Aku berjalan ketar-ketir setengah berlari.
Napasku gak beraturan ditambah detak jantungku juga yang ikutan rusuh. Antara takut dimarahi karena telat, tapi kesal juga saat schedule diganti seenak jidat tanpa pemberitahuan.
Untung aku ide untuk cek jam 3 pagi tadi, kalau enggak, sudah siap dapat panggilan cinta dari kantor!
Revise schedule dadakan yang baru saja aku buka notifnya dini hari itu membuatku telat.
Semua kru sudah meninggalkanku ke pesawat, aku gak ikut briefing, semoga gak apes.
Aku masuk ke pesawat yang parkirnya super jauh di ujung gate. Belum juga kerja aku sudah mandi keringat.
Aku menyalami semua kru, dan minta maaf atas keterlambatanku dengan alibi revisi jadwal dadakan. Padahal aku saja yang telat buka notifikasi.
Untungnya cabin oneku maklum, aku selamat dari gonggongan pagi.
Aku menuju bagian belakang pesawat, tempat aku menaruh koper dan area kerjaku. Melakukan hal standar sebelum penerbangan.
Pintu toilet pesawat terbuka, aku kira di dalamnya kosong.
Wajahku langsung membatu saat yang aku lihat di depanku adalah Rossa.
"Eh mbak, apa kabar?" Dia yang tanya aku duluan, mungkin karena aku malah sibuk bengong. Junior laknat.
"Ya ampun mbak, baik, mbak apa kabar?" Kataku, akhirnya sadar.
"Baik, di revise ya?" Tanyanya ramah.
"Iya mbak, makanya aku telat"
Mbak Rossa memang baik, dari awal pertemuanku beberapa tahun lalu juga baik. Mungkin karena dia gak tahu saja kalau aku pernah-sempat-naksir-pacarnya, Deva.
Eh, dia apa kabar ya?
Aku sempat penasaran, apakah mbak Rossa masih pacaran dengan Deva? Tapi aku mau tanya juga malu, nanti ketahuan kepo.
Tapi seakan takdir mempermainkanku dan bersekongkol dengan kondisi. Aku sekamar dengan mbak Rossa.
Ya aku sih gak masalah, toh dia baik.
Kami menginap di Semarang, bahkan nanti sore dia mengajakku ke Kota Tua untuk makan malam sambil jalan-jalan. Ya aku sih mau aja.
Kami tiba di hotel saat masih siang, karena tadi kami sudah mengudara dari subuh. Masih punya banyak waktu untuk bermalas-malasan.
Aku selesai mandi, dan segera duduk di kasurku sambil mengirim pesan pada Marvin.
Ternyata mbak Rossa sedang teleponan. Aku jadi mau tahu. Deva bukan?
Ih ngapain sih? Fokus, sama Marvin!
"Iya.. oh gitu.. eh yang, aku sekamar sama mbak Tika loh" mbak Rossa melirik sedikit ke arahku. Tapi sambil senyum.
Aku jadi tahu kalau orang diujung telepon sana adalah Deva. Astaga! Berasa de javu.
"Ih.. itu loh mbak Kartika.. masa lupa?"
Hah gimana maksudnya? Deva gak ingat aku? Wah!
" ...Itu... yang dulu ngekost sebelah kamu waktu training yang..."
Dia benar-benar lupa gitu? Forreal? Jahat juga ya dia? Sementara aku dulu nangis-nangis buat lupain dia.
"Iya... ini aku sekamar... iya.. mbak Tika di revise.."
Aku hanya tersenyum, malas mendengar. Bodo amat.
Ini mana lagi Marvin? Aku lagi butuh pengalihan, dia malah ngilang gak balas chatku.
Ternyata teleponannya sudah berakhir. Aku gak bermaksud menguping, tapi aku berusaha basa-basi saja. Niatnya sih gitu.
"Mbak awet ya sama mas Deva" kataku, entah basa-basi, entah kepo.
"Iya mbak, kami mau nikah"
Jleb. Eh kenapa hati ini gak santai?
"Oh ya ampun mbak, kapan mbak?" Kataku, sumringah. Maksudku, berusaha sumringah.
"Enam bulan lagi mbak" jawab mbak Rossa berbinar, dia kelihatan bahagia.
Iyalah. Siapa juga yang gak bahagia akan menikah dengan pacarnya? Emangnya aku? Duh kenapa sih nih jadi baper banget!
"Selamat ya mbak, semoga lancar terus" kataku yang kemudian aku tarik selimut dan memilih tidur, kemudian pura-pura lupa kalau aku janji dengan mbak Rossa untuk ke Kota tua.
Tolong paham! Aku sudah tidak mood.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Mugari Tengilwati (SELESAI)
Historia CortaMenurutmu apa itu pekerjaan? Sesuatu yang kau cintai? Atau sesuatu yang terpaksa kau jalani? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari, katanya; pramugari itu enak, bisa keliling dunia gratis, menginap di hotel mewah, gajinya besar, kehidupannya...