Vakansi 1

30 3 0
                                    

Aku sudah bersiap dengan ranselku, gak banyak yang ku bawa. Cuma air mineral satu setengah liter dalam tumblr, satu baju ganti, dan beberapa makanan ringan. Aku sendiri memakai pakaian lari dengan jaket bahan jersey, running shoes, dan topi hitam.

Marvin mengajakku hiking di daerah Sentul Bogor bersama beberapa temannya. Sudah ku bilang kalau aku bukan anak pecinta alam yang gemar mendaki gunung lewati lembah dengan sungai mengalir indah ke samudera. Apalagi pengalaman sebelumnya juga nihil, aku mungkin cuma akan merepotkannya saja.

Tapi Marvin bilang, "itu cuma bukit, bukan gunung tinggi yang terjal. Paling nanjak sedikit aja, disana juga ada air terjun, katanya bagus. Ikut ya?  Kapan lagi liburnya barengan" dengan suaranya yang manis manja seperti nama grup duo dangdut.

Seperti biasa, kalau Marvin yang minta aku pasti luluh juga. Marvin seperti segerombol serbuk perontok noda paling ampuh yang bisa menghilangkan kerak membandel, bisa juga meruntuhkan kokohnya ketidakmauanku.

Marvin sudah menunggu di lobi apartemenku, dia pakai jaket dan celana olahraga diatas lutut, dengan kaos oversize dan topi safari warna armi, juga sepasang sepatu olah raga. Dia selalu tersenyum saat melihatku, senyumnya yang manis dengan bibir kemerahan alami, wajah bersih dan kulit putihnya, belum lagi posturnya tinggi selalu sukses mencari perhatian setiap orang yang melihatnya, termasuk aku.

"Udah gak ada lagi yang ketinggalan?"

Aku mengangguk memberi isyarat atas pertanyaannya. Lalu kami menuju tempat meeting point di daerah sentul untuk bertemu beberapa temannya Marvin. Sekitar enam orang yang akan hiking bersama, dan semuanya laki-laki.

Kami bertemu disebuat rumah makan sederhana, sarapan bersama untuk mengumpulkan energi. Setelah itu kami naik mobil pickup yang disewa menuju sebuah desa dengan jalanan bebatuan yang mendaki.

Selama perjalanan para bujang ini gak berhenti saling melempar ejekan, kami tertawa bersama saat salah satu dari mereka memparodikan kampanye politik.

"colok colok Andri,  colok colok Jamil" itu katanya. Mereka adalah teman motoran Marvin, ada juga yang teman usaha bersama apparel, semacam kaos clothingan gitu.

Kami tiba di muka jalan, sebuah perkampungan dengan jalan berbatu dari tanah merah. Perjalanan kami pun dimulai. Kami terus mengikuti jalan yang awalnya cukup besar hingga semakin dalam semakin mengecil dan jalan menjadi setapak.

Di sebelah kiri adalah pohon-pohon besar sementara disisi kanan tebing lepas yang membuat kami bisa melihat bukit lain lebih dekat. Benar yang dibilang Marvin, jalanannya gak terjal, kami hanya seperti sedang memasuki area perkebunan liar dengan pohon besar. Dan pohon itulah yang membuat jalanan teduh.

Marvin berjalan dibelakangku, dan selalu memastikan apakah aku baik-baik saja, apakah aku kelelahan. Bahkan ranselku pun dia yang bawa.

"Baby, capek gak? Mau aku gendong gak?" Marvin ini memang bucin, jago gombal, jago bikin hidungku kembang kempis, dia lelaki yang romantis walau kadang idenya sering ngaco.

"Ya kali gini doang minta gendong"

"Kalau capek bilang ya"

"Aku tuh pernah jungle survival, lebih gila dari ini. Jadi aku gini-gini juga tangguh" kataku bangga.

Kami terus menyusuri jalan, sekitar 30 menit, lalu jalanan menjadi banyak tanjakan. Marvin menopang tubuhku dari belakang biar gak terjatuh. Sesekali juga dia jalan di depanku untuk membantuku menaiki tanjakan karena kaki jompoku mulai melemah.

Hampir 40 menit sampai akhirnya kami beristirahat disebuah warung penduduk, warung sederhana yang dibuat dari kayu. Dagangan yang dijajakan cuma pisang goreng, tahu goreng dan bakwan sayur, beberapa snack dan kopi instan siap seduh.

Kami beristirahat sejenak untuk mengeringkan keringat yang mulai keluar di tubuh kami. Marvin mengambil satu pisang goreng. Si ibu penjaga warung masih sibuk menggoreng bahan dagangannya sambil sesekali mengaduk kopi yang dibeli oleh rombonganku. Gak ada orang lain selain kami, karena areanya masih belum banyak diketahui banyak otang.

Aku duduk disebelah Marvin sambil meneguk air mineral dalam botol yang kubawa.

"Aku banyak fotoin kamu" Marvin menyodorkan ponselnya padaku. Aku meraihnya.

"Apaan itu foto pantat doang"

"Kan kamu gak mau dikenalin orang,  aku sengaja foto dari belakang, soalnya mau aku posting"

"Yang bagusan dong, at least anglenya gitu loh. Yaudah entar kalau ada spot yang bagus foto lebih proper ya"

"Kamu capek gak?"

"Lumayan tadi pas tanjakan doang, tapi seru sih. Mata jadi adem aja gitu ya liat yang ijo-ijo"

"Kamu sih, aku gendong gak mau"

"Ya kali"

"Kalau dicium mau?" wajah Marvin mendekat padaku dengan senyum nakal. Aku langsung memukul bahunya pelan karena takut ucapannya terdengar si ibu warung.

"Astagfurullah,  hush" aku salah tingkah.

"Biarinlah, ibunya juga pernah muda,  ya kan bu?" si ibu warung cuma tersenyum terpaksa.

"Udah yuk lanjut lagi" aku segera mengalihkan isu, takutnya kalau dibiarkan kami malah di grebek warga nanti.

Air terjun yang kami tuju gak jauh lagi katanya. Mungkin sekitar 500 meter lagi sampai, kalau jaraknya dari warung peristirahatan.

Jalanan kembali menanjak, namun alam semakin menunjukkan keindahan. Posisi kami sudah di atas, pemandangan semakin indah dari ketinggian. Dari ujung yang curam,tergambar jelas lembah hijau yang asri. Aku berdiri sebentar untuk mengamati keindahan di depan mata.

"Nah disini spot foto yang bagus. Kamu fotonya sekarang" Aku berdiri di ujung tebing bersiap untuk berfoto.

Marvin berjalan ke arahku dan langsung mendaratkan ciuman kilat dibibirku. Aku terhenyak dan salah tingkah.

"Vin, nanti ada yang lihat gimana?" aku segera menghindar dari jangkauannya.

"Santai aja, gak ada yang lihat"

Dan ia kembali menciumku ditempat yang sama, dengan singkat, namun mesra. Tetap bisa kurasakan lembut bibirnya meski sebentar.

Dia; Marvin, adalah manusia paling spontan yang pernah ku kenal. Penuh kejutan dan banyak mengejutkan. Dari mulai mengajakku berkenalan, mengajakku jalan, memintaku berpacaran, sampai sekarang kami berciuman.

Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang