Dear Diary

236 6 0
                                    

Dear diary! Namaku Kartika Chandra Wijaya.
Mungkin si diary ini akan bilang: bodo amat. Ya baiklah. Skip.

Aku lahir di Jakarta 21 tahun silam, jadi kalau ada yang baca tulisan ini 10, 20, atau 43 tahun 8 bulan kemudian ya tinggal dihitung aja umurku berapa, puyeng-puyeng deh itu kepala. Canda kepala.

Karena namaku kepanjangan, biasanya aku hanya menggunakan nama Kartika Chandra di beberapa sosial media; Instagram, twitter. Sudah sih itu saja. Karena linkid-ku pasang nama lengkap. Biar lebih formal. Weits, mungkin salah satu dari kalian ada yang gak asing dengan nama Kartika Chadra? Yes! Nama hotel di daerah Slipi--Jakarta Barat.

Dan namaku memang terinspirasi dari hotel itu, bapakku yang gak tahu kenapa cukup terobsesi dengan nama Kartika, ditambah pada zaman itu, hotel tersebut terkenal "mentereng". Iya lah, jangan dibandingkan sama sekarang ya. Yang pasti di zaman itu belum ada four seasons, Shang ri-la. Dan apalah itu nama hotel bintang lima atau bintang enam sekalipun. jadi jangan berharap lebih! Dan namaku benar-benar terinspirasi dari nama hotel. Luar biasa bukan?

Jadilah namaku Kartika Chandra, lalu Wijaya? Ya itu sih cuma tambahan aja biar ada pembeda. Mungkin biar gak kena komplain hak cipta.

Aku seorang fresh graduate dari jurusan sastra Indonesia. Kalau kata orang "mau kerja apa?" Kata om-tanteku yang merasa anak-anak mereka lebih berguna dengan kuliah mengambil jurusan bisnis, farmasi, atau ilmu komunikasi. Gak ada salahnya memang, dan terbukti, sekarang aku cukup sulit diterima bekerja.

My dream job sejak dulu adalah menjadi seorang wanita karir yang duduk di antara kubikal, fokus sama komputer, punya meja kerja sendiri yang ditempeli deadline laporan dengan post-it warna-warni, terus mejaku dipenuhi macam-macam alat tulis lucu serba pink dari smiggle, sibuk seharian meeting sana-sini, punya teman kantor yang itu-itu aja tiap jam istirahat, tiap sore dijalan pulang sibuk mikirin "besok pakai baju apa ya?" Dan semua hal yang berkaitan dengan serunya kerja kantoran.

Ya seru, menurutku itu seru karena tidak aku jalani. Mungkin saat berada didalamnya, semua itu gak akan seru lagi jadinya. Tapi kembali pada realita, nyatanya aku melamar ke sepuluh perusahaan berbeda, bahkan ikut job fair dengan membayar lima puluh ribu rupiah yang antrinya seperti mau nonton konser Justin Bieber dengan BTS sebagai guest star dan black pink sebagai pembuka acara. Beuh stadion negara aja kayanya gak cukup. Terus, belum lagi waktu masuk dibibir pintu stadion Gelora Bung Karno harus berdesakan seperti rebutan sembako gratis dari pemerintah. Dan ternyata gak ada satupun dari perusahaan yang aku kirim surat lamaran itu yang meneleponku. Nahas memang, apa yang dibilang orang-orang dengan "kuliah sastra nanti mau kerja apa" terbukti sudah.

Bukannya aku tidak berpikir realistis untuk masa depan dengan mengambil jurusan sastra, tapi karena ada hal lain yang menjadi alasan utama kenapa akhirnya aku mengambil jurusan itu. Dan aku tidak menyesal, justru bangga. Bisa peduli terhadap bahasa nasional, bahasa Indonesia. Yang orang selalu pandang sebelah mata, yang orang selalu bilang "ngapain belajar bahasa Indonesia? Kan kita udah bisa ngomong pake bahasa Indonesia". Jika pandanganmu hanya sejauh itu, maaf, maka mainmu kurang jauh.

Bahasa adalah media komunikasi. Sebagai penjembatan dalam interaksi dan literasi, cakupannya luas, maknanya bebas. Bahasa begitu penting bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga kehidupan bagi manusia dibumi. Apa jadinya jika kita lahir tanpa bahasa? Kamu mau bicara dengan bahasa tubuh? Atau bahasa kalbu?

Sebelum adanya ilmu eksak, ilmu astronomi, ilmu astrologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu informatika, ilmu sipil, dan ilmu-ilmu lain yang ada didunia ini, bahasa lebih dulu ada disana, bahkan bahasa lahir saat manusia itu juga lahir. Karena manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai alat bersosial.

Dan bahasa Indonesia, aku begitu bangga menjadi orang yang pernah menjadi aktivis pemuda-pemudi yang peduli terhadap perkembangan bahasa Indonesia, membuat rasa nasionalismeku bertambah. Aku rasa ini perlu, untuk generasi muda memiliki kecintaanya terhadap negara. Karena generasi peneruslah yang akan membuat Indonesia berjaya.

Duh, cerita jadi agak berat ya kalau bicara tentang nasionalisme. Sebenarnya disini aku akan cerita tentang hidupku yang gak biasa. Jatuh-bangun-jatuh lagi-terpuruk-bangkit-tersungkur-bangun-terjerembab. Ya begitulah hidup, gak ada yang mulus. Meskipun kamu dilahirkan dari keluarga Kerajaan manapun pasti akan menemukan titik kesedihan dalam hidup. Misalnya, gak boleh makan mie instan, gak bisa makan jajanan gerobak pinggir jalan, atau gak bisa belanja online karena kurir tidak bisa mengantar paketmu sampai depan istana kerajaan. Hidup tidak begitu, tidak hidupku, juga tidak hidupmu.

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang