Marvin sukses merayuku untuk datang ke lokasi syutingnya. Area perumahan yang berada di daerah timur Jakarta itu dipenuhi mobil yang berjejer parkir dan bersaing dalam kemewahan. Juga yang paling ikonik, sebuah mobil jeep dengan jenset yang diderek dibelakangnya.
Banyak orang wara-wiri disana, didepan sebuah rumah besar yang sering ku lihat di televisi. Aku cilingak-cilinguk menanti Marvin muncul dalam penglihatan, rasanya hal itu membuatku lebih gerogi daripada saat aku tes wawancara pramugari.
Akhirnya ia menemukan aku yang berdiri di antara banyak orang lalu lalang. Beberapa orang itu juga beberapa kali memperhatikanku, mungkin aku nampak seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
"baby, lama ya nunggunya?"
Ia langsung memelukku, gak ada perasaan risih meski banyak orang yang menonton adegan kami berpelukan. Mungkin bagi Marvin, itu hal biasa.
"Nggak ko, aku baru datang"
"Masuk yuk" Marvin menggenggam tanganku, dan membawaku masuk ke dalam rumah itu.
Orang di dalamnya juga gak kalah banyak, juga alat-alat yang belum pernah ku lihat sebelumnya, kamera, lampu-lampu besar yang menyorot, dan semuanya yang gak aku tahu namanya.
Ia mengenalkanku pada seorang lelaki yang mungkin umurnya sekitar empat puluh tahunan, ia mengenakan kaos hitam dengan rambut ikal berantakan dengan kacamata bentuk kotak. Dia duduk menatap sebuah layar kecil di kursi lipat bertulis director dibagian belakang.
"Bang Rega, kenalin nih" Marvin memanggil namanya, dan orang itu pun menghampiriku dengan senyum.
"Wih, baru nih Vin" katanya sembari menyalamiku untuk mengenalkan dirinya, yang ku sambut juga dengan menyebut namaku.
"Baru dikenalin aja bang, anaknya pemalu"
Aku mencubit pinggang Marvin sambil tersipu. Aku juga melihat sang sutradara yang baru saja dikenalkan itu memberikan isyarat jempolnya, gak tahu apa maksudnya.
Lalu Marvin mengajakku ke sebuah ruangan lain, ruangan itu terlihat seperti sebuah kamar, ada kasur berukuran besar, kamar yang besar diisi beberapa orang di dalamnya. Ada baju-baju yang bergantung, mungkin itu ruang rias dan kostum karena bisa ku lihat dari seorang kru yang sedang meluruskan rambut seorang perempuan berambut coklat.
"Al, kenalin nih"
Perempuan itu sedang sibuk mengetik di ponselnya, yang langsung menoleh saat itu juga ke arah suara Marvin, aku tahu kalau itu adalah Alecia Kinara. Dia cantik, kulitnya mengkilap seperti mobil yang baru saja di wax yang dijamin akan bertahan mengkilap sampai 60 hari.
Ia senyum semringah menyambutku, "oh hai, Ale" senyumnya pun ramah, giginya putih, matanya coklat, bulu matanya lentik, wajahnya mulus gak ada pori-pori, aku saja sebagai perempuan gugup melihatnya.
Lalu apa yang aku lakukan? Seperti biasa, gerogi melanda. Aku merasa seketika tubuhku kaku, entah karena Alecia terlalu cantik, atau aku yang merasa gak sepadan dengan Alecia. Tapi kenapa aku harus merasa gak sepadan?
Aku mengenalkan diriku dengan suara yang lemah, sepertinya rasa maluku menggerogoti suaraku. Kujadikan ini sebagai hari kikuk nasional bagiku. Menyedihkan.
Tapi Marvin enggak. Dia menjadi orang yang terlihat sangat bangga dengan kehadiranku, dengan caranya mengenalkanku pada semua orang disana, dan terlihat senyumnya selalu merekah di depanku. Aku lega.
"Vin, siap-siap take ya, scene 105" seorang lelaki menghampiri dengan lembaran kertas tebal ditangannya.
"Ada akunya gak?" suara Alecia di ujung sana menyambar.
"Ada kak, bareng kak Ale juga" lelaki ini kembali menjawab.
Ale beringsut dari tempat duduknya, memberikan ponselnya pada perempuan muda yang ku rasa itu asisten pribadinya. "Vin, reading yu"
"baby bentar ya"
"its okay, take your time"
Marvin membelai pangkal rambutku sebelum pergi. Aku melihatnya sangat serius dalam melakukan tugasnya, ia memainkan ekspresi yang sesuai dengan dialog di sekrenario. Dia seperti bukan Marvin yang biasa mengobrol semalaman denganku, melihat mimik wajahnya yang berubah saat membacakan naskah, dia bukan seperti Marvin yang ku kenal manja saat denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Cerita PendekMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...