Setelah menikmati indahnya tanaman hias dan bunga-bunga yang cantik di Gardens by the Bay, kami memilih makan di kafe di sekitar area itu. Dan setelah kami menyantap habis makanan untuk memenuhi kebutuhan asupan untuk mengisi ulang energi, kami berjalan kaki menuju skybridge yang menyala dengan lampu warna-warni indah diantara gelapnya langit malam Singapura.
"Aku suka sama kamu Tik"
Sumpah jantungku mau copot, Marvin ini tanpa babibu, tanpa basa-basi, tapi kalimatnya tegas sekaligus tenang membuatku keleyengan. Aku gak mau terlalu ge-er, karena kata-kata Marvin barusan masih kuanggap kalimat perumpamaan saja. Dia suka sama aku belum tentu ada niat pacaran. Mungkin, walaupun hatiku juga ngarep. Banget malah.
Aku cuma senyum, "oke" sambil menatap matanya.
"Kalau kita pacaran mau gak?"
Aku menggaruk rambutku yang gak gatal, aku merasa canggung, seperti anak SMP yang baru pertama kali ditembak cowok. Sambil menggigiti bibirku karena malu.
"Aku boleh tau gak? Kenapa kamu suka sama aku?"
"Kamu itu beda sama kebanyakan cewek, kalau cewek lain mereka lebih suka show off hubungan, belum apa-apa udah pamer, padahal masih teman biasa aja udah heboh duluan. Kalau kamu malah kebalikan, aku ngajak jalan di Jakarta aja gak mau, karena kamu gak mau kita digosipin"
"Ooh" jawabku angguk-angguk. "Udah itu aja?" Sambungku.
"Banyak sih, aku nyaman ngobrol sama kamu, aku ngerasa tiap kita bahas sesuatu jadi terasa menyenangkan aja. Mungkin karena latar belakang pekerjaan kita yang beda ya salah satunya, jadi memberi warna lain, obrolan jadi gak jenuh, banyak hal baru juga yang aku tahu dari kamu, dan aku juga sering kangen sama kamu kalau chatku cuma centang satu"
Aku hanya tertawa mendengar kalimat terakhir yang Marvin ucapkan, sekaligus gerogi. Durasi hubungan kami bisa dibilang singkat, tapi benar kata Marvin, aku juga merasa nyaman saat menghabiskan waktu bersamanya, untuk ngobrol sesuatu yang baru, semuanya sukses membuatku ketagihan.
Aku cuma senyum-senyum mesem, bingung juga mau bilang apa. Iya Vin, aku mau banget pacaran sama kamu. Bahkan dari dulu, saat kamu gak sadar sama aku yang kepincut waktu kita satu lift beberapa tahun lalu. Aku cuma mengubur kalimat itu sampai tenggelam dalam hati. Jati diri sebagai cewek sok jual mahalku tetap mendominasi.
Marvin meraih tanganku, sambil menatapku dengan senyum. Senyum yang paling manis yang gak pernah aku lihat sebelumnya selama aku bertemu Marvin, maksudnya aku pernah melihat senyumnya yang seperti ini di tv, tapi kali ini aku bisa langsung melihat tatapan tajam sekaligus senyum manisnya tanpa terhalang layar kaca. Dan senyum itu ditujukan langsung padaku, bukan pada lawan mainnya di film atau sinetron, dan bukan karena tuntutan sekrenario, tapi dari hatinya yang tulus itu bisa kurasakan.
Aku masih diam membatu. Ah, aku sebal dengan kelemahanku saat menghadapi laki-laki seperti Marvin ini memintaku masuk ke dalam hidupnya.
"iya Vin, boleh" Najis banget! Dari sekian kalimat romantis yang diucapkan Marvin dari tadi, aku malah gak bisa merangkai kata untuk menjawabnya dengan kalimat puitis. Dan apa tadi aku bilang? Boleh? Memangnya Marvin izin pamit ke toilet terus pinjam duit buat bayar wc umum? Rasanya aku pengen kursus bahasa gombal lewat twitter.
Aku yang dari awal sudah gelagapan memang langsung ciut saat Marvin mengungkapkan perasaannya padaku. Aku makin kehabisan kalimat saat dia juga menatapku dengan senyumnya yang manis melebihi gula batu. Dan cuma berharap Marvin bisa paham dengan ucapanku yang mengandung banyak unsur eksplisit itu.
"Jadi, kita pacaran nih?" katanya, dengan wajah sedikit kebingungan.
Ya elah Vin, masih aja dibahas. Gue udah malu banget ini woy tolong. Batinku menjerit.
Aku anggukkan kepalaku sambil mengangkat kedua alisku, biar terkesan santai sekaligus menghilangkan raut gerogiku yang kalau kepergok wajahku berantakan seperti kandang ayam.
"makasih ya" katanya, sambil menyentuh helaian rambutku. Dia berdiri menghadapku, tubuhnya yang tinggi membuatnya sedikit menunduk menatapku. Belaiannya kini berpindah pada pipiku, mengusap lalu turun sampai dagu, ia mengusap wajahku lembut.
Hatiku terus saja bergemuruh, seperti ada badai di dalam sana, karena meskipun suasana sekitar nyatanya sepi, aku merasakan keramaian yang luar biasa dalam diriku. dag-dig-dug-brat-bret-brot-jor. Ramai sekali.
Aku sepertinya gak akan sanggup menghadapi kejadian selanjutnya. Apakah pembuat sekrenario menuliskan adegan ciuman? Apakah sutradara meminta kami berciuman? Dan akankah ciuman kami nanti memuaskan penonton? Aku seperti sedang berakting, memainkan film romantis yang akan menyabet piala FFI.
Aku menutup mataku saat Marvin semakin mendekatkan dirinya padaku. Aku sudah siap dengan segala yang akan terjadi, meski jantungku gak akan sanggup menahan gempuran gejolak perasaan, tapi aku siap.
Aku merasakan tangannya menyentuh penggungku dan menariknya agar lebih dekat. Dan pipiku yang tadi disentuh oleh tangannya yang lembut kini bersandar pada bahu tegapnya. Ia memelukku hangat. Dan saat aku membuka mata, aku berada dalam peluknya. Anying!
Dibawah langit Singapura dan lampu ragam warna dari OCBC skyway, tempat yang menjadi saksi salah satu kejadian romantis dalam hidupku. Kini kami resmi berpacaran. Walaupun aku juga sedikit hawatir dengan hubungan kami, apalagi latar kehidupan Marvin yang jauh dengan latar kehidupanku. Apakah kami akan berhasil?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Short StoryMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...