Untung aku selalu bersiap dengan semua kondisi, aku selalu menyiapkan baju terbaik di dalam koper untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi selama menginap.
Ini salah satunya, tiba-tiba Marvin mengajakku jalan. Mimpi apa aku semalam? Beberapa hari gak ada kabar, malah ngajak ketemuan di Bali. Aku pakai celana highweist bewarna ivory, dan kaos putih, dengan syal ayam andalanku, korban dari film Ada apa dengan Cinta 2.
"Mbak, aku jalan dulu ya"
"Mau kemana mbak? Katanya tadi gak mau keluar"
"Iya mbak, dijemput teman"
"Kemana mbak?" Sumpah, mukanya itu berharap banget buat di ajak. "Yah aku sendirian dong" katanya lagi. Bodo amat!
"Iya sorry ya mbak, temannku cowok soalnya, kalau mbak ikut nanti jadi kambing congek, hehe" aku puas sekali melakukan ini, bukannya aku jahat, habis dia ngeselin sih. Coba aja kalau dia baik, mungkin aku juga lebih peduli. Tapi gak di ajak jalan bareng Marvin juga sih, nanti kambing congek beneran.
Aku berjalan dug-dug-ser menuju lobi. Apalagi Marvin sudah mengirimku pesan kalau dia sudah sampai di depan lobi hotel. Aku cilingak-cilinguk mencari keberadaannya. Dia berdiri di ujung drop point dengan mengenakan helm. Dia melambai ke arahku sambil tersenyum.
"Hai" katanya saat aku menghampirinya.
"Hai, nunggu lama ga?"
"Nggak, oh ya, jalannya pakai motor gak apa-apa kan?"
"Gak apa-apa dong, Bali macet kalau pakai mobil"
"Iya, parah banget, makanya aku malas bawa mobil. Shall we?" Dia memberikan helm untuk ku pakai. Dia menaiki motor berjenis scooter matic. Dengan kemeja katun yang longgar dan celana pendek selutut, senyumnya manis, dan wanginya bisa ku cium lebih pekat saat aku duduk dibelakangnya.
Aku menyimpan kedua tanganku dipinggangnya, aku senyum-senyum sendiri memperhatikan Marvin dari belakang, kemudian motor melaju membawa kami pergi meninggalkan hotel.
Sepajang perjalanan kami berbincang, aku harus sedikit mencondongkan tubuhku ke depan agar obrolan kami terdengar, Marvin juga mengubah posisi satu spionnya ke arah wajahku sehingga kami bisa saling menatap saat bicara melalui cermin spion. Belum apa-apa aku sudah merasa kalau dia romantis.
"Aku baru pertama loh, naik motor lewat tol begini" aku melihat pemandangan disekitarku, jalan tol yang membentang membelah lautan, lebih terasa nyata saat berada di atas motor dengan hembusan angin kencangnya.
"Iya emang cuma di Bali ya yang bisa begini. Emang kamu gak pernah naik motor kalau di Bali?"
"Gak pernah, soalnya biasanya kalau jalan sama kru yang lain, banyakan gitu, jadi pasti sewa mobil"
"Kamu sendirian gak pernah?"
"Pernah, tapi paling sekitar hotel aja, gak jauh-jauh. Soalnya aku gak hapal jalan"
"Kan ada aplikasi peta"
"Ya terus pegang hapenya gimana? Takut di jambret"
"Hahaha, ada-ada aja deh Tik idenya"
"Serius, serem juga kan?"
"Iya sih, yaudah jangan, jadinya kamu punya pengalaman pertama bareng aku" Marvin terlihat tersenyum melihatku dibalik spion.
Kami tiba disebuah daerah antah-berantah yang jauh dari keramaian, jalan yang kami tempuh untuk sampai lokasi juga cukup terjal dengan jalanan yang belum di aspal.
"Ini tempat apa Vin?"
"Ini hidden place gitu Tik, pernah kesini belum?"
"Belum" aku turun dari motor, Marvin meninggalkan motornya di sebuah bekas tenda warung yang sudah tutup. Dia berjalan didepanku untuk menjadi pemadu arah.
"Motornya gak apa-apa ditinggal disana Vin? kayanya disini sepi gak ada siapa-siapa"
Memang daerahnya sangat sepi, hanya ada pepohonan diantara semak belukar dan jalan setapak, dan kami berjalan mengikuti jalan yang sudah tergaris saja.
"Tenang aja Tik, udah dikunci, lagian ini bukan Jakarta yang banyak maling"
Sekitar 500 meter kami tiba diujung tebing yang terbentang luas menghadap pantai. Luasnya lautan biru dengan gradasi putih dari buih ombak bisa dilihat dengan jelas disana, begitu indah.
"Turun yuk" Marvin menjulurkan tangannya untuk membantuku menuruni sebuah jalan setapak yang cukup menukik. Aku meraih genggamannya yang kuat dan berjalan mengikuti langkahnya.
Kami terus menuruni jalan turunan bebatuan dengan rumput liar disetiap sisinya. Hingga sampai dibawah kami langsung menyentuh bibir pantai yang tenang, sangat tenang. Tidak ada siapapun disana, hanya kami.
Di ujung pantai berdiri tebing batu karang yang kokoh, dengan warna hitam pekatnya.
"Kita tadi dari atas sana kan?" Tanyaku pada Marvin sambil menunjuk ke atas tebing."Bener Tik"
"Tinggi banget ya" aku terus mengitari pemandangan pantai di depanku "keren banget disini Vin"
"Keren kan? Jarang yang tahu kalau pantai ini bagus" Ia menatapku dengan senyum manisnya, berdiri disebelahku dengan rambutnya yang tertiup angin pantai.
Kami banyak berbincang seputar pekerjaanku yang menurutnya menarik, juga mebicarakan pekerjaannya yang cukup asing bagiku. dengan Marvin, aku merasa memasuki dunia lain yang tidak aku ketahui sebelumnya. banyak hal yang menurut kami adalah biasa, tapi justru membuat kami betah berbincang sampai aku lupa indahnya matahari terbenam.
Kami hanya duduk dipinggir pantai tanpa alas, mdmbiarkan bersentuhan langsung antara butiran pasir dengan kulit kami, menikmati kibasan angin pantai yang bertiup, mendengarkan deburan ombak yang bergemuruh samar.
"Habis ini mau kemana?' Tanyanya padaku.
"No idea"
"Makan dulu ya sebelum kamu balik ke hotel" katanya, aku mengangguk.
Hari di Bali yang paling damai yang pernah aku rasakan, tak ada keramaian, hanya ada kami berudua dan sepenuh rasa ketertarikanku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Historia CortaMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...