Minder

32 3 2
                                    

Satu kata untuk menggambarkan kesan pertemuanku dengan Alecia, bikin minder. Sumpah, auranya benar-benar seorang bintang, selebriti yang bukan hanya cantik tapi juga memiliki kemampuan akting yang bagus.

Untung saja sekarang aku sudah jadi pramugari, kadang aku berpikir kalau saja aku masih jadi pengangguran aku pasti merasa kecil hati kalau bersanding dengan Marvin.

Rasanya perbedaan akan semakin nyata, halangan semakin tinggi, atau mungkin kesempatannya pun gak akan ada. Seenggaknya dengan latar pekerjaanku sebagai pramugari ini, pakaianku, tasku, sepatuku, gak malu-maluin. Masih bisa di adu dengan barang branded yang dipakai Alecia.

Aku banyak diam di basecamp, itu sebutan untuk tempat istirahatnya para aktor sekaligus tempat untuk mempersiapkan diri sebelum take shooting, seperti make up, hair do,  juga berganti pakaian. Sesekali aku mengobrol dengan make up artist atau kru wardrobe. Mereka semua ramah kepadaku, mungkin karena mereka tahu aku pacarnya Marvin. Seenggaknya sikap mereka membuatku cukup nyaman berlama-lama disana.

Aku memperhatikan cara kerja mereka, hal baru bagiku mengamati salah satu pekerjaan yang ada di depanku ini. Mereka hanya membaca skrip sekrenario tapi para aktor bisa dengan lancar berdialog seakan-akan kejadian itu memang benar terjadi dalam kehidupan mereka. Disaksikan banyak orang, disorot lampu besar yang membuat panas, juga direkam oleh kamera melalui berbagai sisi.

Aku juga merasa bangga, melihat Marvin dengan lancar melakukan pekerjaannya, bahkan bisa kuakui aktingnya ingin ku acungi jempol enam sekaligus, empat jempol dari kedua tangan dan kakiku, dua jempol lagi aku pinjam dari ceker ayam.

Aku memperhatikan sesekali dari kejauhan. Ia begitu serius saat membaca naskah, terlihat dari keningnya yang mengerut, mulutnya komat-kamit memahami dialog bukan baca mantra, tatapan matanya tajam bukan tatapan kosong. Dia terlihat seribu kali mempesona ternyata, disaat ia menjadi dirinya, menjadi seorang aktor.

"Kamu bete gak sayang?"

"Ngga baby, seru kok liatin kamu akting kaya gitu,  kamu keren deh"

Marvin mencubit pipiku, "kalau kamu gemesin" dia menggenggam tanganku.  Terus menatapku dengan senyum.  Ibarat dua orang yang sedang mabuk asmara, sementara orang lain sekelilingnya cuma ngontrak. Marvin gak peduli dengan orang lain selain aku.

Aku membuka lembaran naskah milik Marvin, tulisan yang padat dengan gaya ketikan mesin tik berbaris rapi. Isinya ada alur cerita, latar tempat, suasana, dan juga rentetan dialog yang harus diperankan oleh Marvin juga beberapa pemain lain. Cukup tebal, bahkan lebih tebal dari buku kurikulum zaman SMA.

"Kamu ini bisa ngapalin segini banyaknya tiap hari? "

"Ini tuh gak di hapalin, cukup dipahami aja. Kalau di hapalin capek dong"

"Tapi kayanya apa yang kamu ucapin barusan depan kamera sama kaya di naskah ini" kataku, masih salut dengan mengamati lembaran naskah yang kupegang.

"Ya dikit-dikit, yang penting inti dialognya yang sama biar ceritanya gak berubah, tapi kalimatnya gak sama percis"

"Jujur deh,  aku salut aja sama kamu, liat kamu akting kaya barusan keliatan keren aja gitu"

"Makin cinta gak?" dia mengangkat alisnya. Aku menjulurkan lidahku.
"Kalau kamu gak nambah cinta percuma keliatan keren juga" sambungnya.

"Iya, makin" kataku, akhirnya aku menyerah saja untuk bicara jujur.

Ia terlihat tersenyum menggemaskan, "jadi pengen cium deh" mode manjanya kumat lagi.

"Heh, dasar" aku memukul pelan tangannya yang menggenggam tanganku.

"Yaudah aku cium disini aja" ia menarik lenganku, dan mencium punggung tanganku. Aduh, aduh.

Ponsel Marvin berdering,  ia mengangkatnya di depanku. Sambil mengisyaratkan kalau teleponnya itu dari mamanya.

"Iya Ma, iya masih Ma. Oh gitu? Iya boleh, oke. Marvin shareloc ya Ma. Oke Ma, bye"

Marvin menjelaskan kepadaku yang seakan bertanya melalui tatapanku saat ia menerima telepon barusan. "Mama katanya mau kesini" kata Marvin.

Jantungku berdebar, lagi. Atau mungkin kali ini akan copot. Setelah aku bisa melaui kecanggunganku bertemu Alecia barusan, aku harus menghadapi lagi keadaan crucial yang dimana aku harus bertemu dengan Mamanya Marvin, yang mungkin akan ada kejadian ala sinetron Indonesia, karena sang ibu gak suka dengan pacar anaknya,  kemudian hubungan harus berakhir karena sang ibu mengucapkan; mulai sekarang jauhi anak saya. Dengan tatapan super sinis berdarah dingin yang mematikan dan semua urat wajah juga leher menyemburat tegang.

Mayday.  Mayday. Hati, aku harus bagaimana? Bersikap tenang, atau patut panik?

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang