Ini adalah hari terakhirku di Sidney. Cuaca pagi lumayan dingin, karena Sidney mulai memasuki musim gugur.
Rekan kerjaku masih ada yang berencana jalan-jalan lagi hari ini. Karena jadwal penerbangan kami nanti sore, jadi masih ada waktu untuk belanja atau sekedar berkeliling menghabiskan waktu luang.
"Aku gak ikut ya mbak, kakiku masih pegal"
Aku bicara pada teman sekamarku, dia sudah janjian dengan yang lain untuk pergi, lagi.
Karena aku gak ada lagi hal yang mau dibeli, koperku juga sudah penuh, jadi rencananya aku akan menghabiskan waktu dengan membaca novel di kedai kopi disekitar hotel.
Kapan lagi kaya orang bener? Ngopi cantik di negara orang sambil baca buku. Apalagi semenjak putus dengan Marvin, aku lebih banyak menghabiskan waktu bengongku dengan membaca novel. Sebagai pelarian.
Aku berangkat dari hotelku jam 10 pagi, berjalan beberapa blok sampai akhirnya aku menemukan kedai kopi yang sepertinya cukup nyaman dan gak terlalu ramai.
Aku memesan caramel machiatto. Kemudian duduk di area depan kedai.
Pemandangan jalanan yang langsung mengadapku membuat sensasi semakin hangat, jalanan terlihat lengang, anginnya sejuk, pohon-pohon menguning, indah.
Mataku kini beralih pada novel yang sedang ku baca. Ini adalah judul ketiga dari penulis yang sama. Sepertinya aku mulai ngefans sama penulis satu ini, gaya bahasanya asik, ceritanya segar. Pas banget untuk aku yang lagi suntuk.
"Hai" tiba-tiba seseorang menyapaku.
Aku menoleh, oh ya ampun, si Mas yang minta nomer handphone!
"Kebetulan banget bisa ketemu" katanya lagi. Dia sumringah banget, apa cuma perasaanku saja ya?
Aku masih termangu. Iya sih, ko bisa kebetulan ya?
"Boleh duduk disini?" Katanya lagi dan lagi, karena aku kelamaan mikir. Ia menunjuk pada kursi didepanku.
"Iya silahkan" kemudian aku menutup novelku.
"Nginep disekitar sini?" Kataku.
"Iya, sekitar 5 blok, tadinya cuma mau beli kopi buat takeaway, tapi gak sengaja aja tadi lihat cover novel yang kamu baca. Pasti orang Indonesia, pas dilihat dari dekat ternyata mbak Tika"
"Oh" aku nyengir. Sumpah. Aku kehabisan kata. Eh bentar, dia masih ingat namaku?
"Di Sidney belum ada sinyal ya?"
"Hah?" Dahiku mengkerut.
"Saya lagi nunggu seseorang yang katanya mau menghubungi saya, tapi saya tunggu dari kemarin gak ada"
Hahaha. Sialan.
"Oh. Iya, itu--" aku bergumam gak jelas. Mau alasan apalagi? Sudah ketangkap basah begini.
"Gak apa-apa, saya gak maksa. Itu hak mbak Tika ko"
Aku mati kutu.
"Tapi, kira-kira, saya ganggu gak kalau duduk disini sekarang?"
"Oh enggak ko, santai aja"
Ya masa aku harus bilang jujur? Iya mas ganggu banget. Mas kan stranger. Cari jawaban aman sajalah pemirsa.
"Gimana seminarnya? Sudah?" Tanyaku, daripada akward.
"Nanti malam" ia menyesap kopi hitamnya.
"Seminar apa emang?"
Lah, jadi aku yang agresif.
Dia menatapku sebentar, kemudian tersenyum sambil menjawab "Cardiac auscultation and heart sound course"
"Gak ngerti" kataku.
"Iya itu seminar tentang auskultasi jantung, bahasa simpelnya membedakan bunyi jantung dalam perbedaan antara nada dan waktu. Kurang lebih seperti itu"
Oh, dia dokter.
"By the way, kamu suka novel?" Katanya.
"Lumayan"
"Novel itu, saya sudah baca" katanya melirik novelku diujung meja.
"Serius? Ternyata cowok juga bisa suka baca novel ya?"
"Saya suka baca apa aja, gak cuma novel"
Iyalah, dokter. Gimana ceritanya kalau dokter tapi malas baca.
"Suka sama penulisnya?" Katanya sambil sesekali menyesap kopi, tapi senyumnya selalu gersungging.
"Jujur, ini judul ketiga yang aku baca. Kalau Mas?"
"Saya sudah baca semua novel yang di tulis Karina Miranda S. Kenapa kamu suka tulisannya?"
"Seru sih, dari diksinya, ceritanya juga"
"Jenaka ya? Bahasanya lincah"
Eh, kok dia puitis sekali, lebih mirip sastrawan.
"Mas paling suka novel yang mana?"
Kok jadi seru juga ya pembicaraan ini, eh apa nih?
"We becomes Us, kalau kamu?"
"Itu aku belum baca sih, sejauh ini masih belum move on sama ceritanya Rengga dan Tiara. Plot twist banget ujungnya"
"Oh iya, itu juga. Itu masterpiece tuh. Karya pertamanya"
Dia tahu banget. Fans garis keras kayanya.
"Kamu udah pernah ketemu sama Karina belum?"
"Belum"
"Emang mas udah?"
Ia tersenyum, mengulum bibirnya. Hem, pasti garis keras. Apa jangan-jangan dia mantannya? Atau--
"Kalau mau, saya bisa antar mbak Tika ketemu sama Karina, tapi saya mau tahu dulu. Kalau nanti udah ketemu, mbak Tika mau ngapain?"
"Ngapain ya? Minta tanda tangan di novelku kali ya" jawabku asal. Aku juga gak tahu apa dia juga bicara asal.
"Oke, nanti saya antar mbak Tika buat ketemu Karina ya kalau di Jakarta" jawabnya mantap.
"Emang mas kenal?"
"Banget. Dia kakak kandung saya... Karina Miranda S. S itu kepanjangan dari Samili, nama keluarga kami. Anyway, panggil Harris aja ya mbak Tika"
Ia tersenyum. Dan kenapa senyumnya jadi manis begitu ya? Dia punya lesung pipit kecil dipipi kanannya.
Hati! Jangan buru-buru baper bisa gak sih!
"Oke, oh iya, cukup panggil Tika aja"
Dan inilah babak akhir cerita yang ku tulis. Harris menjadi orang baru yang entah akan sejauh mana kisahnya denganku. Entah kami akan bertemu lagi di Jakarta atau enggak? Entah nanti dia akan mengajakku bertemu kakakknya, seorang penulis yang aku idolakan atau enggak? Dan akankah ada pertemuan-pertemuan lain setelahnya atau enggak?
Tapi yang jelas, aku gak akan menceritakan Harris disini.
Biar saja beberapa lelaki yang dulu pernah aku ceritakan disini menjadi bagian hidup yang namanya akan aku simpan, dan selanjutnya aku akan membiarkan orang baru dalam kisahku untuk hidup bersamaku.
Karena jika semua ini adalah awal mula, aku berharap kisahnya gak akan berakhir hanya sampai pada tulisan ini, akan kubiarkan itu semua terus tumbuh dan hidup bersama kisahku yang lain.
Dengan berat hati, diary ini akan pensiun dini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...