Baru saja seminggu lalu aku bertemu mbak Rossa, yang membuat memori yang sudah diarsipkan itu kembali terbuka, sekarang aku terbang bareng dengan Satria.
Ini ada apa sih? Kenapa semua orang di masa lalu tiba-tiba muncul dalam waktu berdekatan?
Maksudku, aku sudah sekitar 3 tahun bekerja. Dan baru sekarang aku bertemu lagi dengan orang-orang yang sempat membuat aku galau berkepanjangan.
Sebenarnya bukan Satria yang membuat aku galau. Tapi Satria turut andil membawa memori kegalauan itu. Secara, Satria kan sohib banget dulu sama Deva.
Atau mungkin Tuhan tahu, kalau dulu-dulu aku belum siap. Baru siapnya ya sekarang.
Bali lagi. Destinasi lokal paling dicintai semua kru. Gak ada bosannya, dan gak ada habisnya untuk sekedar nongkrong cantik di kafe instagramable sambil nunggu sunset.
Seperti saat ini, aku duduk di Canggu Lawn, menghadap pantai yang menyoroti matahari yang mulai menguning.
Aku bersama satu set kru memilih menikmati menghabiskan sore disana, semilir angin yang berhembus, wangi pantai, sengatan matahari, segarnya manggo pineapple juice. Paket kombo.
Satria gimana? Ada. Cuma dia agak kikuk. Gak banyak bicara dengan kru kabin, lebih banyak mengobrol dengan kapten yang notabennya patner kerjanya.
Btw, ini aku agak sebal deh, Marvin sok menghilang. Kemana sih dia?
Aku memilih menutup ponselku dan menikmati sisa waktu sore yang cerah, sambil mengobrol santai dengan kru yang lain.
Mau tahu? Pertama kali aku bertemu Satria di crew lounge sebelum terbang tadi?
Klasik sih, kami cuma sekedar bilang, "eh apa kabar?--udah lama ya gak ketemu--ikutan ya"
Habis itu, sudah, mingkem sampai sekarang.
Iya sih, manusia akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Sikap, pola pikir, dan mungkin juga karakter.
Cuma ya aneh saja, perasaan dulu kita pernah akrab. Kenapa sekarang jadi seperti baru ketemu?
Aku masih setia mengintip whatsappku saat kami tiba di lobi hotel. Marvin masih saja gak ada kabar. Dia mau balas dendam apa gimana? Tumben.
"Thank you ya semuanya, selamat istirahat, sampai ketemu besok"
"Makasih juga capt, selamat istirahat"
Kemudian semua balik ke kamar masing-masing. Kecuali aku. Aku balik kanan ke arah luar hotel. Lupa beli pembalut buat stok besok.
Untungnya minimarket gak jauh dari hotel, aku berjalan sendirian, agak males sih. Apalagi area hotel di Bali ini cukup luas, jarak dari lobi ke depan gerbang cukup jauh. Ditambah penerangan yang cuma remang-remang. Aku menyesal kenapa tadi gak minta berhenti saja di depan gerbang.
Mana ada yang jalan dibelakangku lagi. Krik. Krik.
Aku mempercepat langkah, sampai jarakku dengan pos pengamanan cukup dekat, seenggaknya aku lebih tenang dan aman.
"Malam mbak" tanya satpam penjaga gerbang yang ramah padaku.
Akupun menjawabnya dengan ramah, "malam pak"
"Malam mas" lanjutnya.
Hah? Aku otomatis menoleh. Satria.
"Eh BaTik, dikira siapa? Gelap sih. Ko sendirian?"
Ih dia kenapa? Dari tadi siang diam seribu bahasa, sekarang dia malah sok akrab. Apa dia baru ingat kalau punya panggilan khusus untukku. Dulu.
"Oh Masat, dikira siapa tadi yang jalan di belakang, mana udah ngibrit. Hahaha"
"Ye dasar. Mau kemana?"
"Ke minimarket depan"
"Ya udah bareng yuk. Btw, udah lama banget itu panggilan. MaSat, BaTik" ia terkekeh.
"Mas duluan. Giliran di pesawat diem-diem bae kaya gak kenal"
"Hahaha, bukan gitu, kagok, takut BaTik juga udah lupa sama saya. Kan sekarang udah jadi selebgram"
"Selebgram apa ah, nggak"
"Oh iya, pacarnya artis deh, followernya banyak. Minder"
"Lebay deh mas"
Dia terkikik.
"Mau beli apa BaTik?"
Aduh aku lupa harus beli womens things. Mana gak bawa kantung belanja, dan tas yang ku pakai cuma sejengkal ukurannya. Mana bisa masuk.
Aku memilih nyengir kuda. Kemudian pergi mencari yang aku butuhkan.
Padahal aku sudah secepat kilat buru-buru ke kasir biar gak ketahuan Satria. Eh tetap saja gagal. Kemudian dia tahu apa yang ku beli. Ya sudahlah, toh bukan hal aneh. Yang aneh itu kalau misalnya aku beli tisu magic. Ups.
"Sekalian aja mas" Satria mengeluarkan kartu debitnya pada petugas kasir.
"Eh gak usah" kataku mencegah ia membayarkan belanjaanku.
"Biar masuk limitnya BaTik"
Aku pasrah. Satria beli gel rambut ternyata.
"Gak sekalian beli camilan?" Tanyanya.
"Gak suka ngemil mas"
Dia nyengir.
"Bawa kantong belanjanya kak?" Tanya kasir.
"Beli, bisa?" Kataku dengan wajah memelas.
"Maaf kak, habis"
Mati. Terus gue harus tenteng pembalut gitu? Sekalian aja gue announcement sama semua orang kalau gini caranya.
"Ya udah kalau gak ada, dipegang aja" kataku lemas. Malu sih. Tapi mau gimana lagi?
"Mau titip?" Tawar Satria padaku, aku melirik tas Tumi yang ukurannya 3 kali lipat dari ukuran tasku. Itu sudah pasti muat. Gak perlu ditakar.
"Maaf ya mas, kepepet"
Malu banget sumpaaaah!
"Mau buru-buru balik BaTik?"
Satria bertanya saat kami akan menyebrang kembali ke hotel.
Aku cuma diam, karena gak ngerti maksud pertanyaanya. "Mau makan lagi gak?" Sambungnya.
"Tadi udah makan, masih kenyang"
"Aku laper sih, pengen ngemil apa gitu. Tapi ya sudahlah"
"Emang tadi gak makan Mas?"
"Cuma makan calamary crispy doang gak dikasih karbo, jadi laper lagi"
"Lagian, sok--sok an" kataku, nyinyir.
"Iya deh yang pesen bebek betutu"
Oh, dia tahu?
"Eh, teman Mas apa kabar?"
Duh. Aku kenapa nanya itu? Udah gesrek nih otak.
"Maksudnya teman yang mana? Deva?"
Ah sudahlah, sekalian saja diguyur air, nanggung basah. "Minggu lalu terbang bareng sama mbak Rossa, katanya mereka mau nikah ya?"
"Iya, mereka mau nikah"
"Pacarannya udah lama sih ya" kataku mulai absurd.
Kemudian hening.
"BaTik kapan nyusul?"
Boro-boro nyusul, hilalnya aja gak ada.
"Ya.. itu sih..."
Mataku hampir loncat saat yang aku lihat di depanku adalah Marvin yang sedang menatapku bergantian menatap ke arah Satria.
Marvin? Ko dia bisa di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Cerita PendekMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...