Kejutan Salah Sasaran

42 3 6
                                    

Hah? Apa dia bilang tadi? Sayang?!
Seorang perempuan berambut panjang se-dada itu tersenyum, setelah mas Deva meniup semua lilin di atas kue hingga mati.

"Makasih ya, udah bantuin suprise buat Deva. Makasih ya Sat, mbak juga"

Perempuan itu tersenyum ke arahku. Aku masih bingung, maksudnya apa? Kenapa dia bicara begitu?

"Ini mbak Rossa, Batik, mugari juga" Satria mengenalkan perempuan yang berdiri di depanku itu.

"Hai mbak Tika, makasih ya udah bantuin"

Dia menjulurkan tangannya, dan memperkenalkan dirinya. Aku menyambut tangannya dan menyebutkan namaku.

"Jadi mbak Rossa ini pacarnya Deva, kemarin minta bantuin bikin suprise" kata Satria.

Aku hanya angguk-angguk berlagak semua yang terjadi hari ini adalah normal. Mas Deva, punya pacar, pacarnya adalah seniorku, dia cantik itu adalah normal. Satu-satunya yang gak normal adalah perasaanku yang tolol untuk pacar orang.

"Iya, kemarin bingung mau minta tolong siapa, untung ada mas Satria sama mbak Tika, jadi perayaan ulang tahun ke dua ini berhasil deh. Eh kita potong kue dulu ya"

Oh, ternyata mereka sudah melewati perayaan ulang tahun dua kali. Ternyata kejutan ini bukan untuk mas Deva, tapi untuk diriku sendiri. Miris, kejutan ini ternyata salah sasaran.

Rosa memotong kue dan memberikan kami masing-masing. Sialan, kue Clairmontnya enak banget lagi. Aku masih berpura-pura biasa saja, mas Deva hanya senyum-senyum mendapatkan kejutan ini.

"Ini kado buat kamu" Rossa memberikan paper bag polos, gak ada hiasan sama sekali. Mas Deva kemudian mengeluarkam isinya yang tidak dibungkus apapun sehingga aku bisa melihat isinya, sebuah smartwatch merek buah tergigit.

Dia tidak membukanya, cuma menaruh lagi ke dalam paperbag itu. "Makasih ya" katanya sambil senyum manis, sama seperti ia selesai menggoreng pempek dan mengantarnya ke kamarku. Senyuman manis itu, senyuman manis sialan.

"Jadi nih kita nonton?" Kata Rossa.

Sial beribu sial. Aku lupa kalau habis ini ada acara nonton dan makan bareng. Asalnya aku mau karena aku kira cuma bertiga seperti kemarin. Tapi sekarang, ini semua di luar konteks.

Aku benar-benar ingin menghilang. Gimanapun caranya untuk pergi dari ruangan itu. Aku masih syok dengan status mas Deva yang berpacaran dengan pramugari senior. Lalu aku masih harus pergi nonton? Aku bisa gila.

Aku berpikir, memutar orak untuk mencari alasan. Walaupun langit hujan badai, bumi gonjang-ganjing, aku gak boleh ikut nonton. Yang aku harus lakukan adalah pergi dari kamar ini secepatnya.

Handphoneku berdering. Uta memanggil.
Aku langsung punya ide brilian. Setelah melipir sedikit, aku mengangkat telepon dari Uta.

"Halo, kenapa Ta?"

"Kak, kata ibu rendangnya dikirim pake ekpedisi aja ya? Soalnya pakai kurir instan mahal banget ongkosnya"

Ibu menjanjikan aku untuk mengirim rendang yang didapat dari acara pernikahan saudaranya beberapa hari lalu. Rendang bukan sembarang rendang, resep asli dari Padang itu gak ada lawan.

"Oh gitu, kok gak kasih tahu dulu? Lo sekarang dimana?"

"Ya makanya ini gue telepon lu, mau minta alamat juga sekalian, nanti sorean gue kirim"

"Oh, udah deket dong? Yaudah kalau gitu gue tungguin"

"Hah? Lu ngomong apa sih kak?"

"Iya, oke, hati-hati ya"

"Dih? Elo kenapa sih, kesetrum?"

"Iya, iya, kabarin aja kalau udah sampe"

Aku tutup telepon. Semua mata sudah menunggu penjelasan dari teleponku barusan.

"Duh maaf ya, adik aku mau kesini ternyata, kalau gak ikut gak apa-apa kan?"

Yes. Terima kasih otak cemerlangku. Dan Uta, aku bersumpah habis gajian nanti aku akan belikan kamu kemeja Zara asli, bukan made in China yang dijual di online shop seratus ribuan, bilangnya impor padahal jelas-jelas itu palsu.

"Oh adiknya mbak Tika ya? Yaudah kalau mau ajak aja adiknya sekalian, gak apa-apa kita tungguin. Ya kan yang?" Rossa meresponku, mendengar sebutan sayangnya membuat aku ingin ditelan bumi saja.

"Tapi adik aku naik motor mbak, mungkin 40 menit lagi kayanya baru sampe, mungkin next time ya? Maaf banget. Dia ngasih tau pas udah jalan"

"Ya udah gak usah dipaksa, lain kali aja"

Akhirnya trikku berhasil, aku bisa leluar dari ruangan yang menyakitkan mata dan menyakitkan hati.

Mi, udah di kost belum?

Tami
Baru sampe cuk, kenapa?

Gue kesana sekarang ya

Aku segera menemui Tami, mungkin ini saatnya aku bicara jujur sama Tami. Selama ini aku gak pernah jujur sama sahabatku sendiri kalau aku punya perasaan terhadap mas Deva. Selama ini aku selalu berbohong dengan perasaanku di depan Tami. Semoga hari ini aku gak kehilangan Tami juga.

"Eh. Si Rian bawelin Tiara tuh, katanya minta nomer lo mulu. Dia kayanya naksir berat deh sama lo. Tajir loh dia, lumayan buat anter-jemput doang mah"

Tami langsung menyerobot saat aku tiba di kamarnya, membicarakan si cowok gempal yang aku lupa namanya itu semalam, akhirnya aku tahu kalau si gempal punya nama.

"Mi, gue mau jujur"

"Kenapa? Rian bukan tipe lo? Ya gak apa-apa sih, buat traktir jajan aja Tik"

"Bukan Rian" wajahku mulai serius. Tami menghentikan beres-beresnya dan duduk penuh perhatian kepadaku.

"Oke, apa?"

"Mi, gue suka sama Deva" aku merasa berat, tapi aku butuh seseorang yang mendengarkan perasaanku. Walaupun aku gak tahu setelah ini Tami akan memusuhiku atau apa.

"Tuh kan, gue bilang juga apa. Makanya, jangan terlalu antipati, kemakan omongan sendiri kan lo?"

"Iya, gue juga gak tau Mi, terjadi gitu aja, gue juga gak tau gue suka dari kapan"

"Ah dasar lo. Yaudah lo kejar aja"

"Lo gak marah gak sama gue?"

"Kenapa gue harus marah Tik?"

"Bete?"

"Nggak"

"Masa sih? Kan elo suka sama dia"

"Ya kalau lo suka gak apa-apa, pilot masih banyak kok yang cakep. Hidup terlalu singkat buat berantem sama sahabat cuma buat rebutan cowok. Gas Tik"

Tami, kadang sikapnya kayak kunyuk, tapi ternyata dia luar biasa. Dibalik mulutnya yang ganas, hatinya tulus.

"Mi, ternyata Deva udah punya pacar"

"Hah?"

"Mi, gue suka banget sama dia. Hati gue sakit banget pas gue tau. Gue kira Deva cowok yang baik, tapi dia ko cuma kasih gue harapan palsu"

Air mata yang sudah aku tahan akhirnya jatuh juga. Setelah aku bersandiwara dan bertahan untuk pura-pura kuat menerima kenyataan, akhirnya roboh juga. Air mataku terus keluar, dibarengi rasa sesak di dada yang semakin kuat.

Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi, kejutan salah sasaran itupun aku ceirtakan semua.

"Tik, gue gak tahu harus bilang apa. Tapi ternyata dia gila juga ya. Gue gak nyangka dia begitu. Dibalik muka polosnya dia, ternyata sebelas-dua belas sama si mustang"

"Mi, gue bersumpah. Dan elo menjadi saksi gue. Mulai detik ini, gue gak akan mau terlibat perasaan lagi dengan pilot, siapapun itu. Gue rasa, mereka semua sama"

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang