Ulang tahunku seminggu yang lalu. Marvin memberi kejutan dengan datang ke unit apartemenku, membawa buket bunga dan kue ulang tahun dengan lilin kecil di atasnya. Dia sudah berkomplot dengan Tami untuk bisa masuk ke kamarku, dan mengucapkan ulang tahun dipagi buta.
Btw, emangnya si pagi itu punya mata ya?
Tentu saja aku senang, kaget, terharu dan ngantuk. Dia datang jam 3 pagi, padahal aku baru saja bisa tidur jam 1 malam karena ada penerbangan sebelumnya.
"Kamu pagi banget sih datengnya" sambil mengucek mataku yang rasanya pedas seperti kena cipratan kuah bakso mas gondrong dengan sambel 5 sendok. Tapi aku juga ngiler melihat kue yang dibawa Marvin. Suasana hati yang membingungkan.
"Aku baru selesai syuting, tadinya mau kesini pas kamu pulang, tapi karena ujan seharian jadi kelar syutingnya molor"
Nadanya manja, seperti biasa, Marvin si bayi besar yang kucinta.
"Makasih ya baby udah bela-belain. Padahal gak usah repot-repot kesini segala"
"Aku kangen, jadi gak repot" Marvin mengambil handphone dari tasnya, menyentuh layar ponselnya, kemudian gak lama handphoneku berdenting.
Aku membuka pesan yang ternyata dikirim oleh Marvin, sempat bingung kenapa Marvin harus mengirim pesan segala padahal ia duduk disampingku. Saat aku buka itu adalah tiket pesawat pulang pergi tujuan Haneda.
"Kamu mau ke Jepang?"
"Kita" senyumnya mengembang kaya bunga terompet.
"Hah? Maksudnya?"
"Itu tiket kamu baby, udah aku booking buat minggu depan. Hadiah ulang tahun"
"Vin, jangan bercanda dong"
"Aku serius, kamu lihat deh namanya, itu kan nama kamu"
"Ini, serius, aku di prank nih jangan-jangan?"
"Serius, aku pengen kita liburan ke Jepang, makanya aku minta kamu cuti seminggu, nanti kita urus visa ya"
"Vin, ini too much, you dont have to, kalau emang kamu mau kita ke Jepang aku kan bisa pakai tiket sendiri, lagian aku itu dapat gratisan tiket pesawat, kan aku kru"
"Tapi nanti suprisenya gak dapat dong kalau kamu urus tiket sendiri, udah gak apa-apa, kemarin kan kita susah ketemu karena aku ada promo film, kita juga jadi jauh-jauhan, komunikasi gak lancar. Jadi kita butuh quality time"
"Makasih ya bi, aku gak tau lagi harus bilang apa"
"Bilang aja i love you, thats enough"
"Marvin Alexander i love you sekebon" kataku, kemudian ia mencium umbun-ubunku. Wangi parfumnya masih bisa ku cium meski ia sudah beraktifitas seharian. Sepertinya bau ketek gak pede minggap dibadannya.
Dan kini, kami sedang berada di Ueno Park, Tokyo. Menikmati indahnya bunga sakura yang sedang bermekaran, yang berbunga hanya satu tahun sekali, dan biasanya akan mekar pada saat musim semi. Udara Tokyo lumayan dingin walau matahari cukup terik. Aku masih saja bisa merasakan hembusan dingin angin melalui celah jaketku.
Eits, jangan mikir aneh-aneh dulu gengs, kami gak berduaan. Marvin mengajak mamanya, hubungan kami bukan seperti gaya pacaran anak zaman sekarang dengan konsep travelling around the world sebelum menikah.
Kami duduk menggelar kain di atas taman. Menikmati makanan ringan yang kami bekal sambil berbincang santai.
"Ma, inget gak dulu waktu kita ke Jepang pertama kali, aku sempat disangka hilang, padahal aku diam di kuil karena terlalu asyik lihat pengrajin Ema, yang nulis aksara kanji untuk berdoa di kuil. Pas aku lihat mama papa udah sama security sibuk keliling cari aku"
"Iya, dikira kamu itu hilang Vin, papa mama sampe cari keliling taman, zaman dulu belum ada HP kaya sekarang, jadi ribet juga carinya, mana orang sini gak ngerti bahasa Inggris, kita ngomong bahasa Jepang juga gak bisa. Sampe kita ngejelasinnya pake bahasa isyarat"
"Jadi dulu itu aku interest banget sama tulisan kanji gitu, bi. Pas pertama aku lihat keren banget walau artinya gak ngerti, terus aku terlalu fokus liatin jadi lupa sama mama papa yang udah pada pergi"
Aku tersenyum mendengarkan cerita ulang dari ibu dan anak ini. Mereka memang keluarga yang kompak dan harmonis, terasa olehku kalau kepergian papanya Marvin masih membekas dihati mereka.
"Vin, nanti hari ke berapa kita ke Osaka?"
"Besok lusa ma"
"Nanti di Osaka beli okonomiyaki yang dulu papa suka beli ya, mama lagi pengen makan itu. Atau Tika mungkin ada rekomendasi kedai okonomiyaki yang paling enak?"
"Gak ada tante, kita coba yang tempat biasa tante makan aja, aku sering ke Jepang tapi namanya orang kerja, gak banyak eksplor tan" aku tersenyum ringan.
"Itu tante perhatiin kemarin waktu dipesawat, capek banget ya lihatnya jadi pramugari, mondar-mandir, semalaman gak tidur, kita aja yang tidur mulu rasanya capek banget, apalagi ini sambil kerja"
"Tapi justru tante, kalau kerja kaya gitu malah gak capek, lebih capek sebagai penumpang karena diam terus, kakinya juga pegal karena duduk berjam-jam, jadi berasa lama. Tapi kalau kita yang aktifitas gak terlalu berasa, ya kecuali kalau ada penumpang yang ribet"
Kami menikmati hari yang tenang di Ueno Park, rasanya menyenangkan dengan situasi ini, berada bersama Marvin dan mamanya yang gak membuatku canggung sama sekali. Aku merasa mudah masuk ke dalam lingkungan mereka.
Kami kembali ke hotel setelah makan malam. Aku sekamar dengan tante Yora, sementara Marvin sendiri, tapi tentu saja ada akses connecting room, kamar kami bersebelahan dan ada pintu yang bisa menghubungkan langsung kamar kami.
Marvin asyik rebahan di kasurku, padahal aku juga pegal ingin tiduran. Tapi masa iya aku harus merebahkan diri disebelah Marvin di depan mamanya. Aku cuma duduk di sofa sebelah ranjangku.
"Vin, sana kamu balik kamar, Tika capek tuh mau tiduran kali"
"Sini baby, tiduran sebelah aku" Marvin menepuk-nepuk bantal mengisyaratkan untuk aku menghampirinya.
"Heh" aku melemparnya dengan kapas bekas membersihkan wajah karena kejailannya.
"Gak apa-apa, mama juga pernah muda kan ma, jadi paham" Aku dan tante Yora kompak menyoraki Marvin. Gede nyali juga.
"Mama mandi dulu ah, udah gerah badan juga lengket. Kalian jadi keluar? Mama gak ikut ya, kayanya mau istirahat aja"
"Iya ma, cuma sebentar ko, cari barang-barang lucu aja di toko swalayan. Ya udah kita berangkat sekarang aja ya Ma, biar gak kemalaman"
Aku bersiap untuk membawa tas kecil yang kuisi dompet, ponsel dan kartu atm sesaat setelah tante Yora masuk kamar mandi, Marvin juga beranjak dari kasurku, mungkin untuk bersiap-siap juga. Tapi ternyata nggak, dia malah menarik tubuhku padanya, membenamkan aku dalam pelukannya.
"Vin, nanti mama lihat" aku berusaha melepas pelukan itu. Tapi Marvin tetap menahanku dan memperkuat pelukannya. Padahal aku mau juga.
Tanpa ucapan, Marvin menciumku, dalam diam kami menikmati semburan asmara dalam tubuh yang mengalir selama tiga puluh detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...