Rumah

29 4 0
                                    

Aku meninggalkan apartemenku jam 6 pagi, dengan menaiki transJakarta jurusan Cawang kemudian transit di PGC dan menyambung jurusan Pinang-Ranti. Jakarta masih sepi di jam segitu, pilihan terbaik untuk menghindari kemacetan dan hiruk-pikuk ibu Kota.

Aku tiba di rumah jam 7 kurang 20 menit. Susana rumah terlihat sepi, bapak sudah berangkat kerja, Uta juga berangkat sekolah. Hanya ada ibu yang lagi nonton acara gosip. Belum berubah.

"Assalamualaikum Bu" aku langsung masuk ke dalam rumah yang pintu utamanya terbuka sedikit dan pagar yang gak dikunci.

Rumahku ini terletak di area padat pemukiman, kadang kami saling percaya satu sama lain dengan tetangga sehingga gak perlu takut rumah akan kemasukan maling kalau pintu gak dikunci di waktu siang hari. Walaupun rumah orang tuaku tidak di awasi satpam 24 jam di depan gerbang, nyatanya kami belum pernah kemalingan, semoga tidak pernah.

"Walaikum salam, Tika? Ko pulang gak ngabarin?"

"Iya bu, libur cuma sehari, besok kerja lagi"

"Udah makan belum?"

"Baru makan roti doang bu" aku mengeluarkan isi tas yang kubawa. "Nih bu, pie susu, kesukaan ibu"

Ibu dengan gesit membuka bungkusan yang kubawa, dan langsung menyicipinya. "Enak" katanya. Pie susu itu salah satu kesukaan ibu, tiap aku ke Bali, ibu gak pernah bosan aku bawakan pie susu sebagai oleh-oleh.

"Emang kapan ke Bali?"

"Kemarin bu, baru aja pulang semalam, jangan lama-lama di abisinnya, nanti keburu berjamur, pie susu ini paling tahan 5 hari" kataku.

Setelah berbincang seputar pekerjaanku, pekerjaan sebelumnya kemana saja, menceritakan suasana berbeda di tiap kota atau negara, dan juga pengalaman lain seputar pekerjaan, aku masuk ke kamarku, untuk beristirahat.

Kamar yang tidak begitu besar, hanya ada satu tempat tidur ukuran single, lemari kayu, dan meja kecil tempat aku menyimpan barang atau buku. Gak ada meja rias, gak ada televisi, apalagi pendingin udara. Bukan aku gak mau beli, tapi daya listrik di rumahku gak cukup untuk pasang AC. Jadi nanti malam aku harus sedikit kegerahan.

Berbeda jauh dengan kondisi tempat tinggalku di apartemen, kamarnya luas, furniturnya berkelas, bangunannya cukup mewah dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian lantai 17. Indah kalau sudah malam, cahaya lampu berpancar terlihat bagai titik-titik yang berkilauan.

Untuk saat ini, aku baru bisa mengganti beberapa barang elektronik yang sudah lawas, menggantinya dengan yang baru dengan spekulasi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya.

Untuk ekonomi keluargaku memang lebih stabil sekarang, semenjak aku bekerja, aku bisa memberikan sebagian penghasilanku untuk menutupi kebutuhan keluarga, isi kulkas rumahku pun sekarang lumayan beragam. Sebelumnya kulkasku selalu lengang, paling cuma telur 2 butir, kecap kemasan plastik yang tinggal sedikit, yang kalau mau keluar isinya harus di tekan bagian ujungnya karena sudah mengeras, es batu, dan tomat yang baru dipakai setengahnya untuk memasak.

Sekarang, dibagian freezer pun penuh dengan makanan beku siap goreng, bagian laci buah-buahan pun penuh dengan buah segar seperti jeruk, mangga, dan anggur. Belum lagi di raknya pun masih terisi beberapa macam kue.

Bukannya sombong, tapi untuk biaya sekolah Uta juga kini aku bisa membantu meringankan beban orang tuaku. Orang tuaku gak pernah meminta, tapi aku tahu, saat ini mereka membutuhkan itu. Lagi pula, pendapatanku gak akan habis kalau untuk membiayai sekolah Uta.

"Maaf ya Tik, ibu sama bapak jadi repotin kamu, harus biayai sekolah Uta. Harusnya ibu sama bapak sebagai orang tua yang bertanggung jawab". Begitu kata ibu, saat pertama kali aku mentransfer uang untuk biaya sekolah Uta. Jujur aku ikhlas melalukannya, bagiku salah satu alasanku untuk bekerja ditempatku saat ini adalah mereka. Aku ingin membahagiakan mereka, memberi hal yang tidak bisa mereka dapatkan.

Kadang kalau aku sedang lelah dengan pekerjaan, penat dengan rutinitas bangun pagi buta, muak dengan "menjilat" senior agar jadwal penerbangan berhari-hari terasa menyenangkan karena gak kena amuk, dan jengkel sama tingkah penumpang yang selalu ingin di sembah seperti raja, aku selalu ingat mereka, ingat keluargaku, ingat ibu, ingat bapak, ingat Uta.

Aku juga manusia biasa yang doyan mengeluh dengan keadaan, walau keadaan sudah bisa dibilang lebih nyaman, fasilitas mewah, gaji besar, jalan-jalan gratis, tetap saja sebagai manusia aku selalu merasa tidak puas. Aku masih saja mengeluh dengan waktu yang gak kumiliki, dengan rutinitas pekerjaan yang melelahkan, dengan orang-orang busuk yang ada di dalamnya.

Tapi saat aku lelah, keluargaku itulah yang membangkitkan semangatku lagi. Yang membuat kantukku hilang saat jemputanku sudah nangkring di lobby apartemenku jam 2 pagi, yang menyumbat teligaku saat mendengar repetan senior yang uring-uringan, dan juga memasang tembok diwajahku saat ada penumpang yang menguji kesabaranku dengan tingkah yang seenaknya.

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang