Flight Training 2

34 3 1
                                    

Hari ini aku menjalankan schedule tiga hari, menginap di Bandung dan Banjarmasin. Setelah melakukan briefing sebelum penerbangan, kami kemudian menuju pesawat.  Briefing biasanya membahas tentang job desk, dan juga mengingat kembali tindakan yang harus dilakukan jika ada keadaan darurat selama penerbangan.

Lokasi crew centre berada di dalam bandara, lalu kami satu set crew yang terdiri dari captain, first officer/co-pilot (FO), dan cabin crew pergi menuju pesawat yang akan digunakan.

Kami berjalan beriringan, FO hari ini cakep juga. Namanya Adrian. Dia gak banyak bicara, gak genit atau tebar pesona, senyumnya irit, tapi nancap ke hati.

Memang aku akui, sebagai orang awam di dunia penerbangan, aku cukup kicep tiap lihat co-pilot berseliweran. Dengan seragam putih, pangkat di bahu, apa lagi kalau sudah pakai topi khas pilot. Melihatnya saja seperti menambah kadar ketampanan 50 persen dari ukuran normal ketampanan aslinya.

Dan mas Adrian ini, begitu pendiam, membuat aku semakin penasaran. Dia berjalan di depanku, bisa aku lihat senyumnya sekilas dari samping saat ia berbincang dengan kapten hari ini.

Cara tangannya menggenggam pegangan koper saja sampai ku perhatikan, bagaimana bentuk jari-jari tangannya, merek jam tangannya, gantungan di kopernya, cara berjalannya, semuanya aku perhatikan diam-diam.

"Korek api boleh dibawa gak ke dalam kabin? Kartika?"

Tiba-tiba aku disadarkan dengan pertanyaan dari penguji. Memang gila otakku, saat seperti ini masih saja memikirkan hal remeh-temeh.

"Gak boleh pak"

"Kenapa gak boleh?"

"Karena nanti saat di kabin, akan terjadi perbedaan tekanan udara, sehingga bisa menyebabkan tekanan terhadap fuel yang terkandung di dalamnya, dan bisa menyebabkan kebakaran"

Kami masih berjalan menuju pesawat, karena lokasi parkir pesawat yang lumayan jauh di ujung gate terminal. Butuh waktu berjalan sampai 15 menut untuk sampai pesawat.

"Emang korek bisa tiba-tiba terbakar kalau gak di gesek?"

Aku bepikir sebentar, "Gak bisa pak"

"Terus kenapa gak boleh masuk kabin?"

"Oh iya, boleh pak"

"Katanya tadi gak boleh? Yang mana nih? Jawabnya kok gak firm gitu?"

"Siap, salah pak" aku terbata-bata.

"Jadi boleh apa nggak?"

"Boleh pak, maksudnya yang gak boleh itu korek jenis lighter fuel"

"Pertanyaan saya tadi apa?"

"Korek api pak"

"Terus kenapa kamu jawabnya ngasal? Dipikir dulu mbak sebelum jawab. Jangan asal bunyi"

M-A-T-I, cari duit banyak begini amat ya? Aku hanya diam, masih syok dengan pertanyaan pertama yang begitu tiba-tiba.

"Pertama kali yang dilakukan saat masuk ngapain Gea?"

"Equipment check pak" jawab Gea mantap dan tepat.

"Sebelum itu?"

Gea nampak berpikir keras, apalagi yang di lakukan saat masuk pesawat selain mengecek alat-alat keselamatan yang ada di dalam pesawat, mengecek kondisi semua alat apakah berada sesuai tepatnya, mengecek kondisinya, juga tanggal kadaluarsanya.

"Kartika, sebelum equipment check apa dulu?"

"Ucap salam pak?" Jawabku ragu.

"Ngapain ngucap salam? Emang kamu masuk rumah kosong?"

Aku dan Gea buntu, tidak tahu harus jawab apa. "Terus koper kalian gimana kalau pas masuk pesawat langsung cek equipment? Dibiarin aja menghalangi jalan?" Sambung pak Hermes.

"Oh, naikkan ke bagasi pak"

"Bagasi apa namanya Gea?" Jawabnya ngotot.

"Overhead compartment pak"

"Iya gitu, jangan bagasi-bagasi, dikira mobil? Kan ada namanya, jawab yang lengkap"

Aku dan Gea angguk-angguk seperti dua anak kucing yang sedang digong-gong bapak anjing. Sementara kru aktif yang sedang bersiap hanya pura-pura tidak memperhatikan, mungkin mereka kasihan pada kami berdua.

Untungnya, kru kabin hari ini baik. Kalau seperti kru kemarin, aku gak tahu lagi deh harus bagaimana menjalani 3 hari kedepan.

"Terus apa lagi habis simpan koper?"

"Ganti heels dengan sandal serving, kemudian melakukan equipment check"

"Nah begitu urutannya. Diingat. Sekarang lakukan yang kalian sebutkan barusan"

***

"Kalian mau duduk disini atau mau serving?"
Tanya pak Hermes pada kami setelah pesawat sudah berada diketinggian 10.000 feet.

Pilihan yang sulit, kalau serving memang bisa terbebas dari pertanyaan pak Hermes, tapi kalau aku pilih serving juga belum tentu pilihan yang menyenangkan, mengingat kemarin aku masih trauma karena menjatuhkan makanan ditengah kabin yang langsung kena bentak senior galak.

"Serving pak" jawab Gea mantap, aku tahu dia sedang menghindari pertanyaan pak Hermes yang mengejutkan jantung itu.

"Ya sudah, berarti Kartika yang pertama saya tanya-tanya ya" Aku pasrah. Keduanya juga pilihan bunuh diri.

"Ikut saya Tika" kemudian pak Hermes membawaku ke ruang kokpit. Waduh.
"Permisi capt, izin masuk ya"

Kami berada di dalam kokpit yang sempit, pertama kali aku melihat laju pesawat dari depan, langit biru begitu indah dengan tebaran gumpalan awan putih. Yang menambah indah pemandangan mataku saat itu juga ada Adrian di sisi kanan kemudi pesawat. Dia fokus mendengarkan arahan ATC dan sibuk mencatat angka-angka di selembar kertas.

Oh Tuhan, makhluk paling seksi ini menggoda imanku.

"Kamu tahu cara mengoperasikan kursi pilot?"

Aku jadi ingat Tami, ini salah satu materi yang paling kami hapal diluar kepala. Waktu penjabaran materi ini, kami sudah membayangkan bagaimana saat ada pilot yang pingsan, pramugari bertugas untuk menangani.

"Tahu pak"

"Coba kalu misalnya FO collaps, awak kabin harus apa?"

"Di peragakan pak?" Sumpah aku deg-degan parah. Karena adegan ini cukup intimate, akan ada adegan dimana aku mendekatkan diri, mendekat ke arah dada, menyentuh bagian tubuh, dan aku gak bisa membayangkan mempraktikannya dengan Adrian.

"Gak usah, kamu sebutkan saja langkah-langkahnya"

"Oh baik pak"

Dan hayalan itu pun sirna seketika. Aku menjelaskan dengan mantap tanpa terbata, semua langkah dari awal sampai akhir dalam menangani pilot yang pingsan sampai pak Hermes tidak mengembangkan lagi pertanyaannya. Dia sangat puas dengan jawabanku.

"Kalau tali untuk penyelamayan darurat untuk kokpit lokasinya dimana?"

"Di situ pak" aku menunjuk bagian atas jendela kokpit.

"Panjangnya berapa?"

Aduh aku lupa, aku benar-benar tidak bisa ingat berapa panjangnya. "8 meter pak" jawabku asal tebak.

"Kamu mau saya pulangin ke training centre? Coba pikir dulu"

Untung saja kru yang aktif mengetuk izin masuk untuk memberi minuman untuk kapten. Aku ada kesempatan untuk berpikir lebih lama.

"20 meter mbak" tiba-tiba Adrian berbisik, dia juga menoleh kepadaku, tanpa senyum, suaranya pelan.

"Jadi berapa Tika?"

"20 meter pak"

"Nah gitu dong, ya sudah, pertanyaannya cukup, kita balik ke belakang"

Astaga, aku hampir merusak ikrarku sendiri tempo hari untuk tidak mau berurusan dengan pilot lagi. Adrian, adalah godaanku tiga hari kedepan.

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang