Akhirnya aku memutuskan untuk pergi merayakan tahun baru dengan Tami dan Tiara. Karena mas Deva sudah mutlak tidak mengajakku karena ada acara keluarga, katanya.
Daripada aku meratapi nasib percitaanku yang mandek dengan mas Deva, lebih baik aku hangout bareng temanku. Tiara bersama pacarnya, dan pacarnya itu juga bawa dua teman laki-laki. Kemudian Tami juga bawa dua orang teman perempuan.
Kami sampai di kafe di daerah Jakarta jam sepuluh malam, Tiara sudah bersama pacarnya disana. Dan aku berangkat dengan Tami. Setengah jam kemudian, dua temannya Tami datang. Meja kami jadi ramai.
Ternyata salah satu teman dari Tami ini pemain sinetron, memang baru sih, tapi sebagai penikmat sinetron dan FTV garis keras, aku tahu dia. Joanna Denadya.
"Mi, gimana jadi pramugari? Kok belum terbang sih?"
"Tiga bulan lagi Jo"
"Asik ya jadi pramugari kerjaannya jalan-jalan doang"
"Ah elo belum tahu aja perjuangan kita kaya apa"
Iya sih, kadang orang hanya melihat enaknya saja, mereka gak pernah tahu apa yang akan kita hadapi nanti selama bekerja, entah masalah darurat selama penerbangan, atau masalah dengan senior keji, atau mungkin masalah dengan perasaan yang belum kelihatan hilalnya seperti sekarang.
Duh, paling sensitif memang kalau urusan hati. Aku dengan mas Deva sudah sering komunikasi, kami juga bukan sekali-dua kali gadang karena keasyikan ngobrol, dia juga sering bawa oleh-oleh makanan untuk aku, tapi hubungan kami begini-begini saja.
Kadang aku kangen dia, misalnya kalau malam belum bisa tidur, aku suka kepikiran dia, tapi mau chat duluan gengsi. Lagian kayaknya gak etis juga kalau perempuan chatting duluan. Itu prinsipku.
"Lo anak Jakarta mana Tik?" Salah satu teman dari pacarnya Tiara bertanya.
"Gue Cibubur"
"Sebelah mananya? Dulu gue di Raffles, tapi sekarang udah pindah. Macet banget jalan kesitu, parah"
"Iya disitu jangan ditanya lagi apalagi jam balik kantor. Gue di Belakang Jambore"
"Terus sekarang lo ngekost?"
"Iya, di deket tempat training"
"Dari tadi liatin handphone mulu, gue boleh minta nomer lu nggak?" Dia beralih mengarahkan pandangannya ke ponsellu yang dari tadi ku buka tutup kunci sandinya.
"Iya, cowok gue nggak ada kabar"
"Oh, elo udah ada cowok?"
Aku mengangguk bangga. Padahal masih calon.
"Cowok lo lagi sama cewek lain kali, makanya nggak balas"
Sialan memang si gempal ini, bukannya mundur, malah bikin rusuh.
"Nggaklah, dia lagi ada acara keluarga"
Si gempal yang aku gak ingat namanya pas kenalan ini hanya mengangkat alis. Gayanya sok oke mentang-mentang jam tangannya merek Seven Friday.
"Ya udah, minta nomer lo doang nggak apa-apa kan? Gue juga gak bakal ngapa-ngapain"
"Sebagai perempuan yang setia, gue menolak hal itu" Aku tersenyum bangga, serasa mas Deva sudah jadi milikku. Asal si gempal ini tahu, kalau calon pacarku itu pilot. Jam tangan Seven Friday ditangannya itu nggak ada apa-apanya kalau bersanding dengan mas Deva.
"Lo lucu deh, gue gemes. Kalau bukan cewek orang, udah gue bawa angkut pulang"
Emang edan laki-laki ini, gak bisa pakai bahasa halus untuk di usir. Aku cuma pasang wajah datar.
"Kalau lo udah putus sama cowok lo, kabarin gue ya"
Gak habis pikir sama orang ini, setelah bicara begitu dia ketawa-ketawa lagi sama yang lain. Walaupun masih curi-curi pandang ke arahku. Aku masih menghargai Tiara sebagai temanku saja, kalau enggak, sudah aku keplak kepala si gempal.
Aku jadi semakin rindu mas Deva, setelah dapat godaan gila dari si gempal, aku jadi ingat dengan tingkah si mustang waktu itu. Dan aku masih ingat juga saat mengadu ke mas Deva. Aku jadi semakin ingin dia disini, malam ini.
Aku membuka ponsel dan mengetik pesan untuknya.Mas, aku kangen.
Kemudian aku hapus lagi. Aku sudah gila sepertinya. Malam ini aku benar-benar merasakan rindu ke mas Deva sudah berada di puncak ubun-ubun. Aku ingin tahu, dia sedang apa? Gimana acara keluarganya? Apa dia memikirkan aku juga saat ini? Seperti aku yang nggak berhenti memikirkan dia saat aku tiba disini.
10..9..8..7..6..5..4..3..2..1..
Terompet ditiup, semua orang berteriak "Happy New Year". Kembang api bertebaran dilangit gelap. Saling bersahutan menghiasi langit malam yang pekat dengan keindahan warna-warni api yang menyala.
Semua orang tertawa, semua orang berbahagia, semua orang bersorak, mungkin hanya aku merasa hampa. Aku rindu orang itu, aku rindu Deva Erlangga. Bayangan pertama kali pertemuan itu tersbesit dalam ingatan, bagaimana dia berjalan dan kemudian tersenyum. Ternyata perasaan ini semakin hari semakin dalam.
Aku membuka ponselku lagi, kali ini aku nggak butuh pesan singkat, aku butuh mendengar suaranya, mungkin suaranya bisa menghancurkan keheningan hatiku.
Aku menekan tombol memanggil, menunggu ponselku terus berdering untuk tersambung, hingga akhirnya panggilan itu terhenti karena tidak diangkat oleh si pemilik nomer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...