41. Menjelang Hari H

3.2K 213 15
                                    

Yusuf tersenyum getir. Tentu tak mudah baginya untuk menghadiri pernikahan Anisa. "InsyaaAllah," ucap pria itu. Kemudian ia pun pamit lagi dan benar-benar pergi.

"Kalau begitu lebih baik kita juga pulang sekarang!" ajak Imam. Ia yakin Yaqub sudah rindu dengan rumahnya.

"Ayo!"

Mereka semua pulang ke rumah Yaqub, kemudian membahas rencana pernikahan Anisa dan Imam, besok.

Setibanya di rumah, Yaqub mengajak mereka masuk. "Mari masuk, Bu!"

"Assalamualaikum," ucap mereka ketika memasuki rumah itu.

"Alhamdulillah, setelah lama tidur di penjara, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di rumahku lagi," gumam Yaqub saat memasuki rumah tersebut. Ia sangat merindukan kehangatan di rumah yang selama ini ia tempati itu.

"Alhamdulillah, saya ikut bahagia, Pak," ujar Lusi.

"Terima kasih, Bu! Silakan duduk, anggap saja rumah sendiri!" ujar Yaqub.

Mereka pun duduk bersama di ruang tamu. Bibi langsung menyiapkan minuman saat mengetahui tuannya sudah pulang ke rumah.

"Jadi kalian mau ada resepsi apa enggak?" tanya Yaqub tanpa basa-basi.

"Kalau saya sih terserah Anisa saja, Pak," jawab Imam. Ia menyerahkan keputusan itu pada Anisa.

"Gimana, Nis?" Yaqub menoleh ke arah Anisa. Seandainya anaknya itu menginginkan resepsi, Yaqub siap untuk mengabulkannya.

"Gak usah, Pah! Akad nikah yang sederhana aja," jawab Anisa. Ia tidak ingin membebani papahnya yang baru keluar penjara itu. Terlebih selama ini papahnya tak bekerja. Anisa khawatir keuangan mereka terbatas.

"Serius, Nis? Kalau kamu mau resepsi juga gak apa-apa, aku siap. Nanti biar aku dan Ibu yang menguru semuanya. Iya kan, Bu?" Imam meminta dukungan dari ibunya. Ia pun siap untuk membiayai semuanya.

"Benar itu. Pak Yaqub kan baru bebas. Mungkin butuh istirahat. Jadi biar kami saja yang menyiapkannya jika memang Anisa mau," ujar Lusi.

"Terima kasih banyak, Bu. Tapi aku emang gak pingin ada resepsi. Gak apa-apa, kan?" tanya Anisa. Ia khawatir justru Imam yang menginginkan hal itu.

"Ya sudah kalau begitu. Berarti hari ini kita hanya perlu mencari kebaya untuk Anisa, ya?" tanya Lusi.

"Iya, Bu. Tapi kebetulan teman aku punya butik. Beberapa hari lalu aku sudah memesan kebayanya. Maaf ya, Nis. Berhubung acaranya mendadak, jadi aku gak konfirmasi sama kamu dulu. Semoga kamu gak keberatan," ucap Imam.

Ia tidak enak hati karena memesan kebaya tanpa bertanya pada Anisa lebih dulu. Imam pun berharap Anisa akan menyukai kebaya pesanannya itu.

"Tapi kalau kamu keberatan, nanti kita bisa pilih yang lain. Di sana banyak yang ready stock, kok," lanjut pria itu.

"Iya, gak apa-apa, Pak. Itu kan hanya formalitas. Sebenarnya gak perlu pakai kebaya pun gak apa-apa," jawab Anisa.

"Jangan, dong! Pernikahan kan hanya sekali seumur hidup. Meski tidak ada resepsi, aku harap pernikahan kita akan berkesan," ujar Imam.

Anisa tersenyum. Ia senang mendengar Imam mengatakan bahwa pernikahan mereka satu kali seumur hidup. Artinya Imam benar-benar serius ingin membangun rumah tangga dengannya.

"Tapi maaf. Sebelumnya saya tidak menyangka Bapak akan keluar hari ini. Jadi saya belum menyiapkan dekorasinya," ujar Imam.

Ia berpikir akan mengadakan pernikahan di tahanan karena Yaqub ada di sana. Sehingga Imam tak mempersiapkan dekorasi ruangan.

Imam untuk AnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang