Dan tiga hari pun berlalu dengan aman sentosa. Ternyata pak Hermes yang disangka galak luar biasa itu adalah salah besar. Mungkin awalnya memang dia super tegas, pembawaanya lumayan bikin mental ciut. Tapi nyatanya tidak semeyeramkan itu.
Kami hanya ditanyai di penerbangan pertama, sisanya kami dibiarkan beradaptasi dengan kru aktif tanpa banyak ikut campur. Selama di hotel pun kami nggak diganggu sama sekali untuk ditanya ini-itu.
"Saya rasa kalian sudah cukup kompeten, kalian juga sudah banyak menerima materi selama training, saya lanjutkan ke FTR ketiga ya" Begitu katanya, seusai schedule tiga hari.
Aku merasa bersyukur karena selalu diberi kemudahan dan diberi penguji yang baik. Semuanya berjalan lancar. Satu langkah lagi sampai menuju pelaminan, eh nggak, maksudnya jadi pramugari.
FTR ketiga itu pengujinya dari DKPPU atau Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, kali ini berbasis Nasional, kalau dua penguji kemarin dari perusahaan, kali ini dari negara.
Cukup dengan schedule pulang-pergi, gak perlu menginap. Kurang lebih pertanyaannya akan sama, karena draft pertanyaannya juga sama.
Lama-lama mentalku terbentuk juga, kali ini aku lebih tenang untuk menghadapinya. Semua berjalan lancar, pertanyaanyapun nggak serumit yang diberikan oleh penguji dari perusahaan. Aku dan Gea lulus untuk FTR ketiga. Dan akhirnya batch kami pun dinyatakan siap dan layak mengudara.
Akhirnya perjuanganku selesai sebagai trainee, aku sudah siap bekerja sekarang, dan berpenghasilan. Kalau diingat-ingat rasanya banyak kejadian lucu dan menyenangkan selama training, tapi kalau masa itu diputar lagi aku jelas nggak mau karena lebih banyak susahnya.
Aku gak sabar menunggu jadwal terbangku publish, tapi disisi lain juga aku merasa khawatir untuk terjun didunia penerbangan. Aku harus adaptasi lagi dengan semua hal baru yang akan ku hadapi.
"Mbak Tika, sombong deh sekarang"
Aku gak sengaja berpapasan dengan Deva, sudah lama kami gak bertemu, padahal kami satu kost.
"Mas Deva yang jarang kelihatan"
Deva sudah lebih dulu release menjadi pilot, ia sudah menyelesaikan trainingnya dari dua bulan yang lalu, makanya dia jarang ada di kost. Sebenarnya beberapa kali aku mendengar dia akan pergi atau baru pulang terbang dari suara koper yang berasal dari arah kamarnya, tapi aku berdiam diri di kamar.
Selama FTR juga aku lebih banyak tinggal di kamar Tami, setidaknya aku gak begitu kesepian bersama Tami dan Tiara.
"Gimana FTRnya? Udah selesai?"
"Alhamdulillah, udah release mas, lagi nunggu jadwal publish"
"Alhamdulillah, selamat ya, harus di rayain nih"
"Ah gak usah mas"
"Aku kira mbak Tika udah pindah kost, kamarnya sepi terus"
"Iya, kemarin-kemari lebih sering di kost teman sekalian belajar bareng"
"Oh gitu, oh ya, hari minggu aku pindahan, gak kost disini lagi mbak"
"Oh, balik ke Bintaro ya mas?"
"Iya mbak, kamu masih tetap tinggal disini?"
"Nggak mas, aku juga mau pindah"
"Kemana?"
"Masih pilih-pilih sih, kemarin ada beberapa lokasi"
"Oh gitu, mbak Tika udah makan belum?"
"Udah mas, baru aja"
"Yah, asalnya mau ajakin ke warmindo" aku hanya diam. "Sekalian ngerayain releasenya mbak Tika" dia berusaha mengubah pikiranku, sepertinya dia berharap aku mau diajaknya. "Mungkin untuk yang terakhir sebelum pindah"
Mendengar kata itu, membuat mataku terasa panas, aku gak tahu kenapa tapi aku merasa dadaku sesak. Setelah aku berusaha menghindar untuk menghentikan perasaan, ternyata aku masih menyimpan perasaan untuk Deva.
"Iya mas maaf ya, mungkin next time"
Deva terlihat memaksakan senyumnya, entah bagaimana aku merasa dia seperti kecewa dengan jawabanku. Atau mungkin sedih. Tapi untuk apa? Untu apa dia sedih? Memang seharusnya dari awal begini, tidak perlu terlalu dekat, tidak boleh.
"Mudah-mudahan kita ketemu lagi ya mas" sambungku.
Deva tersenyum padaku, kemudian ia pamit pergi. "Iya mbak Tika, see you on board ya"
Aku menahan air mataku untuk nggak jatuh didepannya. Aku merasa obrolan barusan dua kali lebih menyakitkan daripada kejadian suprise hari itu.
Entah, aku merasa sepertinya aku gak akan pernah bertemu dia lagi, aku gak akan melihat dia lagi. Air mataku akhirnya meluap, berjatuhan di dapur kostku di lantai 3.
Aku mengambil gelas dari rak, dan aku melihat piring yang berikan untuk Deva di ulang tahunnya. Piring custom dengan inisial namanya berjejer disana bersama piring yang lain.
Apalagi di tempat ini, dapur bersama ini semakin mengingatkan kebersamaanku dulu dengan Deva. Sejenak, aku merasa menyesal sudah menolak ajakannya barusan. Setidaknya, kami bisa melakukan perpisahan yang lebih layak dari pada ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...