First Warning

27 1 0
                                    

Aku pulang ke rumah orang tuaku, membawa oleh-oleh dari Jepang. Sebetulnya aku ingin langsung ke rumah sepulang dari Jepang itu, tapi rasanya badanku remuk apalagi membayangkan besoknya--yaitu hari kemarin aku harus dijemput pagi buta untuk bekerja.

Tak sanggup hamba udara ini menjalani jadwal Medan 4 landing mematikan.

Aku membawa banyak makanan, gak biasanya, karena aku bisanya cuma punya waktu sedikit untuk bisa jalan-jalan kalau lagi konteks bekerja. Tapi kemarin aku puas, lima hari penuh dihabiskan untuk berlibur. Jadi aku bisa banyak beli barang untuk orang rumah.

Ibu dan Uta sibuk membongkar isi kantong yang kubawa, mereka juga langsung mencicipi makanan yang kubawa. Mereka girang dengan oleh-oleh yang bejibun itu.

"Kak, waktu itu orang-orang diwarung ribut ngomongin lu" kata Uta saat kami berdua ditinggal ibu memasak.

"Lah, emang gue kenapa?"

"Elo kan viral masuk tv pacaran sama artis"

Aku sudah lama gak menonton tv, jelas aku bingung, dari mana mereka tahu berita itu, apa iya sampai masuk tv segala?

"Ada muka lo juga kan, di IGnya Marvin, lo beneran pacaran kak?"

Aku meneguk ludah "bapak sama ibu tahu gak?"

"Ibu tahu, bapak awalnya gak tau, tapi karena banyak yang nanya, ya jadi tau. Emang ibu gak ada nanya apa-apa sama elo?"

aku menggeleng.

"Oh gue lupa, gue chat lo aja di kacungin, pasti lo juga gak jawab kan waktu ibu nanya" sambar Uta lagi.

"Gue lupa, lo kan tau, gue jarang pegang hape kalau lagi kerja, kayanya ke skip deh. Terus gimana?"

"Ya lo heboh aja di omongin tetangga, katanya wah hebat sekarang ibu anaknya pacaran sama artis, gitu katanya"

"Gue cuma berteman ko, ya biasalah netizen suka heboh duluan, lo bilang aja sama ibu dan bapak begitu, gue gak pacaran"

"Apaan? Orang di tv ngomongnya begitu, katanya lo udah dikenalin juga sama nyokapnya"

"Buset, lu nonton apaan sih? Emang ada beritanya?"

"Ada kak, coba lo buka deh di youtube"

Aku garuk-garuk kepala, sepertinya Uta sudah mengantikan posisiku untuk menjadi teman nonton acara gosip dengan Ibu di rumah.

Gak lama, bapak pulang, kami berbincang, bapak menanyai pekerjaanku di sela makan bersama, dia juga menanyai keadaan Tami, karena bapak dan ibu sudah cukup kenal dekat dengan Tami.

"Tik, bapak mau bicara"

Entah angin apa yang berhembus, tapi perasaanku gak enak. Bapak kalau nadanya sudah seperti itu, pasti ada hal krusial yang akan dibicarakan.

Aku yang sedang sibuk membereskan bekas makan kami sekeluarga kemudian diam seketika, pias, seperti tikus yang habis kena perangkap racun, dan racunnya baru bekerja detik itu juga.

Uta langsung mengambil alih piring kotor yang asalnya ku pegang, dan langsung neloyor membawanya ke dapur. Sepertinya ia tahu apa yang akan dibicarakan bapak.

"Kamu pacaran sama Marvin?"

Bapak dari mana tahu nama Marvin? Ah pasti dari berita heboh yang Uta ceritakan siang tadi. Tapi bapak bisa sampai hapal nama itu, pasti ia sudah menunggu lama momen ini.

Aku terbata, seperti bidak catur yang ditodong pedang panjang oleh raja, skakmat. "Enggak, cuma temenan aja, ya biasalah pak, kalau berteman sama artis, suka langsung digosipin sana sini"

"Tapi katanya kamu sudah lama pacarannya?"

"Nggak pak, orang kita cuma berteman aja, ya gak sengaja juga, tapi ya namanya berteman, kadang lagi gak sengaja ketemu dimana, ada yang foto, jalannya ramean, yang difoto cuma keliatan berdua aja, terus digosipin"

"Jangan ya" suara bapak tegas, lugas, gak bisa dibantah.

Nyaliku benar-benar ciut, mulutku seperti dikunci untuk berkata jujur. Aku tahu dari awal, aku dan Marvin gak akan bisa bersatu. Aku cuma sadar diri, aku gak mau melibatkan perasaan bapak dan ibu untuk hal ini. Kalaupun harus sakit dan bersedih, biar aku saja yang tanggung.

Bapak itu jarang marah, tapi sekalinya nada serius keluar begini, senior palinhmg galak sekalipun masih mampu aku jabani daripada situasi mencekam ini. Horor.

Aku menghela napas, berusaha untuk tenang, dan gak terpancing perasaan.

"Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik, jangan sama Marvin. Dia kan non muslim, kalau agama sudah beda, keyakinan juga berbeda, sudah pasti gak akan bisa bersatu, kalau sudah terlanjur melibatkan perasaan nanti makin berat untuk pisah. Malah akan menyakiti diri sendiri"

Iya pak, aku tahu. Dari awal juga aku tahu. Maaf aku berbohong, karena bapak gak perlu tahu disaat waktu perpisahan yang dibilang menyakitkan itu terjadi.

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang