pada saya. Jadi saya merasa bertanggung jawab," jawab Yusuf, bangga.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang