Heartbreak Team

26 1 0
                                    

Kami sudah berada di dalam mobil. Mataku sudah nanar, menahan tangis.

Saat Marvin memergoki aku dan Satria pulang dari minimarket barusan, Marvin gak banyak bicara.

Untungnya, Satria saat itu bisa bersikap sangat kooperatif.

Saat dia melihat Marvin berdiri menatap kami di depan lobi hotel, Satria langsung berlagak cuek padaku.

"Yuk mbak, duluan ya" kemudian Satria langsung menuju lift. Ekspresinya datar, seperti gak ada kejadian apapun. Seperti orang yang memang baru ketemu 5 menit yang lalu. Dan seperti orang yang gak begitu akrab denganku.

Jelas aku langsung menghampiri Marvin dan bertanya kenapa dia bisa disana semetara pesanku di cuekin terus.

Ternyata Marvin sengaja gak mengabari aku kalau dia pun di Bali. Marvin memang biasa begitu, menyusul biar bisa bertemu denganku.

Karena melihat wajahnya yang super bete, aku langsung menariknya ke tempat yang lebih sepi. Gak lucu dong kalau kami bertengkar sambil disaksikan banyak orang lalu-lalang di lobi.

Makanya, disinilah kami. Di dalam mobil yang dibawa Marvin.

"Tadi itu siapa?" Mukanya merah, menahan marah.

"Itu FO,  gak sengaja tadi ketemu di depan pas ke minimarket" kataku, dengan hati-hati.

"Kamu dekat sama dia?"

"Dia kru aktif yang terbang bareng aku. Ya kenal gitu aja, karena satu kru"

"Aku selama ini gak tahu loh, kamu kalau lagi nginap gini ngapain aja. Sama siapa, kemana aja"

"Aku gak ngapa-ngapain. Itu barusan beneran gak sengaja ketemu"

"Aku tuh suka kepikiran, kamu kalau lagi nginep suka bareng-bareng terus gak sama pilotnya, apa nanti kamu jadi cinlok sama pilotnya, aku suka pusing sendiri"

Oh, Marvin ada insecurenya? Dikira cuma aku, karena dia yang sering dikelilingi cewek cantik.

"Tapi aku gak mau berpikiran aneh-aneh, aku berusaha percaya sama kamu. Seperti kamu yang selalu percaya sama aku saat aku kerja" lanjutnya.

Suaraku masih ku tahan lembut,

"Vin, sumpah, yang tadi itu beneran deh gak ada apa-apa" aku menatap Marvin lekat, dia terlihat menunduk dan mengalihkan pandangan.

"Kamu belakangan ini juga berubah, gak tahu aku yang baperan, atau emang kamu emang mengurangi komunikasi sama aku"

Yang ini benar, aku memang mulai jarang membalas pesan dari Marvin. Kalaupun balas, agak lama.

Aku diam.

"Kenapa?" Katanya, kini ia menatapku.

Aku diam karena kalimat final warning itu terus-terusan berputar di kepala.

Is there anything else i can say or do?

Pertanyaan itu terus menghantui batinku untuk mempertanyakan tujuan hubungan kami.

"Kita kayanya sampai disini aja Vin" kataku, akhirnya memberanikan diri.

"Kenapa?" Suaranya pelan.

"Aku semakin kesini, semakin mikirin tentang perbedaan kita"

Aku berhenti sebentar, menguatkan hati sekuat-kuatnya. Menarik napas panjang. Sumpah. Ini gak mudah.

"Dan aku pengen Vin, punya tujuan dalam hubungan, jalan terus tanpa tujuan itu capek"

Marvin jadi diam. Cukup lama, sampai aku hanya mendengar suara samar dari radio mobil yang volumenya sengaja di kecilkan. Hanya terdengar sayup-sayup lagu heartbreak anniversary milik Giveon.

"Mama papa aku, mereka bisa tetap menikah walau beda agama. Tetap bisa bersama sampai akhirnya papa yang pergi duluan. Kita juga bisa kaya gitu. Dan mamaku juga fine kalau aku menikah beda agama"

"Tapi orang tua aku enggak Vin"

"Kita cuma butuh waktu aja buat yakinin mereka. Dulu, papa dan mamaku juga begitu, perjuangan mereka juga besar dan lama. Tapi akhirnya, keluarga besar kasih restu"

"Kalau aku tetap memilih kamu, itu artinya, aku milih untuk melepaskan keluargaku"

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang