"Untung lo nggak ikut-ikutan, Ngit."
Yang menjadi pokok pembahasan di meja makan justru tak menanggapi kata-kata Dylan barusan, malah asyik menggigit roti isi selai cokelatnya. Langit terlihat sama sekali tidak peduli dengan obrolan di meja makan pagi itu. Pun, dengan Xavi yang masih mengenakan kaos polos hitam dengan celana boxer salah satu klub sepak bola, lengkap dengan wajah baru bangun tidur serta rambut yang seperti sarang burung.
Tiga puluh menit yang lalu, Satya sempat was-was begitu menanyakan dimana keberadaan Langit pagi itu. Takutnya, Langit ada bersama anak-anak yang sekarang sedang diamankan petugas karena diduga akan mengadakan aksi tawuran antar pelajar itu. Untungnya, tak lama Langit keluar dari kamarnya dan sudah berseragam rapi disusul Xavi yang turun dari lantai atas dengan mata masih mengantuk.
Seharusnya mereka sarapan bersama pagi itu, seperti ketentuan yang ada di dalam rumah. Mereka harus sarapan bersama setiap pagi, walaupun ada yang punya kegiatan di siang hari mereka setidaknya harus berada di meja makan untuk sarapan sebelum pukul enam. Hari ini, mereka terpaksa harus sarapan tanpa Satya karena cowok yang paling tua dari mereka berenam itu sudah pergi terburu-buru.
"Iya, untung lo nggak ikutan. Bisa mati berdiri deh abang gue lihat sodaranya sendiri di kandangin." Kala sibuk mengunyah pinggiran roti tawarnya. "Saran gue ya, Ngit. Kurang-kurangin deh tuh bikin masalahnya, jangan sampe oma denger." Kala terus ngomong sambil menelan sarapannya, "kan sekarang lo bagian dari Bagaskara jadi harus hati-hati kalo mau ngapa-ngapain...aw!" Kala melotot ke arah Dylan yang menyikut rusuknya.
Bego! Dylan membisikan kata-kata itu terlalu jelas pada Kala yang seakan menyadari kesalahannya. Dia cepat-cepat menoleh pada Langit yang tak terlihat terpengaruh.
Namun tak lama Langit menaruh roti yang baru setengah dia makan ke atas piring. "Lo pikir gue mau pake nama keluarga kalian?" Langit bertanya, membuat setiap pasang mata yang ada di meja makan menatap ke arahnya, tak terkecuali Xavi yang langsung meletakan cangkir kopinya agak kasar membuat isi nya sedikit tumpah dan membasahi meja makan.
Kala dan Dylan saling berpandangan, Garda bersiap untuk menahan apa yang selanjutnya mungkin akan dilakukan Xavi dan Andra hanya berharap Xavi bisa menahan emosinya. Seperti yang sudah-sudah.
"Gue mau tidur lagi." ucap Xavi tak terduga, lalu bangun dari bangku yang didudukinya. Berjalan keluar dari ruang makan diiringi tatapan saudara-saudaranya, minus Langit yang justru mengambil tas sekolah dan mencangklongnya sembari berkata, "gue berangkat." pamitnya pendek, kemudian menyusul kakaknya keluar dari ruang makan.
"Da, kita juga mesti jalan sekarang, deh. Meeting pertama jam sembilan nanti." Andra melirik jam tangan di pergelangan tangannya, kemudian mengambil jasnya yang tersampir di bangku.
"Hm, ok." Garda mengikuti, mengenakan kacamata yang ia letakan di atas meja makan.
"Berangkat dulu, ya, Kala, Dylan." Andra menyunggingkan senyum kecil, lalu menyusul Garda yang sudah keluar lebih dulu.
"Lo sih,bego!" umpat Dylan saat kedua abangnya sudah tak terlihat.
"Biasa aja dong begonya,bodoh!" Kala balas mengumpat,meneruskan sarapan paginya tanpa selera.
***
Langit, menendang-nendang kerikil yang ia temukan di jalan aspal selepas keluar dari komplek perumahan mereka. Dia memang memiliki kendaraan sendiri , mama Intan membelikan Langit motor sport saat ulang tahunnya yang ketujuh belas beberapa bulan yang lalu. Sebuah hadiah yang tidak bisa dikatakan murah, dan justru karena itu Langit enggan menggunakannya. Dia merasa tak enak hati, selalu merasa tidak pantas untuk mendapat fasilitas mewah dari keluarga Bagaskara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bagaskara's : Nebula ✔
Teen Fiction[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya membuat orang berpikir bahwa mereka adalah keluarga yang sempurna. Tetapi, saat kabut itu perlahan...