Cerita dari Garda

18.3K 2.8K 355
                                    

G a r d a

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

G a r d a

Jadi anak tengah itu nggak enak.

Gue selalu menyuarakan itu dalam hati, sejak dulu. Sejak mama bilang gue harus nurut sama bang Satya karena bang Satya kakak gue, dan harus mengalah pada Kala karena dia adik gue. 

Gue Garda Bagaskara, anak kedua dari bapak Prasetyo dan ibu Arora. Garda, dalam bahasa Jawa berarti Prajurit Pengawal.  Katanya, arti sebuah nama adalah sesuatu yang orang tua kita inginkan, sesuatu yang orang tua kita harapkan,  dan gue berusaha menerapkan arti nama itu dalam kehidupan gue sehari-hari. Mengawal keluarga besar Bagaskara agar selalu damai, dan tentram. Jauh dari masalah sebesar apapun badai yang keluarga kami hadapi.

Seperti badai yang datang pada keluarga kami tiga tahun lalu.  Ayah tiba-tiba meninggal karena serangan jantung selepas pulang dari bermain tenis dengan salah satu temannya, terlalu tiba-tiba. Keluarga kami seperti kehilangan satu pilar besar untuk menyangga rumah ini.  Ayah adalah seseorang yang gue jadikan panutan dalam hidup, gue banyak belajar tentang hidup dari beliau. Karena, meski kami berasal dari keluarga yang sangat berkecupun ayah selalu bilang, 

Jangan lupa berbagi sama mereka yang hidupnya nggak seberuntung kita, kita hidup berkecukupan untuk membantu mereka yang kekurangan.

Ayah menjadi donatur tetap di berbagai komunitas sosial, setiap tiga bulan sekali mengundang anak yatim dan jalanan ke kantor Bagaskara Group untuk acara makan-makan. Singkatnya, ayah itu memiliki jiwa sosial yang tinggi, hal itu gue rasa menurun pada Bang Satya dan Kala.  Lalu apa yang ayah turunkan dalam diri gue?  Gue selalu ngerasa kalau nggak ada sedikitpun sifat ayah yang menurun ke gue.  Gue selalu ngerasa kalau gue berbeda dengan bang Satya dan Kala.  Sejak kecil, gue lebih banyak tenggelam dalam buku-buku yang sering oma bawakan ke rumah.  Oma senang banget bawain gue buku kalau main ke rumah kami, sejak itu gue lebih tertarik sama buku dari pada sosial life. 

Saat bang Satya dan Kala sibuk menikmati hidup mereka, bermain bergaul, memiliki kawan banyak.  Yang gue punya hanya buku, orang tua, dua saudara gue, juga empat sepupu yang kadang sesekali berkumpul.  Gue orang yang tertutup, gue orang yang nggak gampang percaya sama orang lain.  Gue inget, beberapa bulan sebelum ayah pergi beliau ngajak gue ngobrol sambil minum kopi di teras.  Waktu itu gerimis, kami tenggelam dalam pembicaraan serius tentang politik juga bahasan berat lainnya. Hal yang paling gue kagumi tentang ayah, beliau selalu bisa menjabarkan obrolan serius dan berat dengan cara yang menyenangkan.

"Garda,  tahu nggak ayah seneng banget kalau lagi ngobrol berdua gini sama kamu."

Gue inget waktu itu ayah natap gue sambil menyeruput kopi hitam buatan mama. 

"Kenapa, yah?"

"Soalnya ayah bisa lihat kamu senyum kayak barusan."

Gue merasa tertohok, gue sadar kalau selama ini gue jarang ketawa. Bahkan, saat saudara-saudara gue yang lain ngetawain sesuatu yang menurut mereka lucu gue justru bingung dimana letak kelucuannya.

"Da,  jangan terlalu serius jadi orang. Hidup itu terlalu singkat kalau kamu habiskan dengan mengutup diri. Nanti pas kamu sadar, ternyata kamu udah ngelewatin banyak hal."

Saat itu gue menyadari ucapan ayah adalah benar, gue merasa sudah melewati banyak hal. Bahkan, saat gue mengirim jasad ayah ke dalam tempat peristirahatan terakhirnya, gue merasa sudah melewatkan banyak hal. Melewatkan banyak hal untuk membuat beliau bahagia, dan melihat senyum bahagia ayah. 

"Garda yang akan menggantikan posisi ayah di perusahaan."

Malam itu, tiga tahun lalu. Gue membuat keputusan yang sulit.  Bang Satya menolak posisi sebagai pengganti ayah di perusahaan, sementara oma menginginkan yang memegang tampuk kekuasaan Bagaskara Group haruslah sesuai silsilah yang tak lain adalah cucu dari anak sulungnya. Pilihannya, cuma bang Satya, gue atau Kala. 

Bang Satya sudah menolak, gue udah tahu. Bang Satya emang enggak pernah terlihat tertarik dengan perusahaan, sementara Kala...usianya masih sangat muda. Kuliah aja belum selesai, gue nggak bisa membiarkan adik gue mengemban tugas berat itu. 

Yah,  Garda anak ayah, kan? Gue bertanya dalam hati gue sendiri sebelum mengajukan diri menggantikan bang Satya yang sudah tegas menolak.

"Oma, Garda mungkin nggak sehebat ayah tapi Garda tetap anak ayah.  Meski nggak akan sesempurna ayah, tapi Garda akan berusaha untuk membuat perusahaan kita tetap stabil. Tolong percaya sama Garda."

Malam itu, gue tahu setelah ini hidup gue nggak akan sama lagi. Tapi gue udah bersiap untuk itu.

Gue, Garda Bagaskara. Direktur Utama Bagaskara Group.

Ayah,  doain Garda, ya. Supaya Garda bisa jadi pemimpin yang adil.

The Bagaskara's : Nebula ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang