Semalam Langit bermimpi
Di dalam mimpi nya dia berada di tepian pantai, bahkan dia bisa merasakan hangatnya pasir putih di bawah kakinya yang tanpa alas. Kemudian dia melihat mama Intan dan Xavier dari kejauhan, Langit berteriak memanggil mereka tapi tak dihiraukan. Seakan keduanya tidak bisa mendengar suara Langit, perlahan mama dan Xavier semakin menjauh dan kaki Langit terasa berat lalu dia tersadar dari mimpi itu dan menyadari bahwa dia berada di dalam kamarnya di rumah mama Intan.
"Langit! Sarapan!"
Suara ketukan pintu bercampur dengan suara berat Xavier terdengar, Langit menyeka keringat di keningnya.
Kenap dia bisa bermimpi seperti itu? Kenapa perasaannya jadi tidak enak? Apa itu pertanda buruk?
"Langit?"
Lagi, suara Xavier memanggil.
"Iya, bang!" Langit turun dari tempat tidur menuju pintu. Xavier berdiri di depan pintu saat Langit membuka nya, sudah terlihat segar dengan rambut basah sehabis mandi.
"Melek dulu mata nya!" Xavier mengacak rambut Langit yang berantakan seperti sarang burung.
Sejujurnya, Langit belum terbiasa dengan perubahan sikap Xavier yang seperti ini. Sepertinya sudah terlalu lama Langit membiasakan diri berhadapan dengan sikap dingin Xavier, sekarang dia menerima perlakuan hangat dan penuh kasih sayang seperti ini rasanya bagaimana mimpi.
"Cuci muka dulu sana, Abang tunggu di bawah sama mama." Xavier menepuk bahu Langit sekilas lalu turun ke bawah.
Langit meregangkan badan sembari masuk ke dalam kamar mandi, weekend ini memang sengaja ia dan Xavier habiskan di rumah sebelum hari senin memasuki pekan ujian untuk Langit.
Setelah selesai membasuh wajah dan gosok gigi, Langit turun ke bawah untuk bergabung dengan Xavier dan mama di meja makan. Sudah ada nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan segelas susu.
"Pagi, ma." Langit menyapa mama Intan yang sedang menyendokan nasi goreng untuk Xavier.
"Pagi sayang, tidurnya nyenyak?" Tanya mama Intan sambil menyerahkan piring pada Xavier.
Langit diam sejenak, dia tidak mungkin menceritakan mimpi semalam pada mama dan kakaknya. "Nyenyak kok, ma." Akhirnya Langit menjawab sambil berusaha tersenyum, dia tidak mau menimbulkan kekhawatiran pada wajah mama yang terlihat bahagia.
Langit tidak pernah membayangkan bahwa mereka bertiga akan bisa duduk di meja makan seperti ini sambi berbincang, tidak ada lagi perang dingin, tidak ada lagi kebencian. Langit bisa melihat senyum bahagia di wajah mama, dia bisa mendengar tawa Xavier yang terlihat tulus.
Untuk sepersekian detik, Langit tiba-tiba ingin menangis.
Kebahagiaan yang sejak dulu dia inginkan akhirnya bisa dia rasakan juga, makan masakan mama, mengobrol santai dengan kakak nya. Bukankah hidup Langit terasa sempurna sekarang?
Tapi kenapa dia merasa... takut?
"Mikirin apa, ngit?"
Langit yang sejak tadi merenung di depan teras terkejut saat Xavier sudah berada di sampingnya. Entah sejak kapan, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Engga, bang. Ngga mikirin apa-apa." Langit berkilah.
Di sebelahnya, Xavier mengerutkan kening. Sejak pagi tadi dia sudah menyadari ada sesuatu yang sedang Langit pikirkan. Dia ingin lebih menyelami Langit, mengetahui bagaimana cara berpikir adiknya itu, menebus waktu yang terlewat saat dia masih belum sepenuhnya bisa menerima Langit.
"Dulu, abang sama papa sering main bola di halaman." Tiba-tiba Xavier bercerita.
"Abang bisa main bola?" Ada nada meragukan dari pertanyaan yang dilontarkan Langit.
"Engga sih." Xavier menggeleng sambil tertawa. "Dipaksa aja." Kemudian hening sejenak. "Papa orang yang baik, pekerja keras, juga tegas." Xavier mulai bercerita lagi. "Tapi mama selalu kesal kalau masak buat papa, soalnya papa makan nya pilih-pilih. Kayak kamu." Xavier melemparkan pandangan sejenak pada Langit.
"Abang masih benci papa?"
Xavier diam cukup lama, benci? Apa dia masih membenci papa?
Xavier menggeleng, "Papa mungkin bukan sosok ayah dan suami yang sempurna buat keluarga ini, tapi rasanya terlalu ngga adil kalau abang harus melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah papa lakuin. Semua orang juga pasti mau dikenang karena kebaikan nya."
"Gue juga mau dikenang karena kebaikan gue." Ceplos Langit.
Xavier tersenyum, tangannya terulur mengusap belakang kepala Langit. Kemudian sunyi, keduanya larut dalam pikiran masing-masing sembari memandangi semburat jingga hingga matahari terbenam, dan memutuskan masuk ke dalam karena kaki mereka digigit nyamuk.
-Special Chapter 01 End-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...