Aku sudah merias wajahku, untuk urusan merias wajah aku gak pernah kesulitan. Selain aku sudah dibekali ilmu make up sewaktu training pramugari dulu, zaman sekarang juga banyak seliweran tutorial make up kondangan yang simpel tapi tetap charming.
Rambutku hanya di curly bagian ujungnya, dan bagian sisi aku sengaja sematkan ke dekat telinga menggunakan hair pin.
Aku mengenakan kebaya semi gaun. Atasnya brukat, bawahnya gaun cukup panjang dan lebar berbahan silk.
Marvin yang mengajakku hadir di pesta pernikahan salah satu teman selebritinya. Kami juga janjian menggunakan pakaian dengan warna senada. Marvin mengenakan jas semi formal kebiruan.
Acaranya super megah, mewah, dan meriah. Banyak tamu yang datang. Dari kalangan artis, pejabat, influencer, sepertinya publik figur kumpul semua di acara ini.
Aku banyak dikenalkan oleh Marvin dengan temannya, yang notabennya aku tahu mereka karena wajahnya sering seliweran di layar kaca.
Untuk ukuran perempuan yang bukan dari kalangan artist, aku gak malu-maluin. Penampilanku cukup bisa membaur dengan ratusan atau bahkan ribuan tamu undangan yang hadir di gedung ini.
Bukan sok kepedean, tapi memang begitu adanya. Hehehe.
Dekorasinya luar biasa gak main-main, bunga yang dipakai juga semuanya asli. Dari pintu utama, altar, sampai ke pelaminan. Lampu-lampu kristal juga saling menggantung dan berkilauan.
Mungkin biayanya mencapai miliaran!
Aku cukup canggung berada di pesta semegah itu. Walaupun penampilanku mumpuni, tetap saja. Aku seperti masuk dunia berbeda yang aku belum terbiasa.
Banyak juga diantara teman Marvin yang ku kenal hadir disana. Hubungan kami hampir 3 tahun, jelas aku banyak kenal dengan orang disana, tapi aku masih saja sempat-sempatnya merasa nervous dan sedikit minder.
Namanya juga aku, insecurity always be mine.
"Vin. Apakabar lo? Lama gak ketemu"
Salah seorang aktor juga yang ku kenal menghampiri kami.Ia tersenyum padaku karena melihat aku yang menempel terus pada Marvin.
"Randy.. wah, udah lama banget ya kita gak ketemu?" Jawab Marvin pada lelaki yang berkulit sawo matang itu.
"Iya, terakhir kita yang di gala premir apa ya waktu itu? Tahun berapa ya? 4 tahun lalu kan kalau gak salah?" Ia terlihat berpikir.
"Kayanya sih. Gimana, istri? Sehat? Ko gak ikut?"
"Iya, anak gue anget jadi ga ikut. Eh nyokap gimana? Sehat?"
"Sehat, sehat. Lo jarang keliatan nih"
"Iya, gue sekarang jarang kemana-mana kalau gak penting-penting amat. Udah ada anak istri bawaannya pengen di rumah terus... hehe"
Ia melirikku sambil tersenyum. "Kapan dong Vin, nyusul, jangan kelamaan"
"Wiih ditodong nih" jawab Marvin santai.
"Iyalah, ngapain sih lama-lama. Nikah enak loh"
Aku dan Marvin hanya tertawa. Aku melihat Marvin santai menanggapinya, sepertinya aku yang tertawa akward.
Setelah todongan kapan nikah itu selesai, kami kembali menikmati acara.
Seperti menghadiri acara penikahan pada umumnya, setelah selesai salaman dan berfoto dengan pengantin dipelaminan, kami menikmati sajian makanan yang tersedia.
Entah cuma aku saja atau memang kebanyakan orang juga mengalamai hal yang sama, aku selalu kehilangan nafsu untuk makan di acara kondangan.
Walau pilihan makanannya banyak, tapi antrinya itu loh. Males banget.
Belum lagi gaun yang ribet ini juga membuat ruang gerak gak leluasa, ditambah riasan yang gak mau terganggu karena aku harus tetap tampil maksimal. Tuntutan emosional yang berat.
Kami akhirnya beranjak untuk menyudahi kehadiran dan pulang. Tapi saat menuju pintu keluar, sudah banyak wartawan yang langsung menyerbu dengan kamera yang cahaya flashnya menyoroti kami. Silau banget.
"Marvin, sedikit dong wawancara"
"Marvin, ucapannya dong untuk mempelai"
"Marvin gimana tadi acaranya di dalam, boleh dong sedikit tanggapannya"
Jujur aku takut, aku bingung kalau ditanyai. Aku gugup. Aku cuma senyum-senyum mengikuti arah jalan Marvin.
Tapi gerombolan wartawan ini sudah menutupi jalan kami.
"Ya, tadi acaranya luara biasa, mewah banget, elegan, pengantinnya juga ganteng dan cantik" kata Marvin akhirnya terpaksa berhenti. Namun ia tetap ramah.
"Ucapannya dong buat mempelai"
"Semoga langgeng terus, bahagia terus, selalu bersama sampai kakek-nenek, sampai maut yang memisahkan, semoga cepat dapat momongan juga" jawab Marvin yang tak henti menebar senyum.
Sorot lampu dari flash kamera membuat kulit Marvin semakin bersinar. Aura artis memang selalu beda kalau artis.
Sementara aku? Hanya angguk-angguk, manut-manut, senyam-senyum, seperti orang yang ketinggalan kunci mulutnya di rumah.
Sebenarnya kalau bisa milih, aku ingin kabur, seperti biasa. Menggunakan jurus menyelinap tiap kali Marvin diwawancara seperti ini.
Tapi malam ini gak bisa. Aku mau kemana?
"Kalau Marvin, kapan nih nyusul?
Nah ini nih yang bikin malas.
"Ya doain aja"
"Mbak, gimana hubungannya, cerita dong sedikit"
Akhirnya wartawan mulai menyerangku. Aku cuma bisa senyum-senyum kaya orang bego.
"Berapa lama sih kalian pacaran?"
Suara Marvin masih tenang, sesekali melihat padaku yang mungkin terlihat bego.
"Hampir 3 tahun, dia pemalu anaknya" akhirnya Marvin yang jawab. Kurasa dia memang lebih ahli dan proper melakukannya.
"Vin gak ada rencana nikah secepatnya?"
"Waduh belum tau ya" jawab Marvin masih santai.
"Kapan nyusul, Marvin? Pacarannya kan lumayan lama"
"Masih belum tau" jawabnya lagi sambil senyum-senyum.
"Mungkin gak kalau tahun depan?"
"Aduh belum ya, belum ada kepikiran sampai sana. Sekarang sih masih fokus ke karir aja dulu"
"Jadi tahun depan juga belum ada rencana ya Vin?"
"Nggaklah, kita masih muda, masih banyak hal yang mau gue lakuin juga. Masih pengen menikmati dan melewati banyak hal. Jadi sampai saat ini memang belum ada pikiran untuk menikah sama sekali" jawab Marvin lugas, jelas, dan mantap.
Oh, gitu vin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...