Aku langsung melipir ke Sushi Tei dilantai satu. Memilih untuk duduk dikursi bar, tanpa melihat menu aku langsung memesan salmon sashimi, salmon oyako roll, chuka iidako, dan ocha dingin, favoritku. My repeat order yang gak tahu udah keberapa kalinya. Yang pasti tiap aku ke sana aku selalu pesan itu. Memang aku lumayan monoton untuk memilih menu makanan, apalagi kalau rasanya udah cocok dilidah, pasti gak mau coba-coba yang lain.
Setelah si mbak Sushi Tei mencatat pesanan dan pergi meninggalkanku, aku langsung membuka instagram, mengetik nama Marvino Alexander di kolom pencarian, dan langsung mengklik akun yang sudah dicentang biru.
Ya dia, jelas sekali yang baru saja kutemui sepuluh menit yang lalu itu dia. Si aktor yang wajahnya sudah menghiasi sinetron di televisi dari zaman aku masih main kelereng dengan wajah dekil cungkring lari-lari di tengah siang bolong dengan baju kumel dan rambut bau matahari. Sementara dia, dari dulu sudah ganteng. Bahkan mungkin tidak pernah punya pengalaman jadi orang jelek.
Aku masih bicara hal yang sama dengan dua tahun lalu, saat aku bertemu dia di lift siang itu, kalau dia lebih ganteng dilihat langsung. Suwer deh. Badannya tinggi, senyumnya humble banget. Wajahnya mulus, putih bersih. Walaupun dia bukan idolaku tapi aku benar-benar dibuat terpana, sebagai lawan jenisnya.
Aku asyik menyelami foto-foto di akun Marvin, terus berucap dalam hati, sumpah aslinya ganteng banget tapi kalau dilihat fotonya padahal biasa aja. Aku langsung menutup ponselku saat ada dua orang yang duduk disebelahku. Aku gak mau kekepoanku ini dipergoki orang lain. Apalagi aku lagi stalking akun seorang aktor. Gengsi lah.
Sejalan dengan aku yang memasukkan ponsel ke dalam tas yang aku simpan dihadapanku, seketika aku sadar yang duduk sebelahku ini adalah laki-laki yang baru saja aku untit akun sosial medianya. Mimpi apa aku ini? Dia tersenyum lebar, lagi. "Eh kamu yang tadi di uniqlo kan?"
Telunjuknya mengarah padaku, senyumnyapun dirahkan untukku. "Eh iya" hanya kata itu yang bisa keluar. Dari ratusan kata yang mungkin bisa diucapkan hanya dua kata itu. Jelas aku sedang gerogi.
"Sendiri aja?" Tanyanya begitu ramah, seperti mbak-mbak customer service di bank saat aku menawarkan diri untuk ikut asuransi dengan premi paling tinggi.
"Tadinya sendiri, eh sekarang jadi bertiga deh" sumpah garing banget bangke. Aku mengutuk diriku sendiri yang kalau lagi gerogi malah makin absurd.
"Bisa..bisa" ia senyum menikmati kegaringanku yang kelihatannya cukup lucu baginya.
"Sudah mau order kak?" Seorang waiter menyela perbincangan kami. "Oh iya boleh mbak, salmon sashimi satu ya sama aburi salmon roll, minumnya ocha dingin" Marvin langsung menyebutkan pesanannya yang setelah dicatat waiter itu kemudian mencatat pesanan laki-laki yang bersama Marvin dari tadi.
"Marvin, by the way"
Ia mengulurkan tangannya kepadaku. Akhirnya, akhirnya. Dari tadi aku benar-benar mengharapkan ada sekrenario ini. Dan akupun menyambutnya tanpa nanti.
"Tika" aku tersenyum malu-malu tai kucing.
"Dia Dion" Marvin menunjuk seseorang yang duduk disampingnya itu. Yang dilanjut memberi anggukan tanpa adegan salam-salaman.
"Kok kamu sendiri aja? Emang lagi libur kuliah atau libur kerja?"
"Lagi libur kerja aja, kebetulan ada yang mau dibeli"
"Emangnya Tika kerja dimana hari selasa gini libur?"
Aslinya, pertanyaan ini. Pertanyaan 'kerja dimana?' selalu membuatku gelapan untuk ku jawab. Sebetulnya menjadi pramugari bukan sebuah dosa, bukan pekerjaan yang memalukan juga, yang dikerjakan halal, prestigenya juga ada banget. Tapi tiapkali ada yang bertanya pekerjaan rasanya lidahku kelu, dan ogah bicara jujur.
"Kerja swasta, kebetulan liburnya bukan sabtu minggu" aku sudah terbiasa dengan jawaban ini, seperti mulutku sudah di set untuk mengeluarkan kalimat ini.
"Kerja dimana?" Ini dia pertanyaan paling sulit dilewati, yang lama-kelamaan akan membuatku berkata jujur di akhir cerita.
"Di bandara"
"Bandara?"
"Iya"
"Bagian?"
"Bagian hospitality" jawabku mantap. Benar dong? Aku gak bohong. Pramugari berkutat dengan ramah-tamah dengan penumpang, yang artinya itu semua melibatkan hospitality. Gak bohong, tapi gak jujur sepenuhnya juga.
"Oh gitu" dari nadanya Marvin terdengar bingung, jelaslah. Hospitality itu maknanya luas, tapi sepertinya Marvin cukup pintar membaca tingkahku yang gak mau terlalu ditanya soal latar belakang pekerjaan.
"Jadi intinya, kerjaannya itu berhubungan dengan ramah-tamah sama penumpang pesawat gitu" aku menjelaskan secara harfiah agar Marvin lebih paham. Dan sepertinya ia juga mulai mencerna makna dari hospitality yang ku maksud. "Kalau kamu? Kerja?"
Marvin tersenyum geli, tatapannya seperti ia tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Mungkin pikirnya juga aku ini aneh kalau tidak kenal seorang Marvino Alexander. Wajahnya yang sudah belasan tahun muncul di televisi, bahkan perubahan dari tahun ke tahunnya ada di internet, dengan siapa dia pacaran dan kenapa dia putus pun semua orang bisa tahu.
"Aku kerja" suaranya menahan senyum. Yang kemudian di susul wajah serius.
"Dimana?" Sahutku menggodanya dengan tatapan polos.
Sepersekian detik ia terlihat berpikir, "di Jakarta" ekspresinya berubah kebingungan. Aku tertawa.
"Bagian?" Giliranku yang mencecar.
"Bagian penayangan televisi" nadanya terdengar ragu.
"Gak pinter bohong. Aku tahu lah siapa kamu. Ya kali, sineteronnya gak pernah putus dari aku SD"
Ia tersenyum seperti kucing, eh, bukan wajah Marvin mirip kucing, tapi senyumnya lucu. Ya maksudnya gitu deh. "Masa sih?" Katanya.
"Terus kamu kayanya masih bingung ya sama kerjaan aku?"
"Hehe iya, itu apa sih maksudnya. Kayanya aku gak pernah dengar hospitality itu sebuah kerjaan"
"Iya, aku pramugari. Tadi sempat gak mau bilang. Tapi lihat wajah kamu bingung gitu jadi kasihan"
"Oh pramugari. Kenapa gak langsung bilang aja, pake muter-muter segala" ia tersenyum gemas padaku, perasaanku sih dia gemas. Atau mungkin aku yang kepedean?
"Sengaja, mau adu akting"
Ia tertawa lepas. Senyumnya itu, yang dua tahun ku lihat sekilas, kini menatapku lebih dekat, tersenyum kepadaku secara langsung. Bukan senyum pada semua orang yang satu lift dengannya siang itu.
"Boleh minta nomernya Tika?"
Aku mengangguk samar, sengaja aku tidak tunjukkan betapa inginnya aku bertukar nomer. Walaupun dia aktor, terkenal, ganteng, wangi, dan tinggi, prinsip jual mahalku gak boleh luntur. Dan ia pun mengulur ponsel yang ku ketik namaku, nama lengkapku. Kartika Chandra Wijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...